"Aku hanya punya sederhana yang bisa kubagi
denganmu, Dra. Maaf, karena kamu pemilik sempurna, sepertinya bukan aku
yang sedang kamu cari.." Nja berlalu. Ada sesak mendera dada, Dra
membekap erat, sakit, namun ketabahannya mengalahkan sakit itu.
"Dan aku menyukai situasi sederhana, Nja. Sederhana yang penuh cinta.
Di kenyataan aku tidak setiap saat menerimanya, membaginya. Hanya hati
yang bisa menyimpan semua yang tidak bisa muncul ke permukaan. Hatiku
nyatanya memang memujamu, dan tidak bisa menahan untuk juga memujimu,
Nja, apalagi dengan penerimaanmu atas aku, pemikiranku, hatiku. Terima
Kasih, Nja." Dra membatin, meyakinkan diri, ia memang tak pernah salah
membiarkan hatinya menuju pada Nja yang sederhana.
Mahal bagi
Dra hanyalah sekedar label, "aku hanya berusaha menghargai lingkungan
yang menerima kehadiranku, Nja. Tampil bersih, segar, meski dengan label
"mahal" yang melekat, itu berarti aku telah bertanggung jawab atas raga
yang menopang jiwaku. Lagipula, jangan pernah sandingkan label mahal
itu dengan betapa senangnya aku mendapati pemikiran, rasa dan sikap
sederhanamu, Nja.." Gusar Nja atas sikap Dra selama ini lantas
memunculkan riwil lewat jawaban panjang lebar Dra.
Ada serupa
bahagia mengaliri bilik hati Nja, begitu tiba-tiba dan Nja tak kuasa
membendungnya. Jika ruang kubikal, di pojokan, tempat favorit Nja
menulis itu gelap gulita, mungkin saat ini wajah Nja yang terang
benderang, cerah, bagai mentari sudah cukup menerangi gelap ruang
kubikalnya, "Bincang kita ini menyadarkan aku, selama ini aku telah
salah menilaimu, Dra."
Dra tak pernah gentar, masih dengan
tabahnya ingin menghabiskan waktu meski hanya sebentar untuk bertemu
Nja. Ia mensejajari langkah kecil Nja yang setengah terburu segera
menuju senja, tempatnya kembali pulang pada semesta dan takdirnya. "Aku
antar pulang ya," Dra menggenggam tangan Nja erat menuju shelter di
seberang jalan.
Sontak kaget Nja tak bisa ditutupi, langkahnya
yang sempat memburu perlahan meringan. Ia merelakan diri, Dra membawanya
pulang menuju senja. Ada hangat yang mengalir lembut, merasuk ke dalam
jiwanya, serupa bahagia. "Kamu yakin mau ikut pulang bersamaku, Dra?",
rupanya Nja masih perlu meyakinkan dirinya sekali lagi, ini bukan
sekedar taktik Dra memanipulasi hatinya.
"Aku harus memastikan
dirimu baik-baik saja, Nja." Bis yang mengantar Nja dan Dra perlahan
merambati jalanan. "Sebelum jeda kembali bertemu pagi, bertemu kamu,
inilah yang bisa kulakukan, Nja. Meminjam sedikit waktu dari yang aku
punya, menatapmu meski sebentar, sebelum kelam malam menjemputmu pulang
menuju takdirmu," Dra memandang lekat mata coklat Nja. Tak lagi ia
hiraukan pandangan orang-orang di dalam bis itu yang seperti sedang
menonton drama romantis.
Nja jengah, namun ia tak kuasa menolak
tatapan itu. Sesekali Nja berusaha membuang pandangan keluar jendela,
sambil bergumam, membaca baliho-baliho besar dan plang yang berjajar di
sepanjang jalan. Memanjakan kebiasaan yang sudah dilakukannya sejak
kecil. Lewat sudut matanya, Nja menangkap Dra tengah menikmatinya. Namun,
magnet mata Dra seperti menariknya untuk kembali menatap mata coklat
itu, mata yang sama seperti miliknya.
Hingga tetiba di shelter,
saat tangan mereka saling berjabat dan janji yang terucap, "Esok kita
bertemu lagi ya, selamat istirahat, Nja," Dra mengenggam tangan Nja,
hangat. Pada perpisahan itu, Dra leluasa mengamati punggung Nja setelah
mereka sama-sama menuruni tangga yang berlawanan di shleter terakhir
itu.
"Inilah diam yang menyiksaku, memandangi punggungmu
hingga tak lagi nampak di pelupuk mata, berjalan menjauh hingga akhirnya
menghilang dari pandanganku, Nja. Ya, shelter terakhir itulah saksi
perpisahan kita." Batin Dra. Dan, Nja rupanya sadar dirinya diperhatikan
dari jauh, "Aku tahu kamu tengah mengamatiku saat aku mulai perlahan
menjauh pergi menuju senjaku. Punggungku punya mata, Dra."
Karena sederhana, Dra bertahan pada Nja. Menyimak kisah, semangat,
pemikiran Nja tentang sekelilingnya. Dra merasa warna sederhana Nja akan
semakin indah jika mereka bisa saling berbagi. "Dan jangan tanya soal
kesabaran, aku memulainya tidak kemarin ini, aku sendiri tidak ingat
kapan, Nja" Dra terpekur di sudut kursinya menunggu Nja membagi kembali
kisah sederhana padanya.
"Apa pemikiran sederhana lainnya yang
ingin kamu bagi bersamaku, Nja. Bagilah, aku ingin meresapinya sampai
tuntas, tak berbekas." Dra girang, menemukan kembali Nja yang siap membagi
telinga, lidah dan pemikiran, dan menceritakan hal-hal sederhana itu
di kotak simulakrum.
No comments:
Post a Comment