Sunday, November 30, 2014

mari mengantri

entah bumbu apa yang dimasukkan ke dalam wajan besar itu hingga banyak pembeli rela antri demi mencicip hangatnya sepiring nasi goreng "pak Karmin" di hawa dingin di tengah derasnya hujan, sore itu.

aku salah satu dari para pengantri itu. ada banyak pesanan nasi goreng dari setiap meja di warung itu. itu berarti pak Karmin harus hapal pesanan disetiap meja. sementara itu, aku memilih memesan nasi goreng telur, dengan rasa pedas yang cukupan.

pak Karmin hebat, batinku. ia tak perlu bersekolah tinggi-tinggi untuk bisa melayani pesanan cepat saji yang mengantri di warungnya setiap hari. wajah pelanggan lama barangkali sudah melekat di memori. barangkali ia masih hapal bapak yang itu biasa beli nasi goreng babat tanpa iso, sementara ibu yang ini lebih suka nasi gorengnya super pedas. 'chaos' dalam antrian pembeli di warung pak Karmin pun tak pernah terjadi. penjualnya cerdas, pelanggannya puas.

pak Karmin mungkin tak tahu bahwasanya ia tengah mengaplikasikan ilmu FIFO (First In First Out). sebuah formula paten. siapapun yang datang pertama, dia yang dilayani terlebih dulu. dan siapapun yang terakhir datang siap-siap diuji kesabarannya. sabar akan rasa lapar, sabar akan rasa terdesak berbagai kepentingan. sabar akan masalah yang datang. 
ya, siapapun ingin jadi yang pertama dilayani, tapi mungkin dibenaknya ada rasa malas mengantri. karena sistem yang telanjur buruk dan borok tak juga sembuh di hampir semua pelayanan publik. rakyat gerah, terbakar amarah. menggebrak meja karena masalah birokrasi rumit, berbelit. yang terkapar tak tertolong, yang punya kuasa melenggang senang.


lantas, adakah rasa nyamanmu diserobot si rakus yang malas mengantri? berharap jadi yang pertama, tapi menghalalkan berbagai cara untuk sampai di barisan paling depan. pemandangan yang jamak terlihat dalam antrian bantuan bagi warga miskin. nomor antrian entah sengaja atau tidak, ditiadakan. menyisakan tatapan memohon warga tua renta tak berdaya yang terhimpit di tengah desakan tubuh-tubuh yang semuanya menaruh harap dari selembar kartu BLSM.

belum lagi disuguhi masalah tak berkesudahan. di hampir setiap ruas jalan di ibu kota, yang terlihat hanya antrian kendaraan mengular panjang dalam drama kemacetan yang setiap hari terjadi. mesin berjalan terus menderu, dan asapnya menyisakan emisi CO2 memenuhi udara di semesta yang makin pengap ini. antrian macet yang tak kunjung menemukan solusi.

selalu ada sebaiknya, tapi jarang aku menemukan solusi pastinya. jalanan diperlebar, atau haruskah pajak kendaraan ditinggikan supaya orang pikir-pikir membeli kendaraan. bagaimana dengan ide mobil murah di negara yang katanya miskin ini? aku tak sanggup membayangkan setiap hari orang harus rajin mengantri.

tapi ini realitanya. mengantri memang harus terjadi. sama halnya mimpi-mimpi yang antri minta diwujudkan. "waktu tak akan pernah kembali, jadi lakukan apa yang bisa kamu lakukan hari ini. menunda apa yang bisa dikerjakan sekarang, sama saja menumpuk masalah, dan itu berarti akan ada beban antrian di kepalamu. siap-siap saja meledak," pesan si bijak.

ya, masalah - antrian wajib diselesaikan yang memenuhi pikiran setiap orang. dan yang masalahnya tak kunjung habis lalu pantas berteriak "bosan hidup. capek aku!". sepertinya ada yang perlu membisikinya, "kalau mau hidup, ya kamu harus mau terima masalah, tapi kalau pengen masalahmu selesai, ya mati saja."

penggalan pesan "i'm number one, so why try harder," yang mengudara dan memenuhi ruang kepalaku pagi ini memang sungguh naif, tapi bisa jadi benar. "jadi nomor satu, itu berarti tak perlu repot mengantri. ingin jadi nomor satu? belajar disiplin waktu, kelak membantu(mu) mengatasi masalah lebih dini"

jadi, sudahkah kamu belajar mengantri hari ini?

Wednesday, November 12, 2014

melacur

melacur. persoalannya, apa yang hendak kamu pertaruhkan? harga diri, kualitas diri atau keimanan yang kau gadaikan di medan judi. bukan hanya perkara tubuh telanjang nan merangsang, tapi juga saat logika, pemikiran, perasaan, dan mungkin jabatan turut tersentuh dipertaruhkan.

tubuh sintal itu, yang terpaksa harus digilir atas nama kesejahteraan keluarga di kampung halaman. tak ada yang akan tahu pundi-pundi terkumpul dari kucuran tangan-tangan jalang yang mengusap tubuh telanjangmu. asal susu dan beras di rumah tak pernah kurang. tercukupi.

"terus kalau aku melarat dan anakku sekarat, kamu mau tanggung jawab?" Minah balik bertanya pada Tohar, seniman jalanan yang bersedia mengawininya asal Minah mau melepas pekerjaannya sebagai freelance pelacur di komplek Sunan Kuning.

sementara jabatan luar biasa itu yang kau raih dari perjuangan setengah mati, merangkak pelan ke atas, harus kalah digadaikan demi angka miliaran rupiah yang menggendut di rekening bank antah berantah.

"sudah habis bapakku jual sawah sampai jatuh miskin karena membiayai sekolahku. sudah waktunya aku balas budi pengorbanan bapak," batin Joko sambil cekat mengetik angka-angka me-mark up harga material dari proyek pembangunan jembatan di kota kelahirannya, Semarang.

ya, siapapun berpotensi menjadi baik, berguna atau jahat dan merusak. bukan sesuatu yang asing, itu karena dunia menyuguhkan berbagai intrik. kejahatan yang mendapat permakluman, sementara kebenaran dibungkam rapat-rapat hingga ke liang lahat.

jamak orang bilang, hidup itu pilihan. hari ini memilih jadi ustad, besok jadi guru, lusa jadi perampok atau kapan hari menjadi abdi negara yang mengkhianati sumpah jabatan. melacurkan jabatan, menjadi pegawai atau karyawan yang sibuk menghitung sisa anggaran yang kapan saja bisa diambilnya tanpa seorangpun tahu.

sayangnya, hanya semesta yang masih memiliki integritas tinggi saat bekerja. tak ada yang bisa menyuap ayam jantan agar lupa bertugas berseru membangunkan warga bumi jelang fajar. matahari bahkan tak akan mau bertukar tempat dengan bulan hanya karena ingin merasakan dinginnya malam. ia masih konsisten dengan tugasnya, terbit di sebelah timur dan tenggelam di sebelah barat.

laut adalah surga kehidupan. ia tidak pernah membuat ikan-ikan mati kecuali minyak bergalon-galon ditumpahkan manusia di atas hamparan air maha luas itu. langit juga tak pernah lupa menampilkan bintang, awan, bulan dan matahari sebagai pemeran utama di kisah "langitku, rumahku". UFO, alien hanya cameo, cuma kebagian numpang lewat. pun, selalu ada pelangi selepas hujan pergi. dan tumbuhan manapun tak akan lupa tumbuh, meski anomali cuaca menjadikan harga mereka selangit. mereka tak peduli. tumbuh saja.

itu karena semesta percaya mereka hanya bekerja atas titah sang Maha Hidup, Tuhan. semesta tak akan pernah melawan kodratnya.

sementara, bagi sebagian manusia yang kadung kecemplung di ranah gelap kejahatan lebih memilih berasumsi, Tuhan suka mengajak mereka bercanda. kemarin dipuji, esok dibui lalu dicaci. dulu dihina karena tak punya, sekarang terhina karena berada. kalau kata mbah buyut, "iku mergo wolak-walike jaman, nok"

Tuhan mungkin memang ada di balik perubahan jaman. skenario sang maha Hidup, yang bisa kapan saja menentukan hitam, putih atau abu-abu. tapi adakah kamu percaya, melacur bukan pekerjaan final, jika kamu percaya Tuhan, kawan. belajarlah pada semesta.





bukit KR, 24 Agustus 2013, 00.49 AM

#repost

Monday, November 10, 2014

ibu

bu, senang rasanya bisa menggenggam tangan liatmu.

sungguh, dulu aku membayangkan ibu sedingin gunung es yang enggan mencair. tapi pagi ini adalah bukti. tak ada sekat usia di antara kita.

"apa aku seperti layaknya teman bagimu, bu?" padahal kita baru berbincang sepuluh menit yang lalu.

garis wajahmu menyirat lelah dan tanya. ada cerita dan rahasia yang disimpannya sendiri dan ia membaginya denganku. "bagi, bu...meski itu sebuah luka atau mungkin kisah bahagia putramu dan pernikahannya"

"sudah sebulan ini saya sering tidak bisa tidur, mbak. rumah tangga anak saya diganggu wanita jalang, mungkin mbak ada kenalan orang pintar yang bisa bantu saya?," ibu bertanya membagi rahasia.

Wita menyembunyikan lipat wajah nelangsanya, "ketulusanmu mungkin tak akan pernah jadi penawarnya. terima saja,  kamulah racun itu, Wit" batinnya perih.

menunggu pelanggan

suntuk!, Rita merutuk. sudah sebulan ini dia kena piket malam dan harus menunggu pelanggan yang diharapkannya datang, ternyata tak juga ada sampai kedai tutup.

tapi wajah Rita mendadak cerah, seorang tamu pria datang. parlente, usia matang 30 tahunan.

"selamat malam, pak. mau pesan apa?" suara Rita disetel semanis dan seramah mungkin.

"saya kesini nyari waitress yang namanya Rita. mbak kenal?," Rita yang ditanya mendadak malu, sedikit deg-degan. "pria tampan yang belum aku kenal ini mencariku?" batinnnya.

"saya Rita," buru-buru disodorkannya tangannya menjabat tangan si pria tampan yang bertanya.

"saya kesini diminta sama bosnya mbak,"

"ada apa, ya?" Rita penasaran

"mbak ikut saya saja dulu, ini penting."

tangan Rita dingin memegangi ponselnya yang sejam lalu mati total. dalam hening di dalam mobil, si pria tampan membuka identitas "ponsel mbak ngga aktif. ini saya diutus bosnya mbak, nganter mbak ke rumah sakit. ibuknya mbak kena serangan jantung"

"apaaaa???"


# alamaaaaakkk!! ajakan si pria tampan sukses bikin Rita bener-bener pingsan
# ini fiksi mini, entah yang keberapa kali, tapi aku kangen menggaulinya lagi...hihihi

Harlem Shake dan Korupsi

Con los terroristas!" -- saat gejala joget kloget-kloget mewabah, hingga perlu obat bernama Harlem Shake. Ditandai kebosanan tingkat akut lalu badan mengejang tak terkontrol dan memutuskan berani tampil malu(-maluin).

Bukan lagi hal yang mengagetkan, sesuatu yang baru mudah memancing rasa penasaran orang untuk mencoba. Mulai dari tren fesyen, jargon jingle iklan hingga tarian berbagai varian yang tersebar di social media. Ya, meledak sukses dan menginvasi banyak kalangan untuk ikut terjangkiti virusnya.

Setelah goyang kuda versi Psy lewat Gangnam style-nya mewabah kini giliran joget energik ala Harlem Shake versi DJ Baauer menular, dan membuat "demam" di mana-mana. Tak perlu aturan pakem saat bergoyang, cukup modal goyang sembarang, dan voila saat diunggah di social media, yang terlihat adalah keberanian diri berekspresi. "Biar malu(-maluin) yang penting rame-rame", begitu saya menyebutnya.

Harlem Shake sebagai sebuah fenomena pada masanya, entah kapan itu akan juga tenggelam. Hanya sekedar mampir di permukaan, mengajak yang tertarik mencobanya untuk bersenang-senang. Asal tidak lupa diri. Asal yang malu-(maluin) itu tidak jadi budaya yang mengakar kuat, seperti halnya korupsi di negeri ini.

Lihat, betapa kita begitu permisif pada budaya ini. Dari yang tidak biasa dilakukan, lalu menjadi terbiasa melakukannya, lantas membuat siapapun yang melakukannya jadi luar biasa malu(-maluin).

Bukan hendak menyamakan budaya korupsi dan fenomena Harlem Shake, namun saya melihat ada kesamaan dari dua hal ini, sedikit saja, sih. Menilik awalan joget Harlem Shake ditandai satu orang menari, sementara yang lain melakukan aktivitasnya sendiri-sendiri, seakan tak peduli, itu seperti melihat korupsi yang dulunya dilakukan sendiri. Diam-diam.

Tapi kini, karena tak ingin sendiri 'kecipratan' buah dari hasil mencuri, diajaklah serta teman-teman yang lain. Itu yang lalu saya bilang tepat disebut dengan "prilaku malu(-maluin) yang asiknya dilakukan rame-rame." Menyeret serta yang lainnya untuk ikut terkena imbasnya.

Kembali pada Harlem Shake. Barulah saat rapper Musson meneriakkan "do the Harlem Shake!", yang merupakan penggalan lirik dari lagu yang dinyanyikan bersama grupnya, Plastic Little, tahun 2001 - see, semuanya pun ikut-ikutan berjoget. Melepas ekspresi dan energi yang mereka punyai, setidaknya ikut berpartisipasi. Kali ini bukan untuk korupsi, tapi sekedar menari.

Tulisan ini lebih kepada pernyataan pemikiran, bukan sebuah sindiran menanggapi fenomena Harlem Shake dan menyamakannya dengan korupsi. Meski saya akui tetap ada energi positif yang terbawa dari fenomena ini.

Bahwasanya sang pemalu yang ingin berekespresi, pun tak perlu lagi terjebak rasa malu. Ikut saja menari, dan kawan-kawan yang lain pun bakal bersedia menemani menghilangkan rasa malu. Saya melihat sebuah kekompakan, dan semangat. Bahkan, sebuah rasa bosan harus dienyahkan dengan melakukan hal yang menyenangkan sama-sama, bukan?. Obatnya bisa jadi adalah Harlem Shake.

Dan apapun fenomenanya, sebaiknya memang perlu disikapi dengan cara yang positif pula. So, menari saja, tak perlu korupsi. Oke?

#repost




Monday, April 21, 2014

emansipasi istri di ranah korupsi

Tak ada posisi yang perlu diubah, di antara perempuan dan laki-laki, meski Kartini menitipkan cita-cita emansipasi di masa kini. Ibu tak selamanya terbelakang, atau bapak akan selalu terdepan.

Yang depan biarlah tetap di depan, yang di belakang tetap di belakang, sepanjang keduanya sejajar. Karena depan atau belakang, sama-sama membawa amanah dalam ibadah yang indah antara suami dan istri. Saling menjaga dan saling menyemangati. Meski hal ini bisa menjadi rancu, saat "saling  menjaga dan menyemangati" diaplikasikan dalam tindakan yang salah. Niat ibadah bisa berujung masalah.

Ya, menjadi salah kaprah ketika keburukan suami justru ditutupi istri. Tapi, bukannya sudah begitu seharusnya bahwa istri wajib menjaga aib suami. Tidak tahu atau berpura-pura tidak tahu ketika rekening bersama menggemuk tanpa jelas alirannya dari mana. Istri diam dalam kepasrahannya yang luar biasa, tak tahu-menahu atau memang pura-pura tidak tahu suaminya merawat 'istri-istri' di luar sana. Menjadikan mereka sebagai penjaga harta suami yang dikumpulkan dengan cara yang salah.

Bisa jadi inilah tujuan Tuhan menciptakan wanita. Dihadirkan dalam wujud lembut namun kuat. Diam tapi menyimpan berjuta kekuatan maha dahsyat. Mampu menjungkirbalikkan tahta dan kuasa. Sang mahadewi, yang memilih diam saat sakit, dan menularkan bahagianya cukup dengan satu senyuman menyejukkan. Pun, pada masanya memilih menjadi pemegang kendali atas pria yang dipilihnya.

Sebut nama beberapa wanita yang berada dalam kungkungan korupsi yang membelit suaminya. Sefti Sanustika, atau Airin Rachma Diany. Mereka telah mengajarkan kepahitan itu. Saat posisi istri (seharusnya) menjadi penentu tindak laku suami. Seperti halnya, Eddies Adelia harus menerima kenyataan pahit, suaminya Ferry Setiawan dibui karena terbukti bertindak curang dalam bisnis batubara yang dijalankannya. Siapa yang perlu disalahkan?

Sebagian akan menilai suami korupsi, karena memang begitulah faktanya. Mau diberantas apapun caranya, budaya ini toh tetap akan beranak pinak, karena sudah mengakar. Di sini, istri dan keluarga hanyalah korban. Disorot sebagai pihak yang tersakiti. Tapi, mungkin kita bisa menengok sebentar dan bolehlah setuju dengan ungkapan, "di balik kesuksesan pria, ada wanita hebat di belakangnya".  Namun sebaliknya, justru korupsi yang dilakukan suami, karena istri menuntut dan mendominasi. 

Sejatinya tak akan terjadi sebuah kesalahan, jika ada yang bersedia membenarkan. Ada wanita sebagai pilar bangsa, itu benar. Ia ada dalam posisi itu. Membenarkan. Bahwa, istri adalah benteng kokoh bagi suami meski posisinya berada di belakang. Tak hanya sekedar teman di belakang suami, namun istri juga ibu, sejatinya adalah pengawas, pemantau dan pengingat saat ada yang mulai dirasanya tidak benar, ada yang kurang dan tidak sreg.

Karena seorang istri seharusnya lebih tahu tentang suaminya, dan seorang ibu akan lebih memahami anak-anaknya. Maka tak akan ada kecurangan yang dilakukan seorang suami yang mengutil uang perusahaan hanya karena kerap dicurhati istri, duit belanja tidak cukup untuk sebulan. Dan tak akan ada anak-anak berulah, jika ibu paham bagaimana menentramkan hati si buah hati tanpa perlu marah-marah.

Dibutuhkan wanita-wanita hebat dan kuat untuk berani berpendapat. Yang tak hanya sekedar menjalankan tugasnya manak, macak, masak. Dibutuhkan lebih banyak istri yang berani menegur suami untuk tidak korupsi, demi menyelamatkan negeri ini. Karena demikian itu cita-cita emansipasi yang diingini seorang Kartini.

Thursday, January 30, 2014

Seni Membentuk Pribadi Berkualitas

Oleh Er Maya

Kecerdasan Intelegensi (Intelegent Quotient) masih dianggap penting, dan menjadi penentu kecerdasan seseorang, namun Kecerdasan Emosional (emotional quotient) juga sama pentingnya dalam membentuk pribadi yang berkualitas. Lalu, bagaimana cara mengasah kecerdasan emosional pada anak?

Belajar seni sejak dini adalah cara terbaik mengasah kecerdasan emosional dan mengembangkan kreativitas diri, karena melalui seni seseorang dapat mengekspresikan emosinya secara nonverbal. "belajar seni itu sangat bermanfaat, salah satunya adalah membantu kita mengolah emosi," tutur Usrek Tani Utina, Dosen Seni Tari Unnes, atau yang akrab disapa Usrek.

Melalui seni, kita dapat belajar bersikap sopan, santun, serta membantu mengendalikan dan menata emosi. Contohnya saja pada seni tari. Dari pengalaman Usrek mengajar seni tari di jurusan Sendratasik (Seni Drama Tari dan Musik), Unnes, ia menemukan bahwa gerakan tari bisa mempengaruhi sikap diri. "salah satu contoh adalah sikap saat jongkok atau saat memandang."

Diakui Usrek, melalui seni, anak dapat leluasa mengekspresikan diri. Terapi menari, pernah diterapkannya pada seorang anak yang introvert (tertutup), ternyata memberi dampak yang luar biasa bagi perkembangan pribadi anak tersebut, ungkapnya.

"Nah, anak yang terutup dan belajar menari secara berkelompok akan belajar untuk lebih terbuka dan bekerjasama dalam kelompoknya," tutur Usrek. Inilah gunanya seni, anak akan menjadi lebih peka pada lingkungan sekitarnya.

Kreatif

Kreativitas dalam berkesenian, menurut Usrek, tidak boleh dibatasi. "karena seni itu sudah jadi," ujar Usrek. Maka yang dibutuhkan adalah pengembangan dari seni tersebut, yang nantinya akan menciptakan ide, imajinasi dan kreasi. "Misalnya saja belajar menari, sebenarnya kan hanya sekedar meniru gerakan yang sudah ada," ungkap Usrek.

Nah, itulah kenapa anak perlu dibebaskan dalam berkreasi. Ambil contoh, misalnya saat anak diminta menggambar. Anak akan lebih cepat mengeluarkan ide dan kreasinya jika diberi pilihan untuk menggambar dengan tema bebas. Begitu pula dengan menari, biarkan anak bebas mengolah energinya tanpa perlu dibatasi untuk bergerak sesuai dengan perintah.

Pelajaran seni selama ini merasa dianaktirikan dengan porsi materi yang lebih sedikit dibandingkan mata pelajaran lainnya, seperti eksakta atau bahasa. "Ini karena pendidikan formal masih dianggap lebih penting oleh sebagian orangtua dibandingkan mempelajari seni," ujar Usrek.

Namun, sebenarnya tak terbatas pada lingkungan sekolah, pelajaran seni, menurut Usrek, bisa dipelajari di rumah atau dimana saja. "orangtua yang peka terhadap bakat anaknya sejak kecil bisa membantu menumbuhkan minat seni pada buah hati mereka dengan mengikutkan kursus di luar jam sekolah," imbuhnya.

Tak hanya orangtua yang perlu berperan dalam mengembangkan minat seni pada buah hatinya. Guru di sekolah juga diharapkan turut berperan mengantarkan anak didiknya berprestasi melalui jalur seni. Selain memacu semangat anak untuk berkreasi, berprestasi, melalui berkesenian turut membawa harum nama sekolah.

Wednesday, January 01, 2014

Teknologi [Ternyata] Bisa 'Membunuh' Cintamu


Oleh Er Maya

Sepasang kekasih duduk berhadapan. Keduanya begitu 'mesra', saling menatap pada layar gadget yang mereka genggam erat. Tak seerat genggaman tangannya. "Maaf, karena gadget-ku penuh rahasia...". Keduanya tekun mengetik pesan, lalu sesekali tersenyum ketika layar ponsel berkedip, mendapati jawaban balasan dari temannya di seberang sana. Entah teman atau selingkuhan.

Saling bincang di antara mereka kini terbatasi jumlah pulsa dan waktu menelpon. Padahal, keduanya bisa bertemu dan bebas membicarakan apapun, yang mereka suka, mereka benci atau tidak perlu membicarakan apapun. Cukup saling pandang dan larut dalam kangen. Tak perlu diganggu dering ponsel dan kesibukan menerima-membalas pesan.

Ya, harus kita akui social media semacam Facebook dan Twitter mendekatkan jarak pada teman, sahabat, pasangan dan kekasih yang nun jauh di seberang pulau atau di belahan dunia lain.  Namun, tak dipungkiri pun bisa menjauhkan yang dekat dengan kita saat ini. Cinta lantas hanya sebatas berdekat jarak, namun hati terasa begitu jauh. Melayang entah kemana.


Mudah

Kehadiran teknologi dalam dunia percintaan tak dipungkiri semakin maju. Jatuh cinta pada seseorang bisa begitu mudah sebatas melihat fotonya di profile picture. Mengatakan "aku cinta kamu", tak lagi sesulit dulu, harus bertatap muka, dengan tubuh panas dingin dan detak jantung yang sulit ditenangkan. Kini, tuliskan saja pesan cinta itu di status Facebook, mengirimkannya via pesan singkat, atau 'berkicau' di Twitter. Dunia lantas tahu Anda tengah jatuh cinta.

Status hubungan di Facebook bahkan bisa dengan mudahnya memercikkan api konflik dengan pasangan. "Kok, status kita menikah tidak terpasang di facebook-mu sih? Rasanya aneh...Terus aku nikah sama siapa?" Hei, menikah dengan pasangan pun apa perlu dunia tahu, di Facebook sekalipun. Bukankah, yang penting hati yang saling tertaut?

Penguntit

Cinta tak lagi dilandasi kepercayaan, ketika teknologi turut campur di dalamnya. Semuanya serba terbuka, mudah diakses, bahkan untuk sekedar mengetahui apa yang sedang dikerjakan kekasih, dimanapun ia berada, hingga dengan siapa ia pergi. Mencari si dia tak perlu susah, intip saja status jejaring sosialnya. Apalagi jika ponsel Anda dilengkapi fitur GPS. Tak lagi sesulit penguntit atau stalker di jaman Alfred Hitchcock, bukan?

Namun, potensi konflik tak lagi bisa dihindari manakala pasangan cemburu buta. Seorang kekasih marah besar, gegara mendapati status pacarnya 'check in' foursquare di sebuah mal. Kenyataannya, bukan dalam rangka bertemu selingkuhan, tapi memang ada janji dengan klien di sebuah food court di mal tersebut.

Lalu, kalau sudah begini, apakah ucapan kekasih tak lagi penting dibanding bukti nyata teknologi? Sontak, ruang privasi tak lagi ada. Pasangan yang tak saling percaya, saling meminta bukti password, hanya agar bisa secara berkala memantau aktivitas pertemanan pasangannya dan saling memeriksa inbox. "Siapa tahu ada yang disembunyikannya dari saya..."

Hmm, melelahkan sekali ya menjadi kekasih di jaman yang semua serba mudah. Sayang, semakin mudah pula lupa pada apa yang dinamakan kepercayaan. Sebuah hubungan akan tumbuh dan berkembang manakala kita bersedia mengisinya dengan kualitas. Belum terlambat, bagi Anda dan pasangan yang mulai sadar terjebak pada teknologi, dan meruapkan romantisme ke dalam hubungan yang dijalani bersama.

Ya, realitanya, teknologi terkadang "kejam" pada kita yang tak menyadarinya telah menggunakannya dengan cara yang tidak bijak. Waspadalah!