Thursday, January 30, 2014

Seni Membentuk Pribadi Berkualitas

Oleh Er Maya

Kecerdasan Intelegensi (Intelegent Quotient) masih dianggap penting, dan menjadi penentu kecerdasan seseorang, namun Kecerdasan Emosional (emotional quotient) juga sama pentingnya dalam membentuk pribadi yang berkualitas. Lalu, bagaimana cara mengasah kecerdasan emosional pada anak?

Belajar seni sejak dini adalah cara terbaik mengasah kecerdasan emosional dan mengembangkan kreativitas diri, karena melalui seni seseorang dapat mengekspresikan emosinya secara nonverbal. "belajar seni itu sangat bermanfaat, salah satunya adalah membantu kita mengolah emosi," tutur Usrek Tani Utina, Dosen Seni Tari Unnes, atau yang akrab disapa Usrek.

Melalui seni, kita dapat belajar bersikap sopan, santun, serta membantu mengendalikan dan menata emosi. Contohnya saja pada seni tari. Dari pengalaman Usrek mengajar seni tari di jurusan Sendratasik (Seni Drama Tari dan Musik), Unnes, ia menemukan bahwa gerakan tari bisa mempengaruhi sikap diri. "salah satu contoh adalah sikap saat jongkok atau saat memandang."

Diakui Usrek, melalui seni, anak dapat leluasa mengekspresikan diri. Terapi menari, pernah diterapkannya pada seorang anak yang introvert (tertutup), ternyata memberi dampak yang luar biasa bagi perkembangan pribadi anak tersebut, ungkapnya.

"Nah, anak yang terutup dan belajar menari secara berkelompok akan belajar untuk lebih terbuka dan bekerjasama dalam kelompoknya," tutur Usrek. Inilah gunanya seni, anak akan menjadi lebih peka pada lingkungan sekitarnya.

Kreatif

Kreativitas dalam berkesenian, menurut Usrek, tidak boleh dibatasi. "karena seni itu sudah jadi," ujar Usrek. Maka yang dibutuhkan adalah pengembangan dari seni tersebut, yang nantinya akan menciptakan ide, imajinasi dan kreasi. "Misalnya saja belajar menari, sebenarnya kan hanya sekedar meniru gerakan yang sudah ada," ungkap Usrek.

Nah, itulah kenapa anak perlu dibebaskan dalam berkreasi. Ambil contoh, misalnya saat anak diminta menggambar. Anak akan lebih cepat mengeluarkan ide dan kreasinya jika diberi pilihan untuk menggambar dengan tema bebas. Begitu pula dengan menari, biarkan anak bebas mengolah energinya tanpa perlu dibatasi untuk bergerak sesuai dengan perintah.

Pelajaran seni selama ini merasa dianaktirikan dengan porsi materi yang lebih sedikit dibandingkan mata pelajaran lainnya, seperti eksakta atau bahasa. "Ini karena pendidikan formal masih dianggap lebih penting oleh sebagian orangtua dibandingkan mempelajari seni," ujar Usrek.

Namun, sebenarnya tak terbatas pada lingkungan sekolah, pelajaran seni, menurut Usrek, bisa dipelajari di rumah atau dimana saja. "orangtua yang peka terhadap bakat anaknya sejak kecil bisa membantu menumbuhkan minat seni pada buah hati mereka dengan mengikutkan kursus di luar jam sekolah," imbuhnya.

Tak hanya orangtua yang perlu berperan dalam mengembangkan minat seni pada buah hatinya. Guru di sekolah juga diharapkan turut berperan mengantarkan anak didiknya berprestasi melalui jalur seni. Selain memacu semangat anak untuk berkreasi, berprestasi, melalui berkesenian turut membawa harum nama sekolah.

Wednesday, January 01, 2014

Teknologi [Ternyata] Bisa 'Membunuh' Cintamu


Oleh Er Maya

Sepasang kekasih duduk berhadapan. Keduanya begitu 'mesra', saling menatap pada layar gadget yang mereka genggam erat. Tak seerat genggaman tangannya. "Maaf, karena gadget-ku penuh rahasia...". Keduanya tekun mengetik pesan, lalu sesekali tersenyum ketika layar ponsel berkedip, mendapati jawaban balasan dari temannya di seberang sana. Entah teman atau selingkuhan.

Saling bincang di antara mereka kini terbatasi jumlah pulsa dan waktu menelpon. Padahal, keduanya bisa bertemu dan bebas membicarakan apapun, yang mereka suka, mereka benci atau tidak perlu membicarakan apapun. Cukup saling pandang dan larut dalam kangen. Tak perlu diganggu dering ponsel dan kesibukan menerima-membalas pesan.

Ya, harus kita akui social media semacam Facebook dan Twitter mendekatkan jarak pada teman, sahabat, pasangan dan kekasih yang nun jauh di seberang pulau atau di belahan dunia lain.  Namun, tak dipungkiri pun bisa menjauhkan yang dekat dengan kita saat ini. Cinta lantas hanya sebatas berdekat jarak, namun hati terasa begitu jauh. Melayang entah kemana.


Mudah

Kehadiran teknologi dalam dunia percintaan tak dipungkiri semakin maju. Jatuh cinta pada seseorang bisa begitu mudah sebatas melihat fotonya di profile picture. Mengatakan "aku cinta kamu", tak lagi sesulit dulu, harus bertatap muka, dengan tubuh panas dingin dan detak jantung yang sulit ditenangkan. Kini, tuliskan saja pesan cinta itu di status Facebook, mengirimkannya via pesan singkat, atau 'berkicau' di Twitter. Dunia lantas tahu Anda tengah jatuh cinta.

Status hubungan di Facebook bahkan bisa dengan mudahnya memercikkan api konflik dengan pasangan. "Kok, status kita menikah tidak terpasang di facebook-mu sih? Rasanya aneh...Terus aku nikah sama siapa?" Hei, menikah dengan pasangan pun apa perlu dunia tahu, di Facebook sekalipun. Bukankah, yang penting hati yang saling tertaut?

Penguntit

Cinta tak lagi dilandasi kepercayaan, ketika teknologi turut campur di dalamnya. Semuanya serba terbuka, mudah diakses, bahkan untuk sekedar mengetahui apa yang sedang dikerjakan kekasih, dimanapun ia berada, hingga dengan siapa ia pergi. Mencari si dia tak perlu susah, intip saja status jejaring sosialnya. Apalagi jika ponsel Anda dilengkapi fitur GPS. Tak lagi sesulit penguntit atau stalker di jaman Alfred Hitchcock, bukan?

Namun, potensi konflik tak lagi bisa dihindari manakala pasangan cemburu buta. Seorang kekasih marah besar, gegara mendapati status pacarnya 'check in' foursquare di sebuah mal. Kenyataannya, bukan dalam rangka bertemu selingkuhan, tapi memang ada janji dengan klien di sebuah food court di mal tersebut.

Lalu, kalau sudah begini, apakah ucapan kekasih tak lagi penting dibanding bukti nyata teknologi? Sontak, ruang privasi tak lagi ada. Pasangan yang tak saling percaya, saling meminta bukti password, hanya agar bisa secara berkala memantau aktivitas pertemanan pasangannya dan saling memeriksa inbox. "Siapa tahu ada yang disembunyikannya dari saya..."

Hmm, melelahkan sekali ya menjadi kekasih di jaman yang semua serba mudah. Sayang, semakin mudah pula lupa pada apa yang dinamakan kepercayaan. Sebuah hubungan akan tumbuh dan berkembang manakala kita bersedia mengisinya dengan kualitas. Belum terlambat, bagi Anda dan pasangan yang mulai sadar terjebak pada teknologi, dan meruapkan romantisme ke dalam hubungan yang dijalani bersama.

Ya, realitanya, teknologi terkadang "kejam" pada kita yang tak menyadarinya telah menggunakannya dengan cara yang tidak bijak. Waspadalah!