Monday, April 21, 2014

emansipasi istri di ranah korupsi

Tak ada posisi yang perlu diubah, di antara perempuan dan laki-laki, meski Kartini menitipkan cita-cita emansipasi di masa kini. Ibu tak selamanya terbelakang, atau bapak akan selalu terdepan.

Yang depan biarlah tetap di depan, yang di belakang tetap di belakang, sepanjang keduanya sejajar. Karena depan atau belakang, sama-sama membawa amanah dalam ibadah yang indah antara suami dan istri. Saling menjaga dan saling menyemangati. Meski hal ini bisa menjadi rancu, saat "saling  menjaga dan menyemangati" diaplikasikan dalam tindakan yang salah. Niat ibadah bisa berujung masalah.

Ya, menjadi salah kaprah ketika keburukan suami justru ditutupi istri. Tapi, bukannya sudah begitu seharusnya bahwa istri wajib menjaga aib suami. Tidak tahu atau berpura-pura tidak tahu ketika rekening bersama menggemuk tanpa jelas alirannya dari mana. Istri diam dalam kepasrahannya yang luar biasa, tak tahu-menahu atau memang pura-pura tidak tahu suaminya merawat 'istri-istri' di luar sana. Menjadikan mereka sebagai penjaga harta suami yang dikumpulkan dengan cara yang salah.

Bisa jadi inilah tujuan Tuhan menciptakan wanita. Dihadirkan dalam wujud lembut namun kuat. Diam tapi menyimpan berjuta kekuatan maha dahsyat. Mampu menjungkirbalikkan tahta dan kuasa. Sang mahadewi, yang memilih diam saat sakit, dan menularkan bahagianya cukup dengan satu senyuman menyejukkan. Pun, pada masanya memilih menjadi pemegang kendali atas pria yang dipilihnya.

Sebut nama beberapa wanita yang berada dalam kungkungan korupsi yang membelit suaminya. Sefti Sanustika, atau Airin Rachma Diany. Mereka telah mengajarkan kepahitan itu. Saat posisi istri (seharusnya) menjadi penentu tindak laku suami. Seperti halnya, Eddies Adelia harus menerima kenyataan pahit, suaminya Ferry Setiawan dibui karena terbukti bertindak curang dalam bisnis batubara yang dijalankannya. Siapa yang perlu disalahkan?

Sebagian akan menilai suami korupsi, karena memang begitulah faktanya. Mau diberantas apapun caranya, budaya ini toh tetap akan beranak pinak, karena sudah mengakar. Di sini, istri dan keluarga hanyalah korban. Disorot sebagai pihak yang tersakiti. Tapi, mungkin kita bisa menengok sebentar dan bolehlah setuju dengan ungkapan, "di balik kesuksesan pria, ada wanita hebat di belakangnya".  Namun sebaliknya, justru korupsi yang dilakukan suami, karena istri menuntut dan mendominasi. 

Sejatinya tak akan terjadi sebuah kesalahan, jika ada yang bersedia membenarkan. Ada wanita sebagai pilar bangsa, itu benar. Ia ada dalam posisi itu. Membenarkan. Bahwa, istri adalah benteng kokoh bagi suami meski posisinya berada di belakang. Tak hanya sekedar teman di belakang suami, namun istri juga ibu, sejatinya adalah pengawas, pemantau dan pengingat saat ada yang mulai dirasanya tidak benar, ada yang kurang dan tidak sreg.

Karena seorang istri seharusnya lebih tahu tentang suaminya, dan seorang ibu akan lebih memahami anak-anaknya. Maka tak akan ada kecurangan yang dilakukan seorang suami yang mengutil uang perusahaan hanya karena kerap dicurhati istri, duit belanja tidak cukup untuk sebulan. Dan tak akan ada anak-anak berulah, jika ibu paham bagaimana menentramkan hati si buah hati tanpa perlu marah-marah.

Dibutuhkan wanita-wanita hebat dan kuat untuk berani berpendapat. Yang tak hanya sekedar menjalankan tugasnya manak, macak, masak. Dibutuhkan lebih banyak istri yang berani menegur suami untuk tidak korupsi, demi menyelamatkan negeri ini. Karena demikian itu cita-cita emansipasi yang diingini seorang Kartini.