Friday, June 22, 2012

ada apa dengan chemistry?

chemistry itu ibarat tali penghubung...aku pegang ujungnya, kamu pegang pangkalnya...coba saling menarik, jika terasa getarnya, berarti aku dan kamu merespon satu sama lain. ini berlaku juga buat hati. jika hanya aku atau kamu saja yang merasakan getarnya, itu seperti merasai cinta yang bertepuk dengan udara, kosong.

acap kita mendengar cerita sepasang kekasih yang gagal mempertahankan hubungan ke arah yang lebih serius karena merasa tak lagi menemukan kecocokan. hal yang sama terjadi pula pada sepasang suami istri yang menjalani kehidupan pernikahan belasan bahkan puluhan tahun lamanya, lantas bercerai dengan alasan yang sama. tidak cocok.
dear, kekasih atau pasangan itu tak seperti sepatu yang bisa diganti mengikuti suasana dan cuaca. jika tak suka, tak cocok, lemparkan ke sudut ruangan, ganti dengan yang lebih cocok pun nyaman di kaki. lalu, "kalau nggak cocok, kenapa dulu nikah?". tanyamu suatu hari, yang lalu menimbulkan jawaban yang selama ini kita cari yaitu chemistry.
kata ini tidak berkaitan dengan ilmu kimia, meski dianalogikan sebagai reaksi antara dua unsur kimia yang berbeda. dalam bahasa awam, yang aku pahami, chemistry adalah kecocokan. seorang SBY sekalipun membutuhkan chemistry itu sebagai salah satu persyaratan yang diajukan dalam menentukan calon wapres, pendampingnya.

sebuah ketidakccocokan adalah hal yang wajar. ibarat air dan minyak yang memang tidak akan pernah bersatu. karena memang tak pernah ada yang ideal nan sempurna di dunia ini. namun, chemistry ternyata tak selamanya bisa diandalkan mengikat aku dan kamu. kecocokan itu pun bisa menjadi tak abadi.

menerawang gelagat beberapa pasangan suami istri yang nampak serasi, tapi sebenarnya mereka tengah menyimpan "terasi" dalam pernikahannya. tinggal menunggu waktu aroma yang keras menusuk itu tercium keluar. mungkin, karena saat saling mengenal dulu, mereka sedang memakai topeng kepalsuan di wajah mereka. sayang, chemistry terburu terpercik, dan tak bisa dibendung, mengalir kuat menuju hati.

hm, bicara chemistry memang terasa sangat complicated, ya. dulu pernah ada dan lalu menguap cepat menjadi tiada. entah kemana. semoga tak terjadi pada kita
mari cari penyebab si chemistry itu datang dan mengobrak-abrik bilik hati kita. gegara jatuh cinta, dear. dua kata mujarab itu konon merupakan salah satu perilaku atau keadaan otak yang paling tidak rasional, yang dialami aku dan kamu yang mencinta. otakku mendadak bekerja tidak logis, karena dibekap rasa asmara. sehingga mata hati pun ikut buta akan segala kekuranganmu. ini keadaan diluar kesadaran. tak bisa mengelak, apalagi abai. jelekmupun aku terima.
perasaan cinta tersebut muncul setelah mata menerjemahkan ketertarikan pada fisik, lalu dari mata, tumbuh perasaan nyaman yang muncul di dalam hati dan memercikkan getar asmara yang lalu ditengarai sebagai lecutan chemistry. tapi apa alasan, kenapa chemistry bisa tiba-tiba hilang?

penyebabnya, karena tali hati yang saling mengikat itu mengendur, perlahan. getar-getar cinta yang dulu dirasa, tergerus bersama waktu, dan melemah, lalu hilang bersama cinta yang menguap bersama udara.
sementara, kata tante Joyce Catlett, ahli kesehatan mental dan pengarang buku Sex and Love in Intimate Relationships, yang aku pun belum pernah bertemu apalagi bercakap dengannya -- daya tarik seksual tidak berhubungan dengan waktu, dear. chemistry yang tak lagi dirasakan tersebut lebih disebabkan oleh rutinitas yang dijalani bersama pasangan dalam waktu lama, yang terasa semakin membosankan. hm, soal itu aku sepaham dengan tante Joyce. ru-ti-ni-tas itu seperti berputar pada sumbu, tapi hanya melihat ke depan. bosan.
daya tarik seksual itu dipengaruhi oleh munculnya hormon feromon, yang merupakan sinyal bawah sadar yang diproduksi oleh tubuh untuk menarik lawan jenis. sinyal yang tercium melalui aroma tubuh yang tak berbau tersebut, dipercaya dapat memengaruhi tingkah laku dan emosi seseorang terhadap lawan jenisnya.

ingatkah, bahwa aku dan kamu adalah dua pribadi yang berbeda namun saling melengkapi? cobalah kita kembali mengingat hal tersebut untuk membantu menjaga chemistry itu tetap ada di dalam hati. karena tak berarti aku dan kamu telah menjadi pasangan sehati, lalu saling 'memaksa' untuk selalu satu suara, bukan?
aku mungkin bisa setuju dengan kamu dalam beberapa hal, tapi boleh kan, dear kalau aku menyampaikan gagasan dan pemikiranku sendiri. percayalah, cara kita bertukar pikiran dan debat sehat di atas ranjang kita adalah salah satu cara menjaga hubungan yang terjalin ini tetap mesra.
aku menyetujui caramu yang sesekali membuatku penasaran dengan sikap misteriusmu, menantang dan sulit ditebak. tapi, bukan berarti aku sedang menghalalkan kamu boleh berbohong lho, dear. satu lagi, tentang rasa nyaman. aku menyukai saat kita punya banyak waktu untuk melakukan apapun bersama dan membuat itu sebagai hal baru yang menyenangkan. konon, itu juga merupakan poin penting menjaga getar cinta antara aku dan kamu tetap terasa

dan kamu, bagaimana rasanya saat chemistry itu memercik di dalam hatimu? next time, saat lega waktu kisahkan itu padaku, ya...



Wednesday, June 13, 2012

alibi, cara berkelit nomor wahid

"alibi yang cantik", pesan singkatnya muncul di layar hape, setelah sms yang mengabarkan kepulanganku pada mama, hal yang rutin aku lakukan menjelang pulang beraktivitas, justru aku kirimkan padanya. aku berkelit, "oh, maaf ya, salah kirim..."

aku memang tengah menyembunyikan kebenaran saat itu, bahwa ya, aku sebenarnya sangat ingin tahu kabarmu. dan mengirimkan sms 'salah sasaran', sebuah cara paling pas agar kamu merespon kabar itu. karena tak mungkin aku berkabar, sekedar mengirim pesan singkat, "aku pulang ya.." aku toh rela dibekap gengsi. bukan orang kebanyakan, karena yang aku hadapi, faktanya manusia langka.

apa aku tengah beralibi? hm, mungkin ya.
pada siapa pula harus meminta tolong keluar dari lingkar masalah jika bukan pada alibi yang memang cantik. inilah cara berkelit nomor wahid. menghindar sejauh mungkin dari fakta, kebenaran dan kejujuran, namun dikemas begitu indahnya. yang tampil di permukaan pun hanyalah sebuah kepolosan, seakan tak tahu menahu atas apa yang tengah terjadi.
ya, alibi hanyalah alibi, dia tidak lebih dari sekedar “alasan untuk membenarkan diri”. sebuah alasan yang tidak lagi bisa kamu bantah namun sangat tabu untuk dilafalkan. setidaknya kamu tidak akan mati dalam keadaan terdesak, dan alibi lantas dicari untuk menyelamatkanmu dari masalah.
siapa yang tak takut mati, atau mimpinya hancur menjadi debu yang membedaki langit, terbang dibawa angin? saat misteri dicari dan menjadi sebuah kebenaran yang lambat laun tersingkap, sejatinya alibi yang akan menjadi senjata yang siap meluluhlantakkan asamu sendiri. jika benar, kamu memang tengah menyembunyikan sebuah fakta.

fakta yang tidak akan bisa kamu ingkari. bahkan ia sudah seperti racun yang merasuk masuk tanpa permisi ke dalam nadimu dan membuatmu sekarat seketika. lidah kelu, diam membisu. "maaf, aku tidak bisa membagi rahasia itu padamu.."
arrggh, alibi memang sanggup melampaui sebuah kata berkias indah. saat aku menyerah, salah, dan alibi menjadi pembenaran, sesungguhnya makin terlihat akulah yang bermasalah, karena tak kuat menyimpan rindu ini terlalu lama.
alibi..alibi..alibi, oh tolong aku...


Saturday, June 09, 2012

hei, Juno

pagi ini sibuk mendera luar biasa, ada janji yang harus ditepati, ada agenda yang harus dikerjakan. napas Juni memburu. coba ada yang menenangkan Juni dengan salam hangat, setidaknya mewakili hadir di setiap helaan napasnya. feedback dari sinyal ponsel Juni tiba-tiba terdengar, menelusup ke gendang telinga. meski pakai headset, suaranya tak sopan, mengganggu. "ngiiiiinnggg..."

Juni sudah mirip peramal, tahu betul feedback itu selalu datang bersamaan dengan bunyi dering ponselnya. entah sms, entah panggilan. dilirik ponsel itu segera. hm, layar ponsel jadul itu tak memunculkan nama. Juni coba menerka, "apa itu kamu yang barusan ingin menelponku? kamu kangen ya?" Juni lagi-lagi sangat percaya diri, dia yang ditemuinya semalam sedang ingin mengusilinya.

siang menjelang..

kaki Juni diseret, dengan langkah gontai, diantara terik siang yang menyengat tubuh. matanya memincing, karena pendar cahaya matahari di atas kepala menghalangi pandangan. tangan Juni reflek memayungi mata, membentuk wajah yang panas kepayahan. ia geli melihat Juni. disejajarinya langkah Juni, kanan, kiri, kanan, kiri. bayang tubuh tingginya membantu menutupi tubuh Juni yang terpapar sinar matahari. "hei, untung ada kamu, pria setinggi tiang listrik," juni terkikik, dia meringis. "semalam pulang jam berapa, obrolan kita tertunda, padahal aku ingin ngobrol sampai pagi lo.." Juni tak juga berhenti berkicau, nyerocos, lalu tersenyum, dan ia membalasnya dengan tatapan penuh arti.

Juni memasuki bus yang menantinya di shelter. membawanya pulang merambati jalanan menuju senja. tak ada alasan Juni untuk bertanya ini itu padanya. melihat ia berdiri mematung, diantara puluhan orang yang berjejal di dalam bis yang membawa Juni pulang, sudahlah membuat Juni senang. sekilas dari ujung mata, Juni bisa menangkap bayangannya tengah memperhatikan gerak gerik Juni dengan seksama. Juni mengarahkan pandangannya, dan lagi-lagi ia tersenyum. kulitnya pucat, wajahnya kaku, namun seulas senyum itu begitu hangatnya. Juni membalas senyum itu. dan orang-orang di dalam bis malah menganggapnya sedang gila cinta. "kayak lagi digoda setan, tuh..senyum-senyum sendiri.." bisik-bisik mulut busuk terdengar memenuhi telinga Juni.

malam merambati hari..

Juni terpekur di sudut ruangan, terbaring di atas kursi malas favoritnya. sendiri seperti ini begitu menyiksa Juni. apalagi cuaca dingin di rumahnya yang terletak di perbukitan di malam hari seperti ini sangat menusuk kulit. kalau sudah begitu, mau tak mau angannya kembali dipaksa masuk ke pusaran masa lalu. kembali ke masa setahun lampau.

...Juni belum lama mengenalnya, namun ia telah merasa, pria yang memenuhinya dengan banyak inspirasi itu adalah belahan jiwanya. sebagai penulis, pemikiran-pemikiran pria yang dipanggilnya tiang listrik itu memang selalu sanggup memukau Juni. dalam rentang dua tahun perkenalan mereka, belum pernah keduanya saling bertemu. bahkan membaca wajah dan suaranya sekalipun. selama itu, Juni hanya mengenalnya di ruang simulakrum.

aneh. ya aneh, tapi mereka menikmati hubungan itu. hingga di suatu hari, dalam percakapan di ruang simulakrum, Juni mendesaknya dengan banyak tanya. "hei, tiang listrik, maaf, bukannya riwil, kalau boleh tahu, siapa sih namamu?, masa setiap kita bincang aku harus memanggilmu tiang listrik. Oke..oke, kamu hitam, tinggi. tapi apalagi yang bisa aku bayangkan dari makhluk sepertimu. apa wajahmu tampan, setampan pemikiranmu?.."

ia disana terkekeh, dan lalu mengetik sebuah pesan.."aku kalah tampan dengan pemikiranku, kecil." kecil adalah sebutannya untuk Juni. baginya, apalah arti sebuah nama, "toh, aku lebih suka memanggilmu kecil, meski kamu punya nama yang cantik".

"hei, kecil, apa kamu penasaran denganku?" Juni yang disuguhi pertanyaan macam begitu malah makin tertantang untuk bertemu.

"tentu saja, tiang listrik..aku hanya perlu memastikan tinggimu dan seberapa hitamnya dirimu.." Juni mulai usil, dan ia suka melakukan itu pada si tiang listrik.

"baiklah, aku yakin saat pertemuan kita nanti, bukan hanya tampan yang akan kamu lihat, tapi banyak hal dari aku yang bisa kamu serap." Juni semakin penasaran.

"jadi, kapan kita bertemu?..."

senja itu, tepat di pertengahan Juni, Juni menunggu hadirnya pria yang membuat hatinya kerap tak menentu. membuatnya makan susah, tidur payah, mandi ogah. seperti dijanjikan tiang listrik padanya, ia akan menyebutkan namanya saat pertemuan mereka nanti.

waktu terus merambat, hampir meninggalkan senja. yang ditunggu tak kunjung datang. Juni semakin gelisah. "kamu bohong, tiang listrik" kaki Juni dihentak-hentakkannya ke lantai, bingung. ponselnya tiba-tiba berdering, "Junii..papa lagi ada masalah, menabrak orang, sekarang papa lagi di rumah sakit..." suara papanya diujung sana makin samar terdengar. hiruk pikuk suara menelusup ke telinganya. gaduh.

Juni tiba-tiba merasa pusing.

...
...

"hei, Juni..." pria setinggi tiang listrik itu tiba-tiba telah hadir di hadapannya. menyadarkan Juni yang tersadar segera dari lamunannya.

"hei.." Juni membalas senyumnya. diantara senang yang hadir, Juni lalu kembali tersadar, "eh, tunggu dulu, bagaimana bisa kamu tahu namaku. maaf, kita sudah sering bercakap, tapi belum sekalipun aku menyebutkan namaku.." Juni tiba-tiba merasa asing.

"ceritanya panjang, Juni..aku datang padamu setelah sekian lama kita memendam rasa. janji pertemuan itulah awal sekaligus akhir dari kisah kita. akulah pria yang beberapa tahun lalu membuatmu terusik. yang kamu cari dan ingin sekali kamu mengenalnya.."

"waktu rupanya tak pernah berpihak pada kita. saat perjalanan menuju kafe tempat kita akan bertemu, sebuah mobil melaju kencang dan menghempaskan tubuhku ke atas trotoar yang dingin. aku terbang, Juni..dan disinilah sekarang aku berada, bersama dengan jiwa yang akan selalu mengingatmu.."

Juni tercekat. tenggorokannya kering seketika. ini seperti puzzle utuh yang akhirnya menemukan kepingan terakhirnya. jawaban atas pertanyaan yang bercokol di kepalanya setahun yang lalu adalah tentang ini. kematian pria yang dicintai yang belum sempat ditemuinya.

"kenalkan..aku Juno.." tangan kekar dinginnya menyambut tangan Juni yang menghangat.

Juni seperti menemukan sebuah oase..begitu indah nama itu terdengar menelusup masuk ke telinganya.

"hei, Juno.." ..

"iya, ya, kamu memang setinggi tiang listrik, dan lihat aku si kecil yang kamu rindukan.." lalu keduanya tergelak sama-sama.

dan selalu ada perbincangan di tengah malam, diantara sunyi yang mencekam, dua makhluk hadir menyatukan rasa. Juno dan Juni. sejoli yang ditakdirkan bersama. di alam yang berbeda.


*just my imaji

*inspired by song with title "Story Of Peter" - Sarasvati Band


Friday, June 08, 2012

semoga, kekasih..

mendekapmu terlalu erat, berharap tak ada perpisahan, rasanya terlalu egois jika aku melakukan itu semua. sedang jauh disana, seseorang tengah menantimu, meski dia pernah menyakiti perasaanmu.

"aku terluka saat itu," Adit nanar menatap laut, lukisan semesta yang kerap ia kunjungi bersama Gita, sekedar menikmati magic hour, sebuah keindahan senja di tengah samudra.

"dan kamu mengganggapku bisa menyembuhkan lukamu?" Gita bukan sedang tengah membangun rasa percaya dirinya, ada ragu menyelip, mengusik kenangannya dulu bersama Aditya Wiguna, kawan karibnya, saat berada dalam satu tim project kantor.

keakraban antara ia dan Adit semakin membuka jalan keduanya saling menangkap sinyal dan getar debar yang semakin kuat mereka rasakan. namun, waktu memang tak pernah bisa dibeli apalagi dimengerti. hari ini indah, tapi belum tentu esok. ada perih, pedih yang juga dikecapnya. luka itu selalu kembali menganga, manakala membaca takdir, dan nyata-nyata keduanya tak bisa melawan takdir itu.

"entahlah, aku bahagia bersamamu, itu saja," Gita tak menyukai jawaban Adit. bahagia yang seperti apa jika sadarnya adalah menyakiti hati dua perempuan sekaligus. ia dan Dara, istri Adit.

"sepertinya kamu hanya akan menambah luka baru, Dit," sayu mata Gita, memancar lelah yang mendera. seonggok duri di tengah perjalanan, kerap mereka temui. "aku menyukai ketabahanmu dulu yang bersedia menunggu" Adit menyentuh rambut Gita yang menutupi wajah ayunya. "oh, seandainya saja..waktuku saat itu lebih cepat untuk menemukanmu lebih dulu.." Adit menghela napas, ruang dadanya terasa begitu sesak.

apa lagi yang bisa mereka berikan satu sama lain selain penghiburan. cinta mereka begitu sederhana, meski bisa jadi begitu rumit. tak hanya butuh emosi yang stabil, Gita dan Adit juga tak bisa abai begitu saja pada logika. meski rasa itu begitu kuat membelenggu jiwa, kenyataanlah yang tak bisa membawa mereka kemana-mana. sadar mereka, kisah yang terjalin ini bisa saja berakhir menyedihkan. atau bisakah berakhir membahagiakan? entahlah!

hingga tiba di satu titik terendah, seperti menaiki rollercoaster dan tiba pada turunan. Gita mulai merasa nyalinya menciut.

"aku lelah, Dit," saat ini kebahagiaan itu terasa tak lagi penting bagi Gita. ia merasa hanya berputar-putar, timpang, bimbang dan merasa pusing saat kakinya menjejak di semesta milik Adit.

apa perlu umbar kata cinta, kecuali kenyaatan pahit yang begitu manis itu ingin mereka perlihatkan pada dunia. dan akhirnya menjadi mafia adalah jalan yang mereka pilih. menyembunyikan cinta mereka di ranah bawah tanah, dan entah kapan punya masa untuk merambati permukaan yang cukup terjal. butuh usaha berpeluh keluh mencapai puncaknya.

pertemuan keduanya pun harus tersusun begitu rapi. "maklumi aku ya. ada dia yang ingin kuabaikan tapi aku tak bisa, sayang." atas nama tanggungjawab menjaga tautan pernikahannya, Gita rela melihat Adit dan istrinya bahagia. ya, mengalah, meski ia tahu tak akan pernah menang.

"aku kan hanya tukang antar jemput paket, Git," status yang lebih hebat untuk seorang Adit, daripada seorang suami yang punya harga diri, namun sama sekali tak pernah dianggap oleh wanita yang ia pilih menjadi istri itu.

cukup saling bertukar sinyal, begitulah dua makhluk yang saling mencinta itu mulai mirip alien. punya tentakel diatas kepala yang akan menyala terang jika keduanya akan bertemu. selintas lalu Gita mengingat pesan Adit yang membuatnya tiba-tiba getir.

"simpan semuanya dengan rapi, atau cinta ini akan terkikis habis seiring dunia tahu dan mengecam kita, sayang,"

hingga suatu kali Gita harus menerima keluhan, saat sinyal Adit salah ditangkap dengan baik. "bagaimana bisa aku bahagia, Dit, kalau dengusanmu itu semakin banyak padaku. kamu seperti meminta yang tak bisa aku berikan. maaf, aku memang bukan pembaca pesan yang baik, jadi tolonglah harap mengerti" Gita ingat betul, saat itu ia harus mengikuti skenario Adit, mengajak bertemu untuk sekedar merapat bersama.

istilah merapat yang lalu menjadi kode mereka akan beruang bersama, sekedar mengais waktu yang tersisa untuk mereka nikmati sama-sama. membagi kangen, membagi mimpi, cerita bahkan pemikiran mereka tentang banyak hal. brainstorming di tengah siang, sembari memadu cinta, mengentaskan gairah.

Gita tak bisa membaca rencana Adit, ia terus bertanya. Adit merasa Gita pura-pura tidak tahu tapi mencecarnya dengan banyak pertanyaan. "berhentilah bertanya, sayang. duduk dan nikmati saja skenario kita keluar dari sarang persembunyian ini."

pemikiran-pemikiran Gita yang dulu membuat Adit terpukau menguap entah kemana. kini ia tak lebih seperti kerbau bodoh yang harus menuruti perintah tuannya. "inikah yang kamu inginkan, memenjaraku dengan ego dan membungkam cinta yang ingin aku teriakkan lantang ke udara bahwa aku mencintaimu, Dit" Gita diam, terpekur membeku. "..dan semakin lama, aku tak lagi merasakan bahagia itu. cintamu tak lagi sederhana, kau tahu?" suara Gita terdengar lirih, hampir tak terdengar.

pengakuan Gita serasa bagai bom waktu yang telah disimpan lama, dan kini pemicunya telah ditarik dengan sempurna. meledak tepat mengenai hati Adit, menghamburkan berjuta partikel yang siap merajam, membekap jantungnya hingga terasa napasnya tersengal, berat. dan wanita di hadapannya itu kini memilih menghindar dari tatapan sedih Adit.

"maafkan aku, sayang, aku telah kasar dan melukai perasaanmu" Adit tak kuasa melawan takdirnya. sadar ia dan Gita terikat erat dengan norma, status dan lingkungan sosial yang memagari keduanya, hingga tak bisa leluasa saling menyentuh. cinta yang mereka redam semakin lama merajam hati, dan kini melukai Gita  dengan sempurna.

Gita tak pernah tahu, atau mungkin Gita tak pernah peka pada perasaan Adit. sejujurnya, Adit merasakan yang sama. ada cemburu yang membelenggu, namun Adit rela disiksa rasa itu. "kabar baik tentang dia yang masih begitu perhatian padamu adalah obat. meski begitu pahit aku menelannya. tapi senyatanya aku perlu turut bahagia untukmu, sayang," Adit tetap mencari sepasang mata itu yang terus menghindar dari tatapannya.

"aku mungkin tak akan pernah bisa memilikimu, Gita. namun jika kau tanyakan sebesar apakah hatiku padamu, maka jawabnya adalah sebesar cinta itu sendiri. ialah yang mampu menampung segala rasa yang aku miliki padamu," Gita seperti tengah mendengar suara hati kekasihnya, begitu nyata terbaca telinga. wajahnya mendongak, menatap dalam mata hitam Adit, dan menemukan ketulusan itu disana.

"aku tahu kamu telah lelah dengan semua ini, maafkan aku.." Adit membelai rambut coklat Gita, menyunggingkan seulas senyum.

"lalu, apa yang bisa membuat kita bisa bertahan dengan semua ini, Dit?"

"bebaskan cinta kita, sebebas-bebasnya..pada saatnya nanti ia akan kembali memenuhi jiwa kita dengan semangat dan asa yang dibawanya serta. tahan kangen itu, dan suatu saat biarkan kangen itu menguasai hati kita. believe me, dear, kangen yang kutahan padamu inilah yang selalu sanggup membuatku terikat, tertaut hati padamu."

"ya, padamu Gita Karisma, istriku..semoga, suatu saat nanti, sayang..." kini Adit mendengar sendiri suara hatinya berkata.

Gita masih menatap Adit yang memandangnya penuh arti, mencari kekuatan pada sepasang mata itu "entah kapan cinta ini akan berlabuh pada dermaga yang kita tuju, sayang..semoga ketabahan ini tetap kita miliki hingga saatnya kita menciptakan takdir kita sendiri..semoga.." begitu lirih suara hatinya, namun menyelipkan jutaan asa



kilau langit senja di tengah gelombang samudra ditingkahi suara camar melintasi lautan, jadi saksi pertautan cinta mereka. entah sampai kapan.

*just my imagination


Thursday, June 07, 2012

hidup dan mati, takut atau berani?

apa rasanya mati? ini seperti disodori sebuah pertanyaan : "kamu bosan hidup kah?"..meski hidup yang dijalani teramat sulit, faktanya masih banyak orang yang menghendaki memperpanjang usia.
usia yang seharusnya berkah, karena percuma hidup jika hanya menyusahkan lingkungan sekitarnya. tak bermanfaat, tak guna.

dokter, tabib hingga dukun pun mengusahakan yang terbaik agar pasiennya sembuh dari sakit. apalagi jika bukan dalam rangka menunda sementara kematian, entah sampai berapa lama lagi.

ruang ICU yang dingin dan lembab pun sudah mirip ruang peradilan. menjadi saksi pertemuan jiwa dan sang pemilik hidup. bahkan, Tuhan menyelipkan pula pengalaman tak terlupakan pada beberapa orang pilihanNya. untuk merasai mati suri.

mati adalah suatu kepastian. Ia sudah mencatatkan dalam buku takdir kita. kapan lahir, kapan mati. siapa jodohmu, pun berapa banyak rejeki yang telah ditetapkan untukmu. semua sudah punya porsinya masing-masing.

siapa pula yang bisa menolak sebuah kematian. kita semua datang ke dunia dan akan meninggalkan dunia. entah kapan waktunya. jangan pernah bertanya pada saya. maaf, saya bukan ahli nujum apalagi cenayang.

menghadiri seremonial pemakaman pun sudah seperti latihan mental buat saya. "suatu saat aku juga akan seperti dia. terbujur kaku, berbalut kain putih pucat. mata rapat memejam, mulut beku membiru. aku tidur panjang dalam istirahat abadi"

dia yang telah meninggalkan dunia, telah menuntaskan tugasnya, sementara, saya, kamu, kalian masih harus menjalankan tugas yang telah menjadi amanah untuk dikerjakan hingga tuntas.

tetiba masanya menjalani kehidupan yang lebih kekal di alam lain, kita hanya perlu mempersiapkan diri. karena pertanyaan Tuhan mungkin bakal lebih sulit dari sekedar menjawab pertanyaan ujian sekolah. kita tak mungkin bisa menyangkal, apalagi berbohong.
Tuhan jauh lebih pintar dari yang kita perkirakan. sudah tahu jawabannya sebelum kita bisa menjawab pertanyaannya.
lantas, bagaimana jika hidup adalah mati. mengingat di dunia hanya menyuguhkan kepahitan, dan kesulitan. tak ayal, lelucon sarkastik pun bermunculan di udara "ah, panasnya lumayanlah, itung-itung latihan masuk neraka" . mendengarnya pun ada yang tergelak, hingga tersedak. miris sekali.

dunia dengan segala macam persoalannya telah membelit hidup. yang tak kuat pun bisa terjerembab masuk lubang berkubang dosa. kata ahli agama, butuh iman yang tebal, sementara kata sebagian budak duniawi, butuh duit yang tebal untuk bertahan di dunia yang kejam ini.

bunuh diri pun cara terbaik untuk berani menghadapi mati. sebuah cara untuk melepaskan diri dari segala permasalahan yang membelit hidup. bahwa dengan bunuh diri akan merasa jauh lebih tenang. sungguhkah?
ya, karena bagi mereka yang berani mati, semua kebaikan akan didapat ketika mati. maka mati adalah hidup untuk mereka, karena hidup bagi mereka sudahlah mati.
lalu, itu tak akan berlaku untuk kita yang masih ingin hidup kan?.
bahwa hidup bagi kita yang masih ingin hidup adalah berani menjalani hidup. hidup yang harus dijalani dengan kepala tegak sambil berkata "ces’t la vie, life goes on, bro".
so we got to live when we’re still alive

Wednesday, June 06, 2012

Apakabar?

apakabar hari ini, sehatkah, sudah makan belum? *kalau belum makan, beli sendiri, jangan suka ngrepoti minta traktiran*
tanya kabar acap terlontar manakala bersua setelah lama tak jumpa. sekedar kalimat sederhana, namun mengandung umpan mujarab. yang ditanya jadi merasa diperhatikan, dipedulikan. yang bertanya pun serasa mendapat jawaban melegakan. "syukurlah, Alhamdulillah, kamu baik-baik saja". inlah cara menumbuhkan sikap empati dan peduli pada sesama saudara, pun pada yang terkasih, entah kekasih atau pasangan jiwa.


begitulah adanya, bertanya kabar, sebagai ajang menautkan tali silaturahmi yang *mungkin* sempat terputus. apalagi kalau bukan karena jarak, bahkan perbedaan sikap, cara pandang juga pemikiran, dua anak manusia yang saling memanjakan ego memilih tak pernah lagi bertukar kabar. bertemu lawan kok kayak ketemu setan. takut, menghindar, melengos, lalu mlipir pergi sambil ngedumel "asem ik, ketemu meneh karo cah kuwi" (asem ya, ketemu lagi sama anak itu, red).

saran saja nih, sebelum pikiran negatif menari-nari di atas kepala, mending aktifkan sinyal positive thinking di dalam benak. daripada datang ngajakin debat kusir, atau parahnya menghindar bertemu, mending tanya saja kabarnya. dijamin si lawan bingung, masang muka bego. "hah, kok dia jadi baik gini ya, tanya kabar pulak". karena sebelum hatinya mengering akibat kebencian yang terus menumpuk, sirami jiwanya dengan sikap pedulimu. tak salah lebih dulu bertanya kabar. pahala surga toh sudah menambah padamu.

mama saya pernah berkisah, tentang Alm eyang yang pernah berujar begini,
"kalau tidak ada kabar dari anak-anak, itu berarti mereka baik-baik saja" 
hm, bisa jadi benar, tak perlu mengabarkan kabar buruk, dan cerita sedih, karena hanya akan membuat orang-orang yang terkasih merasa dibebani banyak pikiran dan pertanyaan. entah, pada akhirnya, kabar baik yang seharusnya dibagi pun lantas pelit juga dikabarkan.

duh, saya malah punya kawan yang malas ditanya kabar. karena merasa tidak bisa memberikan banyak waktu untuk kekasihnya, dia meminta sang kekasih untuk tak usah repot-repot bertanya standar, "sudah makan belum?, jangan lupa makan ya?" baginya, pertanyaan-pertanyaan itu serasa menyudutkannya. begini kira-kira kawan saya itu curhat bebas ke saya,
"pertanyaan itu malah seperti alarm dia buat ngingetin gue, nih liat kekasihmu yang jauh dari kamu sekarang pun juga butuh diperhatikan. sekedar kasih feedback kek, tanya balik, kamu juga sudah makan belum, sayang?..duh gue ga bisa deh begitu."
saya yang dicurhati malah makin miris dengernya. sementara kekasihnya yang juga kawan dekat saya justru tak pernah merasa terpaksa bertanya kabar. dia tulus dan merasa peduli pada kekasihnya yang terpisah jarak. bertanya kabar, itu sudah cukup baginya. "hanya agar dia tahu, aku peduli dengannya, meski kita jauh"

dan agar tidak tersesat pada cinta yang lain, saya infokan ya, bertukar kabar itu merupakan bagian dari ritual menjaga api cinta tetap menyala. "dulu saja pas pacaran, dia suka riwil tanya kabar tiap setengah jam sekali, deuh sampai pusing jawabnya." tapi kini, setelah akhirnya memutuskan hidup bersama dalam satu atap rumah tangga, ritual itu entah terselip dimana. lupa atau pura-pura lupa. hilang, seiring abai perhatian yang mengikis bersama waktu.
tanpa sadar, pasangan jiwa telah memutuskan menemukan cintanya yang lain. pergi menyatu pada jiwa yang lebih peduli.
saya ingat betul pesan dari mama saya, bukan tentang jumlah warisan yang diwariskan kepada tiga putrinya. sebuah pesan sederhana saja, "kalau mama sudah meninggal, tetaplah saling menjaga silaturahmi diantara kalian" begitulah jarak yang memisahkan, dengan menjalani kehidupan yang sudah kami pilih di masing-masing kita, bukan berarti harus memisahkan kedekatan emosional dan hati diantara kami, saudara satu darah.
"susah, sedih, suka dan senang bagilah sama-sama. dengan begitu kalian bisa saling menguatkan, saling mendukung, ketika ada satu yang rapuh dan terjatuh, maka yang lainnya akan menopang dengan semangat yang ditiupkan meski dari jauh"
ah, lalu kamu, sudahkah menanyakan kabar pada yang terkasih hari ini?


*nyampah juga disini

Saturday, June 02, 2012

Mimpi Coklat yang Tak Pernah Terbeli

coklat, saya menggilainya. sangat! warna, rasa, sensasinya saat lumer di mulut, hmm. susah diungkapkan dengan kata-kata. mengungkap kasih sayang lewat sebentuk coklat pun lazim terjadi pada setiap pasangan yang tengah kasmaran dan mencinta. dan jangan pula pernah menolak coklat dari pria yang punya perasaan dalam padamu. let him know, you're very special.
 
seorang anak tengah menguliti biji kakao

begitu tragis, miris, dibalik indah dan manisnya momen berbagi coklat, berbagi kasih sayang, saya terhenyak ketika membaca fakta. puluhan ribu anak-anak miskin di sepanjang Pantai Gading, Nikaragua dan Mali, Afrika Barat justru didera siksa karena dipaksa bekerja memetik biji kakao dengan upah seadanya.

pada jaman yang telah menghapus segala bentuk perbudakan, nyata-nyata hal tersebut masih terjadi. kemiskinan yang merajalela dan menjadi peer yang tak pernah tuntas di negeri kita, seakan menjadi pembenaran bagi orang-orang gila yang ingin mengeruk keuntungan untuk memperkerjakan anak-anak di bawah umur.

semua abai, semua menutup mata, dengan dalih kemiskinan, pelbagai pihak mulai dari petani, pedagang grosir, sampai eksportir, kompak menutupi fakta ini dengan segala cara, bahkan perantara yang mengirimkan anak-anak untuk diperbudak sampai biji-biji kakao itu berubah jadi coklat malah ditambah.

apa sih rasanya coklat?, bahkan mereka tidak tahu apa itu coklat. jemari, tangan hingga tubuh ringkih mereka masih harus terus bekerja, tak jarang kerap terluka. kepala mereka bahkan tak lagi dipenuhi angan dan ingin bermain ke pantai, berlarian mengejar layangan putus atau main gundu bersama teman-teman sebaya. kerja rodi telah menanti.
coklat itu bikin tenang, bikin senang, nak, tapi apa lacur, mengetahui kalian tak pernah senang apalagi tenang terus diawasi saat memilih biji-biji kakao itu. coklat telah merusak memori masa kecilmu, nak..memenuhinya dengan memori mengerikan.
ya, mengudap coklat itu terasa bagai memasuki surga dunia. ironis, suatu saat kalian punya kesempatan menikmati coklat, itulah neraka dunia yang pernah kalian kecap.

apa yang bisa saya perbuat untuk menghentikan mimpi burukmu, nak? berhenti makan coklat, mungkin. saya tak punya kuasa untuk menghentikan mereka yang telah memperlakukanmu dengan begitu buruk dan kejam, yang telah mencuri mimpi-mimpi dan inginmu, bahkan untuk bisa makan coklat sepuasnya.

dan meski kita berada di bawah naungan matahari dan bulan yang sama, sesungguhnya nasib dan takdir kita telah ditetapkan sang pemilik semesta. kenyataan di depan mata yang terjadi atas kalianlah yang menumbuhkan empati saya kali ini.
terimakasih telah menyadarkan diri untuk terus bersyukur, nak. ditengah hujan syukur masih bisa merasakan nikmatnya coklat, saya dikaruniai dua malaikat kecil yang tumbuh sehat, ditengah dunia yang kita semua tahu, terkadang kejam. dunia yang mungkin tidak adil bagimu.
malaikat kecil saya bukan penggemar coklat (permen coklat atau coklat batangan), meski dia bisa sesuka hati meminta dan saya meluluskan pintanya. si ganteng, sapaan akrabnya, tergolong anak yang picky eater (suka pilih-pilih makanan). mungkin dia tahu, terlalu banyak makan coklat bisa merusak giginya, seperti juga kalian, mengingat coklat, hanya akan merusak memori.

kelak saat ia beranjak dewasa, kisah kalian ini akan saya ceritakan padanya. dan semoga ia akan setuju, penolakannya terhadap coklat adalah bentuk kepeduliannya terhadap nasib kalian.

* sebuah repost

* video by Scorpion (Under The Same Sun) acoustic version. Scorpion adalah salah satu band yang kerap mengusung lagu-lagu balada bertema kemanusiaan dan peperangan. 'cause we all live under the same sun, we all walk under the same moon, then why, why can't we live as one