Friday, January 11, 2013

mudik, merdeka dan menang

sebuah repost

ada haru makanala menikmati macet tadi pagi, macet yang sebenarnya sudah jadi pemandangan biasa buat saya yang tinggal di pinggiran Semarang *baca Semarang Coret*, dimana jalur Pantura jadi trek wajib lewat setiap saya harus berangkat beraktivitas. bahkan saya rela melabeli diri sebagai "wong ndeso sobo kutho", hingga sudah kenyang mengurai macet yang jadi makanan tiap hari.

macet pagi tadi terasa bagai momen spesial, merasai kembali euforia setahun sekali, dimana jutaan kaum urban dihinggapi perasaan yang sama, rindu kampung halaman. ada rasa bangga terbawa manakala berjaya di kota. tak ingin dianggap lupa pada sejarah, sukses itu pun harus dikabarkan di tanah kelahiran. dan berteriaklah nanti sekencangnya, "aku berhasil, mak!"

bagi saya yang tak pernah merasakan mudik, hal ini tentu begitu mengharu biru. ah, mau dibilang lebai, silahkan saja.  sebuah de ja vu yang indah, jumat pagi di bulan Ramadhan itu, Indonesia juga tengah bersuka cita merayakan kebebasannya setelah 67 tahun lalu berpeluh keluh memperjuangkan hak mereka untuk merdeka. kemerdekaan yang didapat ditengah ujian kesabaran menuju kemenangan.
menang, merdeka, juga bebas, pada akhirnya milik sepenuhnya para pemudik-pemudik itu. bagai laron, demikian saya menyebut para bikers, mereka merangsek memenuhi jalanan meski macet menghadang di depan mata. kata Goenawan Muhammad, guru saya, jalanan adalah vivere pericoloso. seperti juga kota. disanalah hidup berbahaya itu disuguhkan, dan justru berbahayanya, mereka malah tertantang menaklukkan kerasnya jalanan.


seperti sudah sangat percaya diri, bermodal semangat meraih kemenangan dan kemerdekaan, pemudik bersepada motor merambati jalanan. kebebasan itulah yang nyata terbaca. saking percaya dirinya, resiko apapun hantam saja. bagai hendak maju perang, ransum segede karung disandang di bahu, muatan oleh-oleh disampirkan di sadel 'jadi-jadian', anak dihimpit depan belakang oleh bapak ibunya pun rela.

kalau boleh mengintip alasan mereka memilih bersepeda motor saat mudik, pastilah beragam. sepeda motor dianggap praktis, itu jelas. diperjualbelikan dengan sangat bebas, iya, apalagi penawaran kredit motor makin menggila jelang lebaran.
bukan lagi dipajang di show room, motor berbagai kasta *murah, terjangkau, mahal* dijajakan juga di tengah lapangan, pasar, ditawarkan bagai durian. dengan prosedur kredit yang tak rumit, dengan atau tanpa 'tembak' SIM. voila. motor itu sebegitu mudah berpindah tangan, sah milik sang pemilik. aku bersepeda motor, maka aku ada.
motor-motor berstatus kredit itu lalu menaikkan gengsi. "biar kredit kan yang penting rajin bayar cicilannya, biar bisa pamer sama keluarga di kampung" ujar Asep.

faktanya, inilah instrumen kemerdekan yang sesungguhnya. siap berkendara dengan bangga, karena sanggup lebih cepat menerabas macet, ketimbang jip Nissan Terano mewah (yang mungkin juga statusnya kredit) yang merayap pelan, pasrah. tebakan, bakal jadi yang pertama tiba di kampung halaman, nih?
dalam kapasitasnya yang mandiri dan sanggup melewati rumitnya macet, sepeda motor boleh bangga, sementara bis omprengan dan jejeran mobil berkelas nan mewah pun akhirnya hanya bisa gigit jari. tapi ingat, tetap kudu waras bin mawas diri, karena yang kecil gesit bisa kalah telak dengan yang besar gahar. tabrakan bisa merontokkan kebanggaan, ngga jadi merdeka apalagi menang. itulah kenapa puasa sebenarnya juga kontrol diri yang baik untuk menahan nafsu ngebut di jalanan.
Dirgahayu Indonesia dan selamat mudik, kawan!

biar semangat mudik, saya sarankan pasang lagu "Hari Merdeka"  *ngepasin momen mudik kalian di hari ini*

surat terbuka untuk mama...

"hidup sudah terlalu rumit, jangan semakin dipersulit dengan menambah masalah," pesannya suatu waktu, ketika kami seperti biasa bincang berdua saja.
dekat dan bebas membicarakan apapun dengannya, tak ayal aku menganggapnya lebih dari seorang sahabat. ya, sahabat terhebat. tak pernah sekalipun meminta, ia justru kerap memberi. selayaknya udara yang bebas kuhirup, memenuhi jiwa.

diakuinya, ia bukan seorang pemeluk agama yang taat, namun tak pernah sekalipun ia lupa, ada Tuhan yang selalu bersamanya. "karena Tuhan selalu dekat dengan urat nadi kita, jadi dimanapun, kapanpun, berdoa saja." simple as that. malah ia yang justru kerap mengingatkan aku untuk menjalankan kewajiban beribadah. "contohkan yang baik untuk anak-anakmu, yang buruk dari orangtuamu jangan pernah ditiru."

pengalaman hidupnya bak dongeng yang kerap dibacakan untukku. meski kadang bosan mendengarnya, tapi saat aku mulai curi-curi keluar dari jalur, seketika aku tersadar pesannya begitu berarti.

ia yang mengajarkan padaku bahwa apapun yang sudah kupilih, jalani sepaket dengan risiko dan konsekuensinya. aku dibebaskan memilih pasangan hidup, pun mendukung keputusanku untuk tetap bekerja setelah menikah dan punya anak.

tak ingin sekedar menjadi pembawa pesan, ia mencontohkannya padaku, bagaimana dulu hingga sekarang ia terus berjuang untuk bisa memberikan kontribusi terbaiknya, baik sebagai ibu, istri maupun pekerja. ia yang mungkin sedikit kolot, meski dibeberapa hal ia memiliki pemikiran maju. baginya, beraktualisasi diri adalah cara cerdas menjadi mandiri secara ekonomi.
bekal yang sudah ia persiapkan untukku, adalah bekal untuk perjalanan panjangku di masa depan. ya, ilmu dan nasehat. lain tidak. "jadilah mandiri dengan bekal ilmu yang sudah kamu dapat, karena kamu tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari. bekerjalah untuk menghidupimu dan keluarga. setidaknya, kamu tak perlu harus meminta dari suamimu."
ia bukan liberal, tapi yang diminta dariku hanyalah jaminan bahwa kebebasan dan kepercayaan darinya harus bisa dipertanggungjawabkan. ia mungkin pula ibu pertama yang membebaskan anaknya untuk punya pacar di usia 15 tahun. "supaya kamu bisa belajar lebih awal arti mencintai dan patah hati"
dan teramat susah menyembunyikan apapun darinya, karena dia selalu tahu. kupikir, dulu ia punya bakat menjadi cenayang. mata batinnya mampu menembus ke jantung hati jiwa yang papa. bahkan, sedihku meski sudah kusembunyikan di lipatan kulit wajah paling dalam, tetap saja gurat kesedihanku masih bisa terbaca olehnya.
inginnya terlalu sederhana, bahkan jauh dari kata muluk-muluk. menjalani hidup yang berkah, ikhlas dan tak mau merepotkan anak dan cucunya kelak. "yang penting masih diberi sehat. karena mau punya masalah apapun, kalo sehat, masih bisa mikir jernih dan bekerja."

ya, ia yang kupanggil mama, mungkin bukan ibu yang sempurna, tapi ialah sumber kekuatan dan inspirasiku. menjadi putrinya adalah kebanggaanku. padanya aku belajar, menjadi ibu tak sekedar kodrat, namun menjalani nikmatnya berjuang lahir dan batin demi anak.

dan kini, aku bukan pula sekedar anak. aku bermetamorfosa dengan sempurna. mengalami hidup dan peran baru, menjadi ibu dari anak-anakku. apakah akan terus menyenangkan, sulit di tengah, atau berakhir manis? entahlah.
mungkin saja aku akan lebih banyak memberi pesan dan nasehat melebihi mama, aku mungkin lebih kolot dan julukan "mama cerewet" dan "awas mama galak" adalah label dari anak-anak yang tepat untukku. baiklah, aku akan menikmati peran itu, rela dengan segala label itu. karena satu yang terpenting, menjadi berarti bagi anak-anakku adalah kebahagiaan. sama rasanya seperti aku bahagia memiliki mama.