Saturday, July 14, 2012

kinara (jawaban kepada Faiz yang meminta adik)

bukan Kirana. karena nama itu sudah terlalu biasa. ia terlahir dari benih kasih yang bertumbuh dengan leluasa memenuhi rongga rahimku. kesediaanku, oh, maaf bukan hanya aku saja, tapi keinginan kami berdua, aku dan suami untuk memberikan seorang adik untuk Faiz, jagoan cilik kami.

aku ingat, betapa malasnya ditanya banyak orang, "kapan, Faiz punya adik?" dan jawabannya cukup dengan sunggingan senyum, "nanti ya, kalau sudah pas waktunya..." lalu, kapan lagi, besok, dua tahun lagi, tiga tahun lagi?

hm, karena semuanya memang harus diawali dengan niat baik, untuk sebuah keinginan tulus. sementara, aku masih terlalu takut, dibayangi banyak hal, tak bisa membahagiakan anak-anakku kelak. karena bukan lagi sekedar pemandangan semu, realita nyata itu kentara di depan mata. dunia semakin kejam. akankah ada tempat untuk anak-anakku tumbuh menjadi pribadi yang baik, jiwa dan raga?

sementara ketakutan lain masih bercokol menggerogoti jiwa. bisa tidak kami memberikan penghidupan yang layak, masa depan yang terjamin untuk mereka, anak-anak kami? ah, ketakutan dan keraguan memang selalu tak pernah bisa membawa kita kemana-mana, ya?

hingga kami tersadar tidak bisa seegois itu dengan keputusan kami sendiri. bagaimana dengan Faiz kelak, sementara kami - orangtuanya mungkin akan lebih dulu meninggalkan dia. pada siapa ia bisa berkeluh kesah, pada siapa ia bisa mencari dukungan dan penguat?, pada siapa ia bisa memumbuhkan jiwa berkompetisi. jiwa yang dibutuhkan untuk membangun sikap mau maju, dan berusaha. setidaknya agar Faiz bisa bilang, "aku harus bisa menjadi contoh dan teladan yang baik untuk adikku..."

and here we are, dengan segala bekal dan kemampuan dibarengi niat kami, juga keikhlasan atas apapun kondisi yang kami hadapi - kami akhirnya memutuskan, "yak, inilah saatnya..kami akan memberi Faiz seorang adik."

"adik" yang lalu dipanggil dengan lembutnya, saat kami menyodorkan pipi bayi mungil itu untuk dicium penuh kasih oleh Faiz. panggil "dek Kinar ya, mas..." dan Faiz pun mengangguk senang. adik yang lalu mencuri sedikit perhatian kami yang dulu tercurah penuh padanya, dan kini Faiz seperti merasa bagai pluto di tengah galaksi maha luas. kecil, dan merasa diabaikan.

hmm, sebuah kecemburuan yang wajar, bukan? bahkan manusia dewasa sepetiku juga punya rasa yang sama. sebagai orangtua, inilah pembelajaran atas keputusan dan tanggungjawab yang telah kami pilih. bahwa tidak ada yang akan merasa paling unggul diantara keduanya. kami harus menjadi orangtua yang adil dan bijaksana. prinsip yang tidak boleh kalah oleh masa dan keadaan apapun itu.

dan voila...aku menamainya kinara. perempuan mungil pemilik mata bening dengan sunggingan senyumnya bagai obat mujarab bagi jiwa dan raga yang pernah melemah. Kinar yang penyabar. dia akan menungguku selesai dengan semua tugas, dan akan meminta haknya, cukup dengan rengekan kecil.

"Kinar pengen mimik?..." dan ia yang dahaga, lalu begitu senang mencari aroma puting, menyesapnya begitu kuat dan nikmat. selesai sesi 'intim' denganku pun ia masih menyunggingkan seulas senyum, mungkin ingin bilang, "terima kasih mama, susunya seger banget..."

Kinar bagai pengelana. dengan kaki dan tangan kuatnya, ia merangkak cepat menjelajahi kamar lalu ke dapur. menandai area penjelajahannya dengan jejak pipis dimana-mana. ia yang sangat tekun dan teliti memandang apapun yang asing dengannya. ia yang selalu rela dan "nrima" kakaknya mengusilinya dengan cara apapun. pikir Faiz, "kapan lagi aku punya boneka selucu dek Kinar?" bisa dipeluk, asal ga sampai remuk.

"mana cicaknya?" dan sontak matanya menatap langit-langit rumah, mencari bayang cicak yang usil mengajaknya main petak umpet. tangannya diulurkan ke atas seakan ingin mengambil cicak itu untukku.

apalagi yang belum kuceritakan tentang putri kecilku itu? oh iya, Kinar akan bertepuk tangan dengan senangnya, jika diminta. meski saat itu ia masih sibuk membongkar mainan kakaknya. Kinar yang dengan semangat melambaikan tangan dan memberi kecupan kiss bye, saat aku dan suami beranjak pergi, meninggalkan ia dan kakaknya, demi mengais rejeki.

dan, tak ada yang seindah rasa ketika kami pulang dan menemukan mereka menyambut kami di depan gerbang rumah. tak ada yang seindah ini, memiliki dua jiwa dalam satu hati. lalu, saat orang-orang berucap, "wah, enak ya sudah sepasang.." aku melega, dua sudah cukup. keduanya kini bisa saling melengkapi. tugasku dan suami, sekarang adalah berusaha dan bekerja lebih keras dan cerdas untuk memberi mereka masa depan yang lebih baik. pun, "nggulowentah" agar mereka tak hanya tumbuh sebagai pribadi yang cukup materi, tapi juga berlimpah kasih sayang.

Friday, July 06, 2012

surat

kapan terakhir kamu berkirim surat? saya sendiri hampir lupa. tapi, memori segera melesat ke tahun 90-an, manakala ingat pernah begitu senangnya menerima sepucuk surat cinta, bertuliskan besar di bagian pembuka amplopnya : Ti Bandung Euy! (dari Bandung Euy). siapa lagi kalau bukan dikirim seseorang yang lebih tepat sekarang disebut mantan. pacar LDR yang manisnya se-kecamatan. hahaha.
memandang amplopnya saja sudah berdebar jantung ini sukar diredam, apalagi saat membuka sampul amplopnya dengan penuh hati-hati. seperti takut merobek isi di dalamnya. ibarat takut melukai isi hati si pengirimnya. membuka lipatan suratnya, pun makin tak keruan saja hati ini.
ehem!, diawali sapaan manis, "dear", hati langsung loncat-loncat gila. mata lalu tekun membaca runut pesan yang terangkai. "tulisannya hm," saya tersenyum dikulum. "berapa kali ya dia harus bolak-balik nulis surat ini, tulisannya rapi jali, tanpa cacat."

bayangkan, untuk menyampaikan rindu, dia perlu mempersiapkan semuanya dengan baik. pasti dia melarang si bad mood mengacaukan acaranya berkirim kabar via surat. dia perlu tinta warna hitam, bukan biru apalagi merah. karena hati yang cerah tak selamanya diwakili warna merah, bukan? dan pasti dia akan sangat dendam jika pak pos gagal menyampaikan suratnya kepada saya. "lha pakai sepeda, kapan nyampainya?"

rindunya tercetak rapi dalam baris per baris kalimat menjuntai bernada rayuan pulau kelapa. pantaslah, remaja belasan umur kala itu membuat cinta saya masih belum rasional ke dia. dikirimi surat saja berasa sudah jadi pasangan paling bahagia sedunia. padahal, setelahnya, bingung, kacau banget tanpa dia. hollow.
akhirnya, membaca surat cinta itu berkali-kali bagai mengisi udara buat hati yang sesak karena rindu. suratnya yang terus didekap erat, manakala rindu itu susah sekali dilawan. namun, surat-surat cinta itu harus berakhir dalam kotak berlapis yang kuncinya lalu entah nyelip kemana. melebur bersama berakhirnya hubungan kami selama 4 tahun.
pun, saya pernah merasai sensasi itu. membaca, menulis dan lalu mengirim surat kemudian harap-harap cemas apakah surat saya tiba di alamat yang benar, bagaimana perasaannya membaca surat saya? seperti itu juga mungkin perasaan seorang public figure (baca: artis) yang tenar di era 90-an. jaman dimana berkirim surat masih begitu asiknya.

bayangkan, ia membalas ribuan surat yang dikirim oleh penggemar-penggemarnya di seluruh penjuru negeri. tak ada yang lebih hebat dari sebuah cara klasik berkirim surat, saat itu. saya sendiri tak bisa membayangkan seandainya itu saya, tak akan sanggup. tangan saya hanya dua, dan terlalu sedikit waktu yang bisa saya curahkan untuk membalas pesan mereka satu-satu.

kapan terakhir kamu berkirim surat? pertanyaan itu nampaknya sudah tidak lagi relevan jika ditanyakan pada masa sekarang. bis surat dan pak pos seakan menjadi saksi bisu dari kejamnya perkembangan teknologi informasi. meski bis surat berwarna oranye itu masih gagah berdiri di perempatan jalan, atau pak pos tak lagi "ngonthel jengki", mereka semua mendadak ciut di hadapan si hebat teknologi.
di jaman yang semua serba mudah, kini cukup sekali sentuh tombol "SEND", sebait pesan singkat sukses terkirim. tak perlu effort tinggi, karena memang begitulah kejamnya teknologi.tak lagi ada perasaan harap-harap cemas menunggu di depan kotak surat, hanya untuk sekedar melongok, "sudahkah suratnya datang?"

perasaan saling memiliki pun semakin terkikis, seiring budaya malas tumbuh subur sebagai akibat peran teknologi yang mendominasi jaman. bayangkan, menulis surat butuh waktu dan pemikiran yang melibatkan perasaan saat menuangkan tulisan itu ke dalam selembar kertas. sementara, perasaan yang disampaikan lewat sebait pesan yang terbaca di layar ponsel atau monitor bisa begitu saja menguap, semudah menekan tombol "DELETE".
tak ada yang lebih indah, ketika tumbuh perasaan sabar menjalani sebuah proses kehidupan. seperti ketika mengirim surat. ada sebuah kerelaan mengikatkan diri ke dalam sebuah keintiman. menuliskannya, dan berharap dia membaca tak hanya dengan mata, tapi juga dengan mata hatinya. larut ke dalam perasaan haru biru si pengirim pesan.

lalu, saat menunggu surat itu tiba pada yang dituju, cukup pasrah dan ikhlaskan pada titah pak pos sebagai penyampai pesan. soal apakah akan tiba pada alamat yang dituju, dan bagaimana reaksi si penerima surat, ikhlaskan saja. toh, telah ada usaha untuk sampai pada titik itu.
seperti juga menjalani hidup, yang dibutuhkan hanya usaha dan doa. lalu bonus atas perasaan sabar menunggu adalah menerima berkah yang luar biasa. seluar biasa menerima surat cinta darimu, dear...