Friday, January 27, 2012

Rumah, Ingatan Terbaik untuk Pulang


Semesta di luar jendelaku begitu luasnya, dibanding kamarku yang hanya berukuran 3x4m. Kamarku tampak menyedihkan, lesu, tak bergairah, sementara berderet imaji dan gelora minta dipuaskan di luar sana.

Ibuku yang khas wanita jawa itu, tertidur dalam tangisnya. Bapak malah terbaring tak bergairah di sudut kursi malasnya. Ia menua, tak berdaya, seakan tangannya terikat di kursi. Aku yang mengintip dari balik pintu kamarku terpaku, tiga nyawa disini hidup, tapi mati.

Ketika sebuah ruang [atau mungkin juga sebuah rumah] tak lagi bermakna, lantas masih adakah yang bisa diingat dari wujud kotak-kotak berongga tersusun horizontal itu?

Aku lalu melihat ibukota yang tak pernah tidur. Kehidupan neo-nomadisme itu kentara bergelayut disana. Sebuah kenyataan pahit, dimana hubungan antara manusia dan tempat tinggalnya demikian tak membekas. Rumah tak lebih dari sekedar ruang transit. Tempat raga diistirahatkan sebentar, karena esok, jiwa-jiwa itu segera kembali lepas bebas memenuhi udara kota, menghadirkan kebisingan, keriuhan, dan kemacetan yang setia pada kota.

"Jiwa mereka hidup di jalanan..hanya dengan meminjam raga sebagai kendaraan mereka"

Miris memang, di tahun 2025, setengah lebih penduduk desa diramalkan memilih eksodus besar-besaran ke kota. Bisa tertebak, manusia berjejalan di kota yang semakin sesek, sumpek. Mereka rela tercekik dan terhimpit ekonomi yang semakin sulit, dimana kesempatan berkarya, bekerja tak lagi ada. Perebutan lahan bekerja [yang bukan lagi berwujud tanah sepetak bernama sawah] jamak terlihat dimana-mana.

Inikah juga yang mungkin menjadi alasan si bengal Roy, avonturir muda [Balada si Roy] itu memilih bertualang? Mencari jati diri, mencoba memaknai hidupnya. Bertahan hidup dengan menggauli dunia di luar sana, demi mendapatkan pembelajaran tentang hidup itu sendiri, bahwa hidup bisa jadi tak sesederhana yang dia bayangkan. Bahkan saat ia dibenturkan dengan banyak kenyataan di depan mata. Ia telah belajar menjadi tak sia-sia.

beribu jam kutinggalkan kotaku
ke seberang lautan
tenggelam ke dasarNya
terbang ke langit,
berkunjung ke kerajaanNya
mendaki pegunungan
meraih bintang-bintang
meraih bulan!
sia-sia. Ya, sia-sia
(Heri H Harris)

Indonesia barangkali tak perlu cemas, karena Paris menemani kecemasan itu. Di pertengahan abad ke-20, seorang Gaston Bachelard, filsuf dari Perancis, menuliskan keluhannya dalam La poetique de l’espace.

"Di paris tidak ada rumah, penduduk kota-kota besar tinggal di dalam kotak-kotak yang terbangun horizontal dan tersebutlah itu rumah. Namun ia kehilangan "kosmisitas"nya". Ruang, rumah itu, tak lagi bertaut dengan ingatan. Rumah itu tak lagi berwibawa, hanya sekedar gudang berisi hal-hal usang.

Padahal, meski sebuah pertanyaan "sudah makan, belum?"..rindu itu dihadirkan. Pada wajah sendu ibu, yang hanya punya pertanyaan sederhana untuk putranya yang pernah "hilang", sebentar saja. Pertanyaan sama yang berulang namun tidak akan pernah usang.

Lahan memang semakin sempit, membuat orang tak lagi punya rumah. Tempat telah menjadi komoditi yang diperjualbelikan, pun sekedar disewakan. Mereka lalu memilih hidup berpindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain.

Maka, apa ada ruang yang pas untuk aku huni? sementara sebelum mencintai ruang itu, aku harus berpindah ke ruang lain. Dimana ruang yang aku singgahi itu pun sama sekali tak mewujud diriku.

Neo-nomadisme pula telah melahirkan jarak. Rumah dan tempat kerja yang begitu jauh, dimana lalulintas padat, dan macet yang selalu ditemui hampir tiap hari, membuat orang lebih betah hidup di jalanan ketimbang di kamarnya sendiri. Apa boleh bikin, rumah lalu hanya tempat persinggahan si empunya rumah yang mewujud menjadi sekedar tamu.

rumahku entah dimana
tak kutemukan di sajak-sajak
di matahari, dan di bulan
karena tidurku di bawah bintang-bintang
jauh di rimba belantara
tenggelam di dasar lautan
mesti pulang kemana setelah letih mengembara?

(Heri H Harris)

Tentu saja pada rumah, engkau kembali. Karena disanalah diletakkan nostalgia, ingatan pada rumah yang memperindah rekam ingatan kita tentang banyak peristiwa, banyak kejadian. Sebab itu, jangan ragu untuk kembali, karena ia bagian yang memperkaya hidup kita sekarang. Karena mengakui keberadaan rumah dan ruang yang pernah kita tinggalkan itu berarti mengakui hadirnya masa silam yang begitu penting, begitu bagus, dan kita ingin tahu.

Dan sejauh apapun berkelana, jiwa-jiwa yang hilang itu akan kembali. Hendak ke timur atau ke barat, rumah adalah yang terbaik. Karena disanalah segala permakluman, permaafan, perlindungan dan kasih sayang dihadirkan.



Salam

Wednesday, January 25, 2012

Cerita Sepasang "Telinga Kedua"

sebuah repost

Meski dia hanya pinjaman, saya dan dia seperti tak bisa terlepas satu dengan yang lain, itu karna kami sehati. Saya begitu sayang padanya, dan saya tahu sekali, dia kurang akur dengan sang tuan, yang cuek-cuek butuh padanya. Dengan saya dia merasa beda. Sepanjang hari, saya rela-rela saja meminjamkan telinga untuk mendengar segala macam penghiburannya.

Pagi itu, betapa kagetnya saya, menemukan dia tak berada di tempat biasanya dia berada. Menghilang kemana dia?, atau mungkin dia sudah kembali pada tuannya?. Saya lemas, berasa separuh napas ini dibawa pergi sama dia. Mungkin memang sudah waktunya saya mengucapkan selamat tinggal, dia kan bukan milik saya?, meski kami sehati. Saya rela dia dibawa pergi sang tuan yang lebih berhak atas dia.

Di awal hari itu, tanpanya jelas terasa begitu berat, saya mengalami penurunan drastis. Penyemangat dan penghiburan yang dulu setia bersama saya, lenyap. Hingga tiba di pertengahan hari, saya menemukan dia di pojok ruangan gelap, sendirian. Seperti tak bertuan. Aah, rupanya sang tuan meninggalkannya sendirian di sana.

Atas ijin sang tuan, saya membawanya kembali, kembali kepada saya yang lebih membutuhkannya. Hati ini sumringah, sang penyemangat tak jadi lenyap. Dan hingga akhir cerita saya ini, dia masih berstatus sebagai pinjaman semata, yang masih setia jadi penghiburan, dikala saya mulai dilanda penat. Dia yang akan selalu menjadi 'sepasang telinga' kedua bagi saya..

*dedicated to earphone milik teman'

Salam

Thursday, January 19, 2012

Sederhana Itu [sebenarnya] Mudah

Kebenaran, kebaikan selalu datang bersama dengan kesederhanaan, kebersahajaan. Hanya akan menjadi tidak lagi sederhana, ketika dipahami dengan cara yang sulit, rumit, bahkan dijelaskan dengan cara yang terlalu pintar, kompleks.

Meski hidup adalah tentang kebaikan dan keburukan, tentang kenikmatan dan kepahitan, tentang kegagalan dan kesuksesan, namun hidup bersahaja adalah pilihan aman, sehat, nikmat dan jauh dari polusi. Polusi moral, polusi hati. Jauh dari hidup seolah-olah.

Sederhana bukanlah perkara hidup tanpa materi, blekberi, atau apapun yang bisa dibeli, bahkan status atau gelar dan jabatan, sesuatu yang delusif. Meski saat berhasil mendapatkannya mungkin saja [malah] tidak membawa bahagia, terasa hampa, kosong.

melihat si pria menggandeng tangan wanitanya, menyibak jalan macet, mengantarkannya hingga ke shelter, hingga bis menghilang di pelupuk mata, membawa wanitanya pulang menuju senja..aku yang dari kejauhan memperhatikan mereka, lantas menggumam, "Tuhan, seperti inikah sebuah bahagia yang sederhana itu?..pasti rasanya luar biasa ya, Tuhan"

Lihat, bagaimana sebuah bahagia yang dikemas sederhana itu terasa begitu luar biasa imbasnya hingga di hati. Lalu hati serasa dibanjiri genangan bahagia yang membuncah, meski hanya melakukan hal-hal sederhana. Cinta yang sederhana dan membebaskan itulah yang mewujud menjadi bahagia.

Namun, paradoks yang terlanjur melekat, jamak ditemui di kehidupan sehari-hari adalah kenyataan menjalani hidup sederhana ternyata lebih sulit dibandingkan menjalani "hidup seolah-olah". Pada beberapa orang, [termasuk saya, sedikit sih], menjalani hidup sederhana nan bahagia bisa begitu sulit diaplikasikan,

Sementara menjadi sederhana hanya butuh berjuang lebih keras untuk mendapatkan bahagia, dengan ikhlas menjalani hidup itu sendiri.

Ya, itu karena selalu ada ketidakpuasan atas hidup yang lalu dipaksakan hingga ingin hidup seolah-olah. Bersedia mengabaikan akal sehat, ada tendensi, juga konspirasi dibalik perilaku, bahkan memanipulasi orang lain hanya untuk memenuhi keinginan diri. Dan untuk menepis rasa rendah diri sebagai manifestasi dari "ingin hidup seolah-olah" itulah, mereka lalu terjebak ke dalam pola hidup yang tidak sederhana dengan cara menipu diri sendiri - self deception (Hamacheck: 1987).

Pepatah lama pernah mengatakan, "sederhana bukan berarti miskin, tetapi tepat sesuai kebutuhan". Saya mengamini pepatah mujarab ini. Bahwa, label sederhana yang dilekatkan pada diri kita bukanlah perkara banyak tidaknya materi yang kita miliki.

Esensi dari kesederhanaan itu adalah persepsi kita dalam memandang hidup yang harus dijalani dengan bijak. Tahu sejauh mana, seberapa banyak, kemampuan dan bekal yang kita miliki agar diolah sebijak mungkin dalam menjalani hidup secara ikhlas,yang kesemuanya untuk satu tujuan, mengharap bahagia.

Sayang, sebagian kita malah mengganggap berpikir, bertindak dan bersikap sederhana adalah kelemahan.

Padahal nyata-nyata, konsep hidup sederhana justru bekerja lebih efektif. Ya, berpikir dan bertindak sederhana lahir dari kematangan pengetahuan dan kedalaman berpikir, juga lihai memahami dirinya, hingga tepat si sederhana unggul mengatasi ego, emosi dan gejolaknya. Dan ia jauh merasa lebih bahagia saat berhasil mengimplementasikan itu pada hidupnya.

Sementara, konsep yang mahal, ruwet, acak-acakan, njelimet malah seringkali bernasib tidak menghasilkan apa-apa, menelan banyak biaya, berpotensi merusak moral, harga diri. Lalu, bahagia yang seperti apa yang terlihat dari konsep ini?

"dan aku ingin menjadi besar dengan cara sederhana..menjadi elegan dan diterima masyarakat dengan cara yang bersahaja..itu saja"

Ya, benar memang, pada akhirnya kesederhanaan dan kebersahajaan adalah pilihan hidup yang bijak, setelah penat dan lelah mencari makna hidup yang paling tinggi namun kosong, tak bahagia.


Lalu, masihkah terasa sulit bagimu menjadi sederhana?


Salam

Tuesday, January 17, 2012

Ibu Rumah Tangga, Sebuah Profesi Luar Biasa

Sebuah repost

Memilih menjadi ibu rumah tangga adalah keputusan terhebat wanita. Profesi yang boleh saya bilang sebagai profesi multi talenta, banyak tantangan, tanpa kenal aturan nine to five. Pun, tanpa gaji atau bonus.

Wanita hebat dalam hal multitasking, ini karena selain terhubung dari sifat alami bawaan sejak lahir (nature), bahwa corpus collosum wanita nyata-nyata lebih luas daripada pria, yang memungkinkan wanita melakukan multitasking lebih efisien, ternyata disangkutkan pula dengan kebiasaan (nurture) yang berpengaruh serta imbas produk liberal berjudul kesetaraan gender.

Namun, hebat saja ternyata belum cukup. Berat dirasa sebagian kaum ibu itu, meski reward yang mereka terima sepadan dengan rasa bahagia saat melihat si kecil melangkah pertama kalinya atau saat mengetahui si sulung bisa berhitung dan mengayuh sepeda roda duanya untuk pertama kalinya dengan berani.

Pada sebuah studi yang diterbitkan dalam Jurnal Psikologi Keluarga edisi Desember, terungkap, ibu yang mampu membagi waktu antara karir dan keluarga ternyata lebih bahagia dan lebih sehat, dibandingkan ibu rumah tangga yang sekedar fokus mengurus rumah tangga dan keluarga saja.

Ekonomi rumah tangga, barangkali telah menjadi alasan tersendiri, atau untuk sebuah alasan kesetaraan gender yang diperjuangkan Kartini pada masanya, kaum ibu yang merasa "terjebak" di dalam rumah dan lalu merasa tidak bahagia lantas meminta hak kepada pasangannya. Tak sekedar demi hak mengaktualisasi diri, mereka ingin pula berkarya, menjadi mandiri dan berdikari.

Para ibu bekerja tersebut mengalami depresi lebih sedikit dan memiliki kesehatan lebih baik secara keseluruhan daripada ibu yang tinggal di rumah. Dan, efek ini ternyata hanya terjadi pada ibu dengan anak yang berusia muda dan tidak berlaku pada ibu yang memiliki anak usia sekolah.

Terambil responden sebanyak 1.364 ibu yang berasal dari Arkansas, California, Kansas, Massachusetts, North Carolina, Pennsylvania, Virginia, Washington dan Wisconsin, dimana penelitian telah dilakukan sejak 1991. Peneliti mewawancarai ibu sejak buah hati bayi, memasuki usia pra-sekolah hingga masuk sekolah dasar.

Lantas, benarkah pengabdian ibu rumah tangga yang begitu besar pada keluarga telah membuat mereka tidak bahagia dan merasa tidak sehat? Meski pengabdian itu tidak ternilai dengan materi, tidak pula berdasarkan pamrih. Vivi, 30an tahun. seorang ibu, juga pekerja di dunia kedokteran, yang memiliki satu putra, merasa perlu cinta dan pengorbanan yang besar bagi seorang ibu bekerja seperti dirinya untuk bisa menjadi ibu yang baik.

"Bangunlah keluargamu dengan segenap dan kesungguhan CINTA.. Jangan membangunnya di atas sisa-sisa.. Sisa-sisa dari kelelahan pekerjaan yang menguras segenap perhatian dan energimu.. Lantas, apa jadinya bila rumah tangga dibangun di atas sisa-sisa?" (terambil dari status Vivi di situs mikroblogging)

Pernyataan Vivi bagai sebuah cambuk untuk ibu yang telah berani memilih menjadi ibu rumah tangga, untuk tetap tegar mengabdi diiringi keikhlasan berbalut cinta dan kasih yang terbaik bagi utuhnya keluarga mereka. Tak sekedar, keluarga yang dibangun di atas sisa-sisa kelelahan.

Dan seharusnya seorang ibu rumah tangga bisa merasa bahagia dan sehat juga percaya diri, karena ia sanggup mewujudkan dirinya ke dalam banyak profesi, meski tanpa perlu ia melangkah keluar rumah untuk memenuhi haknya mengaktualisasi diri.

Ibu rumah tangga adalah "perawat" bagi suami dan anak-anak saat mereka jatuh melemah dan sakit. Meski hadirnya ibu hanya berupa sentuhan lembut di dahi atau pelukan hangat yang menenangkan. Hadirnya adalah obat mujarab.

Ibu rumah tangga adalah "pakar gizi". Ia menyediakan makanan sehat dengan gizi seimbang untuk suami dan anak-anaknya. Ia sangat tahu makanan apa yang terbaik untuk anak-anaknya yang tengah dalam masa pertumbuhan. Saat memasak, ibu menyelipkan pula doa agar suami dan anak-anak merasakan berkah atas masakan yang dibuatnya.

Ibu rumah tangga adalah "ekonom" sejati. Ialah bendahara terbaik dalam sebuah negara kecil bernama rumah tangga. Ia mengatur dengan baik semua pendapatan dan pengeluaran. Ia mengolah pendapatan yang diberikan suami kepadanya agar terasa berkah. Agar semua kebutuhan terpenuhi tanpa harus berhutang untuk menambal kebutuhannya.

Tidak berlebihan bukan, jika saya lalu mengatakan, ibu adalah pondasi negara untuk membangun generasi yang akan datang. Dimana perekonomian keluarga di bawah manajemen ibu ternyata tidak hanya sangat berpengaruh pada kehidupan keluarga tetapi juga pada perekonomian negara. Tilik bagaimana akar korupsi telah menjalar kemana-mana. Salah satu sebab, karena lemahnya manajemen perekonomian rumah tangga. Sehingga entah sengaja atau tidak, membuka kesempatan para koruptor menggasak uang negara dan rakyat.

Ya, ibu rumah tangga juga seorang ahli kejiwaan. Hadirnya memberi ketenangan dan kesehatan jiwa seluruh anggota keluarga, bahkan untuk dirinya sendiri. Ia bisa menjadi mediator atau penengah bagi hati seluruh anggota keluarganya yang tengah gundah. Ia hadir dengan hati lembut dan netral, bersedia membimbing suami dan anak-anaknya menghadapi kondisi yang berat di luar sana. Inilah yang berpengaruh pula pada kesehatan dan keselamatan jiwa masyarakat.

Pun, ibu rumah tangga adalah pengajar dan pendidik bagi anak-anaknya. Ialah yang setia mengajarkan kepada anak-anaknya tentang makna hidup dan kehidupan. Ialah ibu yang tidak pernah lelah mengajarkan kebaikan, agar anak-anaknya kelak tumbuh menjadi pribadi yang berprilaku dan berakhlak baik.

Jadi, masihkah Anda berkeluh kesah [hanya] menjadi ibu rumah tangga, dan berat menjalani sebuah profesi yang luar biasa, the most fabulous career ever itu? Sementara, pilihan Anda tersebut belum pula dihitung dengan kalkulasi untuk simpanan jangka sangat panjang, yaitu kehidupan setelah mati.

Salam