Friday, December 20, 2013

keseimbangan

hidup adalah tentang keseimbangan. bahwa aktivitas yang kita lakoni sejatinya harus dijalani seirama dan harmonis. ada saatnya berlari dan kemudian diam di tempat, menunggu dan lalu bergerak kembali. 

sebagaimana konsep Yin dan Yang, bahwa di dunia ini ada dua realitas yang saling melengkapi. ada keburukan, tapi pasti ada sisi kebaikan yang menutupi dan mengisi. keduanya berjalan serasi, mencipta energi. 

namun, tak dipungkiri, manusia hidup dengan segala dinamikanya. selama masa edar bumi, manusia akan terus bergerak dan meraih apa yang menjadi harapan, impian dan keinginannya. dan pada masa depan kelak mereka menaruh harapan-harapan baik untuk asa dan cita-cita mereka.

seperti halnya berkarir butuh pijakan tangga step by side. perlahan tapi pasti. ada passion yang dibawa, ada semangat yang dipacu, sekencang derap kuda melaju. target, deadline, promosi jabatan, dan sekeras apapun usaha kita menuju ke arah sana. 

tak ada yang salah. begitu juga mereka di luar sana yang berjuang atas nama loyalitas. kerja keras bagai kuda, dan rela dicambuk dan didera rutinitas yang berputar ulang. dan pada akhirnya tersadar sudah berada di lingkaran setan. sukar keluar.

Mita Diran adalah contoh nyata. seorang copywriter di salah satu perusahaan iklan itu harus menemui takdirnya. mati muda. cita-cita Mita gugur - tumbang di hadapan setumpuk pekerjaan dan menyisakan ia yang lelah. namun Mita pilih tak menyerah hingga ia akhirnya benar-benar kalah. Mita meninggal dunia setelah bekerja tiga hari tanpa tidur.

pada kisah Mita, saya bercermin, dimanakah letak keseimbangan hidup? saya barangkali pun tanpa sadar sudah tidak lagi harmonis - seimbang dengan hidup yang saya jalani. kadang-kadang (sok) sibuk, hingga saat diperlukan untuk keluarga, saya sudah tak lagi punya daya dan upaya. 

sementara, peneliti Jeffrey Greenhaus dan Gary Powell mengatakan pekerjaan dan kehidupan pribadi harus menjadi sekutu. saling mengisi dan melengkapi. butuh effort yang berlimpah untuk menjalani peran ganda ini. tak hanya sebagai pribadi mandiri, namun kontribusi sebagai orang tua, pasangan, teman, dan karyawan harus dapat meningkatkan kesehatan fisik dan kesejahteraan psikologis – terutama ketika semua peran bisa dikelola bersama-sama.

tapi tak dipungkiri, menjadi wanita multitasking adalah lakon maha berat. realitanya, saya tidak mungkin bisa menjalani semua peran dengan baik. sadar dan tanpa paksaan saya menjalaninya dengan segala kekurangan yang ada di sana dan di sini. 

keseimbangan nyata-nyata hanya menyoal sikap diri. bagaimana saya harus bisa mendedikasikan porsi waktu yang (minimal) sama untuk pekerjaan, keluarga dan kehidupan pribadi. dan menentukan mana yang lebih prioritas dan menyelaraskannya dengan prioritas pribadi. bisa jadi malah timpang, jika saya malah bimbang mana yang lebih penting untuk didahulukan. 

oke, saya mungkin cemerlang saat di kantor, tapi bisa jadi saya tak secemerlang saat harus berhadapan dengan anak-anak saya di rumah. jujur, terkadang lelah di luar sana, membuat saya tak benar-benar ada untuk mereka saat dibutuhkan. atau bolehlah saya dapat pujian dari si sulung karena masakan saya dapat acungan jempol, tapi di kantor, bisa jadi saya pekerja paling oon karena kerap melakukan kesalahan.

pesan mama saya boleh jadi benar, "tidak perlu ngoyo, rejeki sudah ada yang mengatur". kembali pada konsep Yin dan Yang, ini menyoal harmonisasi energi. semua yang berputar di alam ini sudah dikemas sedemikian apik.

bahwasanya keseimbangan energi, hanya diri sendiri yang bisa mengatur. jangan terlalu keras, tapi juga jangan terlalu lemah. asal jangan sampai abai dengan alarm tubuh dan rasa hati. 

pun, apa yang sudah dijalani jangan sampai menjadi beban diri. saya janji berhenti jika memang sudah tidak lagi mampu. tapi selama masih bisa melakoninya, saya akan menjalani dengan senang hati saja. tanpa beban.

karena saya percaya. ada saat di mana kita perlu berhenti sejenak. meresapi dan mengingat kembali. alam sudah menyediakan semuanya. kita hanya perlu mencari, menikmati dan mensyukuri.




selamat berkarya dan bekerja!

Wednesday, December 18, 2013

Yance : Penting Mengelola Uang Saku Sejak Dini

Oleh Er Maya

Bukan lagi menjadi rahasia umum, bahwa di jaman sekarang ini kebutuhan hidup manusia sangatlah banyak dan beraneka ragam. Tak dipungkiri, uang mengambil peran penting dalam perputaran kehidupan kita. Bagi orangtua memberi uang saku pun seperti menjadi keharusan, mengingat aktivitas dan kegiatan anak di sekolah memerlukan penunjang.

Nah, uang saku inilah yang kerap menjadi alasan anak-anak untuk jajan sepuasnya, bahkan menjadikan anak boros atau konsumtif. "Padahal, tak hanya kebutuhan akan jajan saja, anak juga harus diajarkan untuk mengelola uang saku mereka sejak dini," ujar Yance Chan, trainer dan coach di bidang bisnis, keuangan, parenting dan pendidikan serta pemilik lembaga pendidikan Excel English.

"Banyak orangtua hanya sekedar memberikan uang saku pada anak, tetapi tidak mengenalkan fungsi uang tersebut," imbuhnya. Anak-anak perlu diajarkan untuk mengelola uang saku mereka dengan penuh tanggungjawab. "Mulailah dengan mengajarkan anak untuk menabung sisa uang saku di celengan atau di bank. Dengan meyisihkan uang saku, mereka juga bisa melakukan kegiatan kemanusiaan, untuk menyumbang gereja, mesjid atau memberikan kepada pengemis," jelasnya.

Intinya, menanamkan mindset kepada anak sejak dini tentang fungsi uang adalah hal yang sangat penting. Anak tak sekedar tahu bagaimana mempergunakan uang saku, tetapi juga pandai mengelola uang saku mereka dengan baik. "Anak jadi lebih bisa bertanggungjawab dengan uang saku yang mereka dapatkan," jelasnya.

Tujuan

Pemberian uang saku pada anak harus memberikan manfaat. Dengan memberikan pemahaman tentang kondisi orangtua, anak akan mensyukuri pemberian dari orangtua sehingga termotivasi untuk tidak boros.

"Anak akan terlatih untuk mengelola uang saku mereka sendiri. Sehingga mereka dapat memilah, mana yang harus dibeli, dan mana yang harus ditunda," jelas pria kelahiran Jakarta 36 tahun lalu itu.

Yance memberikan contoh, "cobalah memberikan kepercayaan pada anak-anak, berikan mereka uang jajan secara mingguan," paparnya. Awalnya mungkin mereka akan menghabiskannya dalam waktu beberapa hari saja.

Lalu, buatlah aturan main yang jelas, misalnya ada punishment jika mereka menyalahgunakan kepercayaan orangtua dan reward jika anak berhasil menjalankan tangggung jawabnya. "Hal ini juga bertujuan untuk mengetahui kebiasaan anak-anak dalam mengelola uang saku sejak dini," ungkapnya.

Anak-anak yang terbiasa mengelola uang sakunya juga akan memiliki tujuan yang jelas. Tak sekedar menggunakan uang saku untuk jajan, "Mereka juga bisa membeli barang dari hasil menyisihkan uang sakunya. Ini akan menumbuhkan rasa memiliki atau sense of belonging yang tinggi dan menjadi kebanggaan bagi anak," imbuhnya.

Intinya, dengan belajar mengelola uang saku dapat mengajarkan anak membuat pilihan sendiri, menjadi mandiri dan bisa membuat keputusan membeli yang cerdas, serta dapat menentukan prioritas pengeluaran dan mematuhi anggaran uang saku yang telah dibuat.

* sebuah repost. salah satu artikel yang pernah dimuat di suplemen untuk anak "Junior" Suara Merdeka

Thursday, December 12, 2013

Kekuasaan Versus Seksualitas

Oleh Er Maya

Pelecehan seksual (sexual harassment) memang belum lama populer di kalangan masyarakat Indonesia, meski istilah tersebut sebenarnya telah ada sejak pertengahan tahun 70-an.

Munculnya istilah ini barulah marak seiring dengan kesadaran kaum wanita akan hak dan derajatnya. Hal ini karena masalah pelecehan seksual tidak dapat dipisahkan dari masalah diskriminasi gender.

Kini, kasus pelecehan seksual melanda berbagai tempat. Tak lagi sekedar terjadi di ruang publik seperti di bus kota, mal, pasar, dan sekolah namun telah merambah juga hingga ke ranah kantor.

Mita (nama samaran), wanita usia 30 tahun itu adalah salah satu korban pelecehan seksual yang dilakukan rekan sekerjanya di kantor. "saat rehat di ruang kubikal salah satu teman, tiba-tiba salah satu rekan kerja saya memancing pembicaraan ke arah tema seksual, dan tanpa alasan yang jelas pula, dia menyindir saya dengan sebutan "si maniak seks"

Bukan perlakuan "colek pantat" atau "remas dada", seperti kebanyakan pelecehan seksual terjadi pada kaum wanita, namun bagi Mita, perkataan rekan kerjanya itu sudah begitu menyakitkan, "masih susah lupa jika mengingat perkataannya, mbak" ungkap Mitha kepada CyberNews.

Meski hanya sebatas sebuah guyon maton asal kumpul antar rekan seprofesi, namun sebuah sindiran dan kata-kata serta sikap yang bersifat seksual bisa berdampak pada rasa tidak nyaman yang tercipta di lingkungan kantor.

Tipe pelecehan ini lebih dikenal dengan sebutan "lingkungan tak ramah", dimana tak hanya sekedar melibatkan interaksi atasan dan bawahan tetapi juga antar rekan kerja.

Kekuasaan versus seksualitas

Ya, ketika seseorang dengan segala kekuatan dan kekuasaannya sanggup berbuat apa saja, maka ia bisa "menekan" orang lain sesuka hati, termasuk dalam hal ini terkait seks. Tak heran jika 'penekanan' atas dasar kekuasaan inilah yang lalu merangsang terjadinya banyak kasus pelecehan seksual.

Sayang, meski spirit emansipasi terus disebarkan ke seluruh negeri, namun ternyata belum mampu menghapuskan ketimpangan yang begitu kentara antara kaum pria dan wanita.

Ketidaksetaraan ekonomi serta pandangan seksis yang meluas di masyarakat memicu pembenaran kaum pria sebagai kaum penuh kuasa untuk bisa berbuat apa saja terhadap wanita. Pandangan umum inilah yang lalu ditafsirkan salah oleh mereka, bahwa tubuh perempuan adalah objek yang memuaskan, dipandang boleh, disentuhpun oke.

Jarang terungkap

Meski ada juga kaum pria yang mengalami kasus pelecehan seksual, namun tak sebanyak yang terjadi pada kaum wanita. Hal ini terungkap pada penelitian Gutek dalam Unger dan Crawford tahun 1992, menyimpulkan bahwa wanita lebih banyak (53%) mengalami pelecehan seksual daripada lelaki (35%).

Namun, kebanyakan kasus pelecehan seksual yang terjadi jarang terungkap. Sebagian korban lebih memilih pasrah dan bersikap diam (ignore or did nothing, lima reaksi Pelecehan Seksual oleh Johnson, 1982). Masih adanya ketergantungan ekonomi di tempat bekerja, membuat korban lebih memilih diam sebagai konsekuensi demi mempertahankan pekerjaan yang dimilikinya saat ini.

Tentu jika hanya dengan diam saja, ini tak akan memberi efek jera bagi pelakunya. Perlu adanya investigasi secara menyeluruh terhadap kasus pelecehan seksual dan investigasi harus bersifat rahasia untuk mencegah karyawan mengetahui seluruh cerita yang berkembang. Ini dilakukan untuk menjaga privasi pelaku dan korbannya.

Merambah seluruh negeri

Kasus pelecehan seksual memang telah memasuki tingkat berbahaya di lingkungan kerja. Dari hasil jajak pendapat antara Reuters dengan Ipsos, didapat angka mengejutkan. Satu dari sepuluh karyawati pernah mengalami pelecehan seksual baik sesama rekan kerja atau majikannya.

Tak hanya di Indonesia, sebanyak 12 ribu responden di 24 negara juga ikut disurvei. Diperoleh laporan lebih dari 26 persen karyawati di India pernah mengalami sexual harassment. Peringkat kedua ditempati Cina dengan 18 persen, Arab Saydi 16 persen, Meksiko 13 persen dan Afrika Selatan 10 persen.

Amerika Serikat sendiri mendata sebanyak 8 persen pekerjanya terdorong melaporkan pelecehan seksual yang dilakukan seniornya. Yang cukup mengagetkan, beberapa kasus pelecehan seksual melibatkan beberapa profil-profil figur publik. Hm, sebuah pembuktian bahwa kuasa tak selamanya bisa menekan orang lain di banyak sisi, tak hanya menyoal harga diri korban namun juga harga diri pelakunya.

Sebagai contoh, CEO Hewlett-Packard, Mark Hurd, akhirnya pilih mengundurkan diri pekan lalu di tengah penyelidikan mengenai berbagai klaim pelecehan seksual yang ditujukan kepadanya, sedang Mark McInnes, mantan CEO kelas atas pengecer Australia David Jones, berhenti pada bulan Juni setelah mengakui perilaku tidak pantas pada anggota staf perempuan.

* sebuah repost

Ketika Emansipasi Tak Seindah Cita-cita Kartini

Oleh Er Maya

SIAPAPUN tak pernah ingin menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), tak terkecuali wanita. Namun kasus KDRT yang terjadi masih saja menempatkan wanita sebagai korbannya.

Emansipasi memang masih terus didengungkan, ketika wanita harus bisa berdiri sejajar dengan pria dalam segala bidang kehidupan. Namun gemanya ternyata tak seindah cita-cita Kartini, dimana pria masih tetap menunjukkan ego dan kekuatannya dalam hal kekerasan terhadap perempuan.

Seperti yang dilansir CyberNews dari Legal Resources Center - Keadilan Jender dan HAM (LRC-KJHAM) diperoleh data, jumlah kasus KDRT dari bulan November 2009 hingga Oktober 2010 memiliki modus yang tidak jauh berbeda, namun dengan tingkat intensitas kejahatan yang jauh lebih tinggi. Hal ini terlihat dari beragamnya alat kejahatan yang digunakan pelaku dalam melukai korbannya.

KDRT, Dominasi Wanita?

Lantas, bagaimana dengan kasus tiga orang suami warga Kabupaten Malang, Jawa Timur, yang melaporkan istrinya masing-masing ke Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Pemkab setempat, karena merasa mengalami siksaan psikis?

Suami yang melaporkan istrinya dalam kasus KDRT memanglah hal yang langka. Karena sejak diresmikan Januari 2001, belum ada satupun laporan KDRT yang berasal dari pihak suami. Hal tersebut diungkapkan Dra Kamti Astuti, Kepala KPPPA Kabupaten Malang kepada CyberNews.

Jumlahnya yang hanya sedikit dari sekian banyak kasus KDRT adalah sebuah realita, wanita tak melulu dianggap sebagai makhluk lemah namun bisa juga menunjukkan kekuatannya dengan mendominasi.

Permasalahan ekonomi ditengarai muncul sebagai penyebabnya. Perbedaan penghasilan antara suami dan istri, dimana istri memiliki pendapatan jauh lebih tinggi akhirnya menimbulkan ketimpangan yang terjadi dalam rumah tangga. Istri dengan segala kekuatannya menganggap suaminya lemah, dan suami yang tak lagi betah merasa diinjak-injak harga dirinya akhirnya pilih melapor.

Dalam keadaan seperti itu, sebetulnya suami belum tentu dinilai mengalami KDRT, dalam arti kekerasan fisik. Harga dirinya yang merasa diinjak-injak oleh istrinya yang lebhi mandiri, tentu membuatnya sakit secara psikis, bukan fisik.

"Jadi, kasus di Malang itu sebetulnya KDRT secara psikis," jelas Psikolog pernikahan Fenny Listiana SPsi Msi. KDRT psikis tidak bisa dilihat dengan kasat mata. Sedangkan KDRT fisik bisa terlihat, misalnya adanya bekas pemukulan oleh suami atau istri.

Fenny justru menilai, munculnya laporan KDRT oleh suami sebagai suatu perkembangan yang bagus. Ini mencerminkan mulai adanya kesimbangan antara laki-laki dan perempuan dalam mencari keadilan terkait KDRT.

Pembelaan diri

Namun, ditengah dominasi wanita mengendalikan pria, kasus KDRT yang melibatkan wanita sebagai korbannya masih tetap besar, seperti diungkap Irene dari staf Pusat Informasi dan Dokumentasi dari LRC-KJHAM. Ia mencontohkan wanita yang dilaporkan menjadi pelaku KDRT, biasanya sebelumnya juga pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suaminya.

"Ya, seperti bentuk pembelaan diri, ketika ada kesempatan menjadi besar dan kuat, mereka lalu berusaha melawan, demi melindungi diri," tambahnya.

Lalu kemana para korban KDRT lari dari masalah ini? Karena memang bukanlah hal mudah, ketika nyawa sudah mulai terancam tak ada tempat yang aman untuk berlindung. Terbitnya UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), diharapkan bisa melindungi wanita dari segala tindak kekerasan yang dialaminya.

Dari laporan LRC-KJHAM, kebanyakan "mitra" (sebutan untuk para korban KDRT) datang sendiri untuk melaporkan kekerasan yang dihadapi, namun ada juga mitra yang dibawa keluarga atau atas rujukan dari layanan masyarakat lain. "Harapan kami, kehadiran kami ini bisa memberikan rasa nyaman untuk mereka", ujar Irene.

Merangkul "mitra"

Pengadaan shelter (rumah aman) tentunya bisa memberikan tempat yang netral bagi para mitra agar bisa menetramkan batin dan memulihkan kondisi mental yang pastinya berguncang hebat. Selain itu, shelter ini juga akan menjadi tempat berkumpulnya para mitra, untuk saling berbagi dan menguatkan.

"Awalnya pengadaan shelter dilakukan secara independen oleh kami, namun kemudian mendapat kucuran dari Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan KB, dan sekarang setiap ada mitra yang datang kepada kami, langsung kami bawa ke shelter yang sengaja kami rahasiakan alamatnya," ungkapnya.

Pengadaan shelter ini berfungsi untuk mencegah adanya pengaruh dari luar sehingga mengganggu stabilitas kejiwaan sang mitra yang sedang dalam kondisi tertekan. Biasanya mitra akan ditempatkan di shelter, maksimal selama 6 bulan.

Tak hanya menyediakan shelter, pendampingan juga dilakukan dengan menyediakan divisi bantuan hukum secara gratis. Tugas pendamping ini tentunya mendampingi mitra saat menjalani persidangan terkait kasus yang dialaminya.

Namun Irene menegaskan, divisi bantuan hukum ini tetap menggunakan asas pemberdayaan korban. "Artinya, korban jangan sampai tergantung kepada kami, karena tugas lembaga ini sekedar mendampingi", jelasnya.

Setiap mitra yang datang 'mengadu' secara otomatis telah masuk ke dalam support group. Ada agenda rutin yang dilakukan setiap bulannya, "para mitra akan bertemu untuk melakukan konseling, pengenalan karakter, latihan ketrampilan hingga mengkritisi apapun yang berdampak pada perempuan," jelas Irene.

"Pada dasarnya, kami membantu menyuarakan aspirasi mereka", tambahnya. Karenanya ada latihan untuk pengembangan diri sehingga mereka tampil berani, menyuarakan keluhan dan aspirasi mereka saat orasi dan aksi-aksi yang dilakukan terkait aksi aktivis perempuan.

Full-Timer

Tak hanya sekedar sembuh dari tekanan mental yang mendera, para mitra yang berhasil atau berdaya, artinya mereka sudah keluar dari ketergantungan dalam hal ekonomi, psikologi dan sudah terbebas dari masalah hukum terkait kasus KDRT yang menimpanya, bisa ditunjuk sebagai full-timer.

Irene menjelaskan, saat ini sudah ada tiga full-timer yang dikirim ke Pusat Pelayanan Terpadu yang tersebar di tiga kecamatan yaitu Pedurungan, Semarang Barat dan Banyumanik. Mereka diperbantukan untuk memberi dukungan penuh kepada para mitra, korban KDRT.

Lalu, adakah jaminan mereka tidak akan kembali 'down' ketika mendampingi mitra saat menghadiri kasus di pengadilan? Ya,  sebuah luka pasti bisa saja kembali terbuka, ketika ada hal-hal yang ingin dilupakan justru kembali terlintas dalam pikiran dan memaksa mereka mengingat kekerasan yang pernah mereka alami, bukan?

Kuncinya, adalah menciptakan rasa saling menguatkan dan saling mendukung. Hal ini obat mujarab yang membantu full-timer dan mitranya bersama-sama bisa menghadapi mimpi buruk akibat KDRT dan kembali tegar menjalani hidup.

* sebuah repost

Saturday, December 07, 2013

Bunda Wening: Terapkan Disiplin, Awali dari Kebiasaan

Oleh Er Maya

Anak-anak yang memiliki disiplin tinggi adalah cita-cita semua orangtua. Namun, adakalanya orangtua mengalami kesulitan 'menjinakkan' anak-anaknya yang tidak disiplin.

Ya, disiplin memang acap dijadikan momok, sesuatu hal yang menakutkan. "Anak akan merasa tertuntut dan menjadi beban bagi si anak ketika melanggar disiplin tersebut," ungkap bunda Wening, konseling anak dari As-Syifa Institute.

Menurut bunda, demikian ia akrab disapa, manusia pasti memiliki prioritas terhadap kebutuhan mereka. "Misalnya, bayi usia 7 bulan pasti lebih sering tidur dibandingkan balita usia 4 tahun yang 50%-60% nya masih lebih sering bermain. Ini artinya, seiring pertumbuhan usia, kebutuhan tidur tentunya akan berkurang," jelas bunda. Jadi, dalam hal ini, untuk menerapkan disiplin tidur harus pula bercermin pula pada usia tumbuh kembang anak.

Penerapan disiplin di sebuah keluarga tentu memiliki pola yang berbeda antara satu keluarga dengan keluarga yang lain. "Agar disiplin itu efektif, maka sebenarnya tidak harus diterapkan secara tertulis, tapi bisa melalui pembiasaan-pembiasaan," imbuhnya.

Bunda memberi contoh, ada seorang anak yang terbiasa belajar mulai jam 02.00 dinihari hingga selepas waktu shubuh. Kebiasaan tersebut rupanya diterapkan orangtuanya dengan konsisten dan bertujuan agar diteladani. "Si anak melihat kebiasaan orangtuanya bangun dinihari dan beraktivitas, dan ia lalu menerapkan kebiasaan tersebut pada waktu belajarnya," jelas bunda.

Anak tersebut tidak merasa terbebani dengan disiplin, karena sudah terbiasa melihat kebiasaan-kebiasaan yang dicontohkan orangtuanya. Jadi, poin penting yang wajib diperhatikan orangtua adalah konsisten dan teladan untuk mengajarkan perilaku disiplin pada buah hatinya.

Latih Kebiasaan

Agar sebuah keinginan bisa menjadi kebiasaan, bunda memberikan contoh. "Misalnya saja nih, keinginan bisa rutin minum air putih tiap pagi. Sebagai permulaan, coba dengan menempelkan kertas di tempat minum tersebut, dan lakukan secara berkala setiap pagi selama 21 hari kedepan," jelasnya.

Sehingga tidak perlu dituliskan, pada akhirnya kebiasaan itu akan muncul seiring kerja bawah sadar, seperti diungkapkan bunda. "Karena 88 persen kebiasaan yang diterapkan pada diri sendiri bisa sangat berpengaruh pada perilaku sehari-hari," ungkapnya.

Namun tak dipungkiri, pembiasaan dari orangtua yang diterapkan dari awal pasti akan menciptakan sebuah dinamika penolakan, "hal itu wajar, karena itu bagian dari proses adaptasi," imbuhnya.

Hargai waktu

Waktu tidak akan pernah kembali, "waktu adalah sesuatu yang tidak pernah bisa dibeli, dimana kehilangan waktu adalah kehilangan hal-hal berharga," ujar bunda bijak. Maka penerapan disiplin adalah sangat penting agar anak-anak bisa lebih menghargai waktu.

Lantas, bagaimana agar anak-anak bisa mengatur waktu dengan kegiatan mereka yang seabrek? Terpenting yang perlu diperhatikan terlebih dulu adalah, anak-anak harus merasa senang dengan kegiatan yang mereka jalani.

"Disinilah peran orangtua untuk melihat sejauh mana bakat dan minat buah hati mereka terhadap sebuah kegiatan," ujar bunda. Nah, saat mereka bisa mengatur waktu mereka dengan baik, "konsekuensinya adalah, jangan lupa berikan hadiah atau reward," tandasnya.

"Rangsangan berupa reward ini terbukti lebih efektif daripada sebuah kalimat ancaman jika melanggar disiplin waktu," ujar bunda. Misalnya, ajakan untuk bangun pagi lebih awal, bisa dengan kalimat halus, "kalau kamu bangun pagi dan ngga terlambat masuk kelas, kamu bisa dapet poin lo," imbuhnya.

Sementara untuk hukuman (punishment), "berikanlah hukuman yang ada hubungannya dengan apa yang telah dilanggarnya," ujar bunda memberi contoh.

Terlambat masuk sekolah, misalnya. Guru tidak harus menghukum anak dengan keliling lapangan 100 kali. Cobalah dengan menerapkan hukuman yang sifatnya lebih efektif. "Hukuman atas keterlambatannya masuk kelas, bisa berupa mencari informasi tentang materi pelajaran yang tidak sempat diikuti," ungkapnya bijak.

Harapannya, anak-anak tentu akan bisa mengambil hikmah karena berani melanggar disiplin dan peraturan, "tujuan menghukum pun jadi lebih efektif. Dan satu yang perlu diperhatikan juga, berikan hukuman yang sifatnya mengurangi kesenangan mereka, semisal, lupa waktu belajar, maka hukumannya mengurangi jam menonton televisi" paparnya.

*sebuah reposting. salah satu artikel yang pernah dimuat di suplemen untuk anak "Junior" Suara Merdeka

Friday, December 06, 2013

candu 'selfie'


narsis is not crime. karena bukan disebut sebuah kejahatan jika kamu bangga menjadi dirimu sendiri. bukan soal materi, apalagi prestasi yang menjadi kebanggaan, tapi ini menyoal hobi menfoto diri sendiri. atau yang lebih karib disebut 'selfie'.

inilah upaya untuk menunjukkan pada dunia betapa keren itu adalah aku atau kamu. ada rasa haus untuk diperhatikan, apalagi jika foto diri mendapat banyak acungan jempol dan feedback positif. mau dibilang candu, pada akhirnya kesenangan ini bikin pengen nambah dan nambah lagi.

foto: sidomi.com

benar, jaman memang tak akan pernah bisa dilawan. teknologi bisa jahat tapi juga mempermudah segalanya, termasuk kesenangan itu dengan hadirnya si tongsis alias tongkat narsis. 

inilah alat yang diciptakan untuk memudahkan siapapun mengambil gambar diri tanpa perlu cemas tangan keder alias tremor. dan voilaaa, hasil bidik satu tangan menghasilkan foto terbaikmu yang siap dipasang di akun social media.

tongkat narsis
tak ayal, facebook atau instagram dipenuhi gambar 'selfie' dalam berbagai pose dan momen. alhasil, saking banyak pelakunya, saking seringnya kata ini digunakan sehari-hari, kata inipun telah dibakukan ke dalam kamus bahasa Inggris sekelas Oxford Dictionary.

seperti dikutip dari laman BBC, Rabu, 20 November 2013, Kamus Oxford mendefinisikan kata selfie sebagai aktivitas seseorang yang memotret dirinya sendiri, umumnya menggunakan ponsel atau webcam, kemudian mengunggahnya ke situs media sosial.

bukan wanita

dan siapa bilang narsis hanya milik kaum hawa? karena faktanya seperti dilansir dari Telegraph, survei terbaru dari OnePoll yang melibatkan 2.000 responden menyatakan

17% responden pria mengaku suka memotret diri sendiri (selfie), ketimbang wanita yang hanya 10%.

terungkap juga dari survei tersebut, lebih dari separuh warga Inggris mengaku langsung mengunggah foto 'selfie' nya ke jejaring sosial. untuk hal ini persentase wanita lebih besar, yakni 57%, ketimbang pria yang hanya 45%.

memfoto diri sendiri meski di keramaian pun bukan lagi hal yang asing dijumpai. siapapun layak menjadi fotografer untuk dirinya sendiri. tak aneh, bila selfie bukan lagi milik orang awam, karena publik figur pun menyukai kesenangan ini. narsis abis. 

fenomena budaya

sebenarnya selfie alias narsis adalah fenomena budaya yang sudah dimulai ribuan tahun lalu, jauh sebelum Beiber menggemari selfie.Julius Caesar sengaja mematri siluet wajahnya pada sebuah koin kuno. ini bertujuan agar wajahnya bisa dilihat sesering mungkin oleh warganya. 

fenomena selfie yang makin menggila ini bahkan sempat memunculkan ide kampanye The Cape Times, sebuah koran besar di Afrika Selatan. koran tersebut memajang foto-foto publik figur yang terkenal di masanya tengah mengambil sendiri foto mereka. salah satunya foto Jackie Kennedy tengah narsis.



kampanye selfie ini membawa pesan, bahwa jurnalisme yang baik bukan hanya menyoal objektivitas semata tetapi juga keintiman dengan si sumber berita. jadi bukan soal seberapa manisnya kamu, seberapa tampannya kamu, tapi seberapa besar empati dan simpatimu dengan lingkungan sekitar. itulah  sebenar-benarnya karya tanpa embel-embel ego.

dan narsislah sebelum narsis itu tak lagi gratis. tips dari saya:  foto selfie-mu senatural dan sewajar mungkin. jangan lupa beri senyum terbaik, maka pancaran ketulusan bakal kentara di sana, bukan sekedar pose berlebihan tapi mengundang kepalsuan.

selamat mencandu selfie!


Wednesday, December 04, 2013

Sepanjang Jalan Kampung Kenangan

sejak harus berpindah-pindah kantor, menjalani adaptasi bukan lagi hal baru bagiku. bukankah hidup memang akan selalu mengalami perputarannya, dan aku mencoba nyaman berada dalam pusaran itu.

mengeluh pun tak ada guna, aku menjalani saja apa yang ada. seperti pulang bekerja dengan menempuh jarak yang sedikit agak jauh untuk mencapai shelter BRT, aku menikmatinya. kubayangkan saja rasa itu sama seperti 20 tahun lalu.

saat masih berseragam putih biru, berjalan pulang sekolah di sepanjang jalan Gajahmada dan lalu menyetop angkot yang membawaku pulang ke rumah. sekarangpun sama, melewati jalan Pierre Tendean dan memotong jalan masuk kampung kecil yang menjadi jalan pintas Pierre Tendean menuju Pemuda. sendirian saja, tak apa. sudah biasa.

bisa jadi mungkin akulah orang yang paling rutin terlihat melewati gang kecil itu di tengah sepi dan suramnya kampung yang seakan tak berpenghuni ini.

aku memang takut Tuhan, dan siap mati. tapi jika ada tombol option saat malaikat pencabut nyawa datang padaku, aku tak mau mati dalam kondisi dibunuh. seseram itu aku membayangkan seseorang tak dikenal di ujung gang sepi menghadangku dan mengeluarkan senjata tajam. ia mungkin saja akan melakukan tindakan penganiyaaan karena memanfaatkan sepinya keadaan.

namun, tak sekedar suram, kampung yang diapit antara Hotel Novotel dengan gedung bioskop tua, "Semarang Theater" itu menyimpan kenangan indah seorang teman bersama kekasihnya. "sepanjang jalan kampung kenangan", bolehlah diberi judul seperti itu.

cintanya masih meranum waktu itu, dan di gang sepi inilah sang kekasih pernah membuatnya kaget bercampur senang karena dicium diam-diam. "wajahku sudah mirip kepiting rebus saking merahnya," katanya. maklumi saja, cinta keduanya memang tak biasa, jadi waktu yang sempit dan kondisi yang serba terbatas pun selayaknya tiket menuju bahagia.

namun, tak seperti namanya, Basahan, kampung ini nyatanya telihat kering. tak ada geliat kehidupan yang kentara di sana. sejak tergerus kapitalisme, penduduk asli kampung Basahan memilih tergusur keluar kampung. kalaupun ada aktivitas, kini hanya sliwar-sliwer pengendara sepeda motor yang mencari jalan pintas, atau tukang becak dan gelandangan yang mandi dan beristirahat

memang, di kampung yang terletak di kelurahan Sekayu, Semarang Tengah atau jalan Bojong (sekarang Jalan Pemuda) ini memiliki juga sebuah sumur tua yang tampak di depan rumah salah seorang warga. konon, sumur tua itu sering digunakan beberapa pemulung untuk sekedar membersihkan diri.

ya, sebuah realita, di antara himpitan gedung-gedung yang makin angkuh menjangkau langit, kampung kecil dengan panjang 75 meter dan lebar 1.5 meter itu menyisakan kisah dan sejarahnya sendiri. bagi penduduk aslinya, bagi aku, temanku dan siapapun yang memanfaatkan jalan pintas itu.

yang terserak dari kenangan gang ini adalah ia ada meski hadirnya sekedar penggembira. di tengah hingar bingar kota, di tengah kejamnya kapitalisme, onggokan sejarah nyatanya tak akan bisa dilawan. kampung ini akan tetap ada meski seluruh warganya hilang ditelan jaman.

dan dengan senang hati aku ingin tetap setia menjadi penikmat sejarah kampung kecil itu. karena hanya dengan melewatinya, aku masih akan terus mengenang hadirnya. seperti ungkapan bijak seorang teman, "ingatlah masa lalu, maka kamu berhak akan masa depan". dan, meski hanya serupa jalan pintas, kampung Basahan adalah jalan kenangan menuju masa depan.


 *sebuah renote from mukabuku, January 21, 2013 at 2:55pm






aku, sepi dan hati

sepi, aku bahkan bisa mendengar suara hatiku sendiri, suara yang kerap terabaikan karena suara-suara lain seakan berlomba meminta perhatian. "apakah kamu sedih dengan kesepian ini?" kata hati suatu waktu. "mungkin iya, tapi tidak juga," jawabku meragu.

"aku hanya pernah menjadi bukan diriku yang sesungguhnya. pura-pura. aku yang terlalu angkuh, ingin membuat dunia di sekelilingku senang, riang dan tenang. selayaknya badut, menyenangkan orang lain, meski hatinya kelu."

"tak inginkah kamu istirahat sebentar saja dari hingar bingar itu?" suara hati kembali muncul dengan pertanyaan yang ingin sekali kujawab, tapi terlalu takut.

"bukankah, jiwa tak sepantasnya dipenjara dalam tembok ketakutan. takut hanya karena tak ingin melukai hati banyak orang. dan lalu memilih memanipulasi diri sebaik mungkin," batinku.

gamang. kuputuskan mencari sepi. dan di sinilah kebebasan itu kutemukan. tak jauh mencari, sepi datang bersama hati. mereka teman sejati. hati bersedia mengosongkan ruang untukku agar aku bisa bertemu sepi.

sepi baik. ia memberiku waktu meski sekejap mengucap salam perpisahan dengan hingar bingar. bulat sudah keputusanku. tak lagi berbentur sudut dan sisi-sisi lain, aku mantap pergi bersama sepi.

"dan akhirnya kamu menikmati kesepian ini?", tanya hati. "boleh aku jujur, aku tersiksa, tapi setengah dari diriku melega. aku tak harus menyakiti hati lebih banyak orang lain dengan terus bermain pura-pura, aku tak harus menyakiti hati dia yang kucinta karena terus meminta. sudah saatnya aku memberi yang ia mau. melepas semuanya"

dulu, semuanya tersusun rapi di sana, di antara jutaan syaraf otak, memori tentang semua hal yang kini akhirnya berantakan kemana-mana. "sudah saatnya berbenah," hati kembali bicara. "ya, men-defrag ulang, membuang memori usang, dan menyimpan yang selayaknya dikenang,"kataku.

"lalu, akan kau apakan ruang kosong yang tak lagi berantakan itu?" hati kembali bertanya. "semua sudah kurapikan, kubenahi, agar saat dia dan semua kenangan itu datang, aku telah siap menerimanya hadir kembali." aku yang terlahir baru.


*dialog aku dan hati di tengah sepi dini hari*
*sebuah renote from mukabuku: January 18, 2013 at 12:45am

Neneng: Beri Anak Kesempatan Berkembang

Oleh Er Maya

KEBUTUHAN anak untuk berinteraksi dengan sesama teman tidak dapat dielakkan lagi, karena manusia sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan sesamanya dalam kehidupannya sehari-hari

Anak-anak dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya tentu membutuhkan interaksi dengan lingkungannya, baik di rumah, sekolah atau di lingkungan bermainnya. Namun, dalam proses interaksi tersebut, terkadang anak juga mengalami minder, takut, atau tidak pede.

Hal ini biasanya terjadi karena anak merasa ada hal yang kurang dalam dirinya. Entah karena merasa kurang pintar, tidak sempurna fisiknya atau tidak memiliki barang atau benda seperti yang dimiliki temannya.

"Minder yang muncul dalam diri anak, terjadi karena pikiran bahwa dirinya merasa tidak mampu atau tidak berdaya yang terus tumbuh, terbentuk dan tertanam dalam dirinya," ungkap Falasifatul Falah, S.Psi, M.A., pengajar di Fakultas Psikologi Unissula Semarang.

Lingkungan memiliki andil di dalam mencetus sikap minder tersebut. "Bahkan, minder bisa dialami dari pengalaman khusus yang dialami oleh anak-anak, melalui orangtua, keluarga, guru, teman sekolah, teman dekat atau media massa," imbuh Neneng, demikian ia akrab disapa.

Perasaan minder yang terbawa sejak masa kanak-kanak dan tidak bisa diatasi, serta dibiarkan terbawa hingga dewasa, bisa berakibat mematikan potensi yang dimiliki anak, sehingga tidak berkembang secara optimal. "Anak tidak akan menyadari bahwa ia sebetulnya mampu dan bisa. Tentu saja itu bisa mempengaruhi perjalanan hidupnya di masa depan," jelasnya.

Pola Asuh Demokratis

Tuhan membekali setiap anak dengan potensi dan kemampuan untuk berkembang menjadi lebih baik. Disinilah dibutuhkan peran orangtua juga guru di sekolah untuk membantu mengatasi rasa minder pada anak dan memotivasi mereka untuk lebih percaya diri. Orangtua dan guru sebaiknya tidak terlalu over-protektif.

Guru perlu dilibatkan dalam mengajarkan anak agar percaya diri, karena ternyata lingkungan sekolah bisa menjadi salah satu faktor pemicu anak merasa minder. Misalnya teman-teman yang suka mengolok-olok dan mencela, atau guru yang suka membanding-bandingkan murid. "Orangtua dan guru harus bersinergi mengupayakan lingkungan yang terbaik bagi perkembangan psikologis anak," ungkap Neneng.
"Biarkan saja anak mengalami pengalamannya," jelas Neneng. Anak harus diberi kesempatan mengeksplorasi dunianya dan merasakan bahwa ia memiliki potensi untuk berkembang menjadi anak yang berani dan percaya diri, tambahnya lagi. Ajarkan pada anak melalui pesan verbal (secara langsung) bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam paket yang memiliki kelebihan dan kekurangan.
"Dan orangtua juga harus konsekuen untuk tidak mencela atau merendahkan kekurangan orang lain, dan tidak memuja suatu kelebihan secara berlebihan," tandas Neneng bijak. Sebaiknya orangtua atau guru bisa membantu dengan menunjukkan sikap, "Ok, mari kita sama-sama berusaha memperbaiki kekuranganmu itu, papa mama juga bapak ibu guru di sekolah tentu akan membantumu," imbuhnya.
Sekalipun kekurangan itu ternyata sulit atau tidak bisa diperbaiki, tetaplah mendukung anak, "Kamu tetap manusia yang berharga. Papa mama juga bapak ibu gurumu akan tetap sayang kamu," dengan demikian anak akan merasa aman secara psikologis. "Psychological security ini akan sangat mempengaruhi kepercayaan diri anak," imbuhnya.

Menerapkan pola asuh demokratis sangat diperlukan dalam memberikan kebebasan pada anak untuk mengeksplorasi dunia, mengalami dan merasakan pengalamannya sendiri. Orangtua tak perlu mengatur, mengintervensi, juga melindungi secara berlebihan. "Kemampuan mereka akan berkembang dengan baik jika anak diberi kesempatan," tandasnya. Yang penting jangan pelit pujian dan jangan mengumbar kritik apalagi celaan.

* sebuah reposting. salah satu artikel yang pernah dimuat di suplemen untuk anak "Junior" Suara Merdeka

Wednesday, March 20, 2013

Raffi, Narkoba dan Bahagia

HIDUP sebenarnya tak terlalu sulit, karena yang dicari ribuan orang di muka bumi ini sebenarnya sama. Bahagia. Apapun demi bahagia, orang akan melakukan apapun. Tak ada lagi batas haram atau halal, “pokoknya hajar, bleh!“, begitu remaja gaul menyerukan kalimat penyemangat itu. Tak peduli benar atau salah, toh batasan itu semakin abu-abu.



Seperti juga bahagia yang dicari Raffi tentu akan berbeda dengan bahagianya seorang tuna netra yang puas menikmati segarnya udara laut, meski ia tak bisa menemukan keindahan itu lewat matanya. Bahwa bahagia bersandar kuat pada kata “relatif”, meski wujudnya pastinya sama : sebuah rasa puas, lega dan merasa tanpa beban.
Namun, kepuasan hidup yang telah diraih pun belum tentu menjamin seseorang bisa berkata lantang, “Ya, aku bahagia”. Saat semuanya sudah ada dalam genggaman tangan, terkadang terselip sedikit niat “bermain-main dengan masalah”. Tak dipungkiri, harta, wanita, dan kuasa adalah ranah empuk nan gembur subur, menjanjikan munculnya bibit-bibit masalah baru.
Tak heran, masalah umum di muka bumi ini muncul serupa. Seperti menemukan ke-khas-an di antara sekian banyak isi otak dan pemikiran orang. Ide mereka sama menciptakan masalah baru. Dari mulai korupsi, konspirasi, narkoba, dan perselingkuhan, semuanya hadir menyemarakkan wajah dunia. Mereka yang terlibat harus terima nasib jadi objek lawanan semesta. Masalah yang sudah dipilih, pada akhirnya memperpanjang jarak mereka bertemu bahagia.

Bercermin pada kisah Raffi, penampilannya di layar kaca selalu nampak segar. Melihat keceriaan Raffi tentu saja sejenak terbersit iri. Hidupnya ceria, bahagia, dan dipenuhi tawa. Namun, tampilan di permukaan memang bisa jadi salah terbaca mata pemirsa, dan juga keluarganya. Ia mungkin sebenarnya tengah kesepian, lelah dan bingung.

Sebagai anak pertama, Raffi adalah tulang punggung keluarga. Sepeninggal ayahnya dua belas tahun lalu, ia merasa perlu turut memikirkan nasib ibu dan kedua adik perempuannya. Berbekal wajah tampan dan bakat beraktingnya, bintang Raffi melesat cepat bersinar di dunia keartisan. Membawa pundi-pundi kemakmuran di keluarga mereka.

Apa yang dicari Raffi mungkin sudah ditemukan, melihat ibu dan adik-adiknya senang, adalah bahagianya. Namun, akankah dia sudah benar-benar tenang dengan semua pencapaian itu? Hmm, tak ada yang pernah tahu, kecuali kita bisa membaca isi hati Raffi.

Peka

Meminjam istilah “dunia ini panggung sandiwara”, Raffi saat ini tengah memainkan lakon drama realita yang sesungguhnya. Raffi bertemu narkoba yang dipilih sebagai jalan pintas untuk menemukan apa yang dicarinya, sebuah bahagia. Ia hanya perlu meyakinkan dunia di sekelilingnya dengan ceria dan tawanya bahwa ia baik-baik saja.
Namun, mencari bahagia ibarat mencari mutiara di kedalaman lautan. Dibutuhkan penyelam yang mahir untuk menemukannya, diperlukan kesabaran dan ketekunan untuk berjumpa dengannya. Bahagia yang sederhana, namun untuk mencapainya terkadang dibutuhkan ketidaktahuan, ketamakan, kebencian dan kemarahan.
Dalam proses itu pun dibutuhkan kepekaan tingkat tinggi untuk mengenali suara hati. Karena godaan dan rayuan hanya akan kalah saat suara hati dimenangkan. Dan segala logika yang disuntikkan ke syaraf otak perlu diseimbangkan dengan kepekaan pada hati nurani. “Apakah jalan yang aku ambil sudah salah ataukah belum benar?”

Mata hati Raffi mungkin telah ditutupi oleh tebalnya kerak godaan. Hidup makmur yang didapatnya setelah bertahun-tahun merintis karir pada akhirnya mengajaknya bertemu masalah. Tapi, bukankah hidup itu belajar mengatasi masalah?. Belajar untuk berani kuat menghadapi perputarannya yang tak tentu, selayaknya roda yang terus berputar.

Semua akan bisa terasa saat kita sudah mengalaminya, seperti halnya memilih jalan yang salah, dan tersesat tak tahu arah jalan pulang. Menyesal salah jalan tak akan pernah membawa kita kemana-mana, kecuali kita mau mencari jalan keluar.

Ya, ini tak hanya menjadi pembelajaran untuk Raffi, tapi kita semua, bahwa sejatinya bahagia itu tak perlu dicari tapi harus diciptakan (dari hati). Dengan mensyukuri apa yang sudah dimiliki, menjaganya dengan baik dan mengolahnya menjadi berkah. Karena hanya sia-sia mencari bahagia, tapi kenyataannya harus melewati sebuah kepura-puraan besar. Seperti menumpuk kesengsaraan yang berujung menderita.

Friday, January 11, 2013

mudik, merdeka dan menang

sebuah repost

ada haru makanala menikmati macet tadi pagi, macet yang sebenarnya sudah jadi pemandangan biasa buat saya yang tinggal di pinggiran Semarang *baca Semarang Coret*, dimana jalur Pantura jadi trek wajib lewat setiap saya harus berangkat beraktivitas. bahkan saya rela melabeli diri sebagai "wong ndeso sobo kutho", hingga sudah kenyang mengurai macet yang jadi makanan tiap hari.

macet pagi tadi terasa bagai momen spesial, merasai kembali euforia setahun sekali, dimana jutaan kaum urban dihinggapi perasaan yang sama, rindu kampung halaman. ada rasa bangga terbawa manakala berjaya di kota. tak ingin dianggap lupa pada sejarah, sukses itu pun harus dikabarkan di tanah kelahiran. dan berteriaklah nanti sekencangnya, "aku berhasil, mak!"

bagi saya yang tak pernah merasakan mudik, hal ini tentu begitu mengharu biru. ah, mau dibilang lebai, silahkan saja.  sebuah de ja vu yang indah, jumat pagi di bulan Ramadhan itu, Indonesia juga tengah bersuka cita merayakan kebebasannya setelah 67 tahun lalu berpeluh keluh memperjuangkan hak mereka untuk merdeka. kemerdekaan yang didapat ditengah ujian kesabaran menuju kemenangan.
menang, merdeka, juga bebas, pada akhirnya milik sepenuhnya para pemudik-pemudik itu. bagai laron, demikian saya menyebut para bikers, mereka merangsek memenuhi jalanan meski macet menghadang di depan mata. kata Goenawan Muhammad, guru saya, jalanan adalah vivere pericoloso. seperti juga kota. disanalah hidup berbahaya itu disuguhkan, dan justru berbahayanya, mereka malah tertantang menaklukkan kerasnya jalanan.


seperti sudah sangat percaya diri, bermodal semangat meraih kemenangan dan kemerdekaan, pemudik bersepada motor merambati jalanan. kebebasan itulah yang nyata terbaca. saking percaya dirinya, resiko apapun hantam saja. bagai hendak maju perang, ransum segede karung disandang di bahu, muatan oleh-oleh disampirkan di sadel 'jadi-jadian', anak dihimpit depan belakang oleh bapak ibunya pun rela.

kalau boleh mengintip alasan mereka memilih bersepeda motor saat mudik, pastilah beragam. sepeda motor dianggap praktis, itu jelas. diperjualbelikan dengan sangat bebas, iya, apalagi penawaran kredit motor makin menggila jelang lebaran.
bukan lagi dipajang di show room, motor berbagai kasta *murah, terjangkau, mahal* dijajakan juga di tengah lapangan, pasar, ditawarkan bagai durian. dengan prosedur kredit yang tak rumit, dengan atau tanpa 'tembak' SIM. voila. motor itu sebegitu mudah berpindah tangan, sah milik sang pemilik. aku bersepeda motor, maka aku ada.
motor-motor berstatus kredit itu lalu menaikkan gengsi. "biar kredit kan yang penting rajin bayar cicilannya, biar bisa pamer sama keluarga di kampung" ujar Asep.

faktanya, inilah instrumen kemerdekan yang sesungguhnya. siap berkendara dengan bangga, karena sanggup lebih cepat menerabas macet, ketimbang jip Nissan Terano mewah (yang mungkin juga statusnya kredit) yang merayap pelan, pasrah. tebakan, bakal jadi yang pertama tiba di kampung halaman, nih?
dalam kapasitasnya yang mandiri dan sanggup melewati rumitnya macet, sepeda motor boleh bangga, sementara bis omprengan dan jejeran mobil berkelas nan mewah pun akhirnya hanya bisa gigit jari. tapi ingat, tetap kudu waras bin mawas diri, karena yang kecil gesit bisa kalah telak dengan yang besar gahar. tabrakan bisa merontokkan kebanggaan, ngga jadi merdeka apalagi menang. itulah kenapa puasa sebenarnya juga kontrol diri yang baik untuk menahan nafsu ngebut di jalanan.
Dirgahayu Indonesia dan selamat mudik, kawan!

biar semangat mudik, saya sarankan pasang lagu "Hari Merdeka"  *ngepasin momen mudik kalian di hari ini*

surat terbuka untuk mama...

"hidup sudah terlalu rumit, jangan semakin dipersulit dengan menambah masalah," pesannya suatu waktu, ketika kami seperti biasa bincang berdua saja.
dekat dan bebas membicarakan apapun dengannya, tak ayal aku menganggapnya lebih dari seorang sahabat. ya, sahabat terhebat. tak pernah sekalipun meminta, ia justru kerap memberi. selayaknya udara yang bebas kuhirup, memenuhi jiwa.

diakuinya, ia bukan seorang pemeluk agama yang taat, namun tak pernah sekalipun ia lupa, ada Tuhan yang selalu bersamanya. "karena Tuhan selalu dekat dengan urat nadi kita, jadi dimanapun, kapanpun, berdoa saja." simple as that. malah ia yang justru kerap mengingatkan aku untuk menjalankan kewajiban beribadah. "contohkan yang baik untuk anak-anakmu, yang buruk dari orangtuamu jangan pernah ditiru."

pengalaman hidupnya bak dongeng yang kerap dibacakan untukku. meski kadang bosan mendengarnya, tapi saat aku mulai curi-curi keluar dari jalur, seketika aku tersadar pesannya begitu berarti.

ia yang mengajarkan padaku bahwa apapun yang sudah kupilih, jalani sepaket dengan risiko dan konsekuensinya. aku dibebaskan memilih pasangan hidup, pun mendukung keputusanku untuk tetap bekerja setelah menikah dan punya anak.

tak ingin sekedar menjadi pembawa pesan, ia mencontohkannya padaku, bagaimana dulu hingga sekarang ia terus berjuang untuk bisa memberikan kontribusi terbaiknya, baik sebagai ibu, istri maupun pekerja. ia yang mungkin sedikit kolot, meski dibeberapa hal ia memiliki pemikiran maju. baginya, beraktualisasi diri adalah cara cerdas menjadi mandiri secara ekonomi.
bekal yang sudah ia persiapkan untukku, adalah bekal untuk perjalanan panjangku di masa depan. ya, ilmu dan nasehat. lain tidak. "jadilah mandiri dengan bekal ilmu yang sudah kamu dapat, karena kamu tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari. bekerjalah untuk menghidupimu dan keluarga. setidaknya, kamu tak perlu harus meminta dari suamimu."
ia bukan liberal, tapi yang diminta dariku hanyalah jaminan bahwa kebebasan dan kepercayaan darinya harus bisa dipertanggungjawabkan. ia mungkin pula ibu pertama yang membebaskan anaknya untuk punya pacar di usia 15 tahun. "supaya kamu bisa belajar lebih awal arti mencintai dan patah hati"
dan teramat susah menyembunyikan apapun darinya, karena dia selalu tahu. kupikir, dulu ia punya bakat menjadi cenayang. mata batinnya mampu menembus ke jantung hati jiwa yang papa. bahkan, sedihku meski sudah kusembunyikan di lipatan kulit wajah paling dalam, tetap saja gurat kesedihanku masih bisa terbaca olehnya.
inginnya terlalu sederhana, bahkan jauh dari kata muluk-muluk. menjalani hidup yang berkah, ikhlas dan tak mau merepotkan anak dan cucunya kelak. "yang penting masih diberi sehat. karena mau punya masalah apapun, kalo sehat, masih bisa mikir jernih dan bekerja."

ya, ia yang kupanggil mama, mungkin bukan ibu yang sempurna, tapi ialah sumber kekuatan dan inspirasiku. menjadi putrinya adalah kebanggaanku. padanya aku belajar, menjadi ibu tak sekedar kodrat, namun menjalani nikmatnya berjuang lahir dan batin demi anak.

dan kini, aku bukan pula sekedar anak. aku bermetamorfosa dengan sempurna. mengalami hidup dan peran baru, menjadi ibu dari anak-anakku. apakah akan terus menyenangkan, sulit di tengah, atau berakhir manis? entahlah.
mungkin saja aku akan lebih banyak memberi pesan dan nasehat melebihi mama, aku mungkin lebih kolot dan julukan "mama cerewet" dan "awas mama galak" adalah label dari anak-anak yang tepat untukku. baiklah, aku akan menikmati peran itu, rela dengan segala label itu. karena satu yang terpenting, menjadi berarti bagi anak-anakku adalah kebahagiaan. sama rasanya seperti aku bahagia memiliki mama.