Tuesday, April 24, 2012

Rujak, Bukan Hanya Soal Selera Lidah

Rujak nikmatnya dimakan rame-rame diselingi ngerumpi di bawah pohon, cocok sebagai jujugan kuliner ringan di tengah terik mentari yang mendera di musim kemarau. 
from http://chocolateva.wordpress.com
Tangan-tangan ramai menyerbu piring berisi buah-buahan. Tak perlu butuh lama, sambal rujak langsung tuntas, tandas dari cobeknya. Gelak tawa pun berderai sambil mulut dimonyong-monyongin, mendesis "huuh haah, pedesnyaaa.." Begitulah, kapok lombok. Sudah tahu pedasnya sanggup membakar lidah, tapi tetap saja pedasnya sambal rujak secobek masih kurang "nendang".

Ya, makan rujak tanpa mengajak serta kawan memang serasa tak nikmat. Semantap apapun pedasnya sambal rujak berpadu segarnya buah-buahan yang dimix hanyalah sekedar pelengkap dari kebersamaan di tengah-tengah kawan yang sudah selayaknya saudara. Mengutip pepatah jawa, "mangan ora mangan sing penting kumpul". Biar hanya makan [sekedar] buah, yang penting kumpulnya.
"Cemilan" segar ini lalu menjadi semacam media yang diperlukan untuk melampiaskan keriwilan makhluk "dua mulut" bernama wanita untuk bebas ngerumpi, berbagi cerita dan derita dengan sesama kaumnya alias curhat lepas.
Sementara, jika beberapa laki-laki yang mengaku sejati yang pernah saya mintai pendapatnya tentang rujak, "emoh" masuk di barisan lelaki gahar, yang di lingkupi "pagar" milik wanita. Rasa suka mereka [pria-pria itu] terhadap rujak hanya sebatas dalam diam.
Tak perlu diumbar, saat ada momen berbagi rujak, ikut sajalah menikmatinya, toh sekedar basa-basi di lingkungan sosial itu perlu. Demi menghargai niat kawan yang menawari rujak segar di tengah siang yang panas, tak apalah sejenak melepas label sejati di dada.
Ah, lalu masa sih, hanya urusan cemilan segar serupa rujak, perlu dikaitkan dengan gender? Kalau suka rujak, dan merasa nyaman ditengah wanita penggila "rujak", masa iya ke-sejati-an pria bisa lantas luruh seketika? Alamak, rujak kan hanya perkara selera lidah penikmatnya. Jadi, memang tak perlu pula ngotot sampai adu otot, saya tetap menghargai opini sebagian pria yang merasa "tidak lagi sejati" jika ketahuan makan rujak sambil mendesis "huuh..haaah..pedesnya!"

Rujak ibarat hidup


Seperti ilmu padi, semakin berisi maka ia semakin merunduk. Pada padi kita belajar tentang kerendahan hati, pada rujak pun kita bisa turut memaknai arti kehidupan.
Rujak menampung semua rasa buah yang tersaji di dalamnya. Dibalik rasa masamnya, ada manis dan asin yang menjadi penawar segala rasa rujak yang tersaji. Begitu juga hidup, dibalik getir dan masamnya kehidupan yang dijalani, ada manis dibalik semua itu. Segala rasa yang tersaji dalam piring kehidupan itulah yang membuah hidup menjadi lebih indah.
Karena untuk menjadi dewasa dalam memaknai arti kehidupan, tak hanya manis saja yang ingin kita kecap karena terkadang dibutuhkan kepahitan, kegetiran, serupa perasaan sedih, menangis, gagal dan sakit hati sehingga kita bisa lebih memaknai, dan menjadikan diri lebih kuat. Dan segetir, atau semasam apapun hidup, kita harus tetap memiliki semangat untuk 'melahap' hidup sampai tuntas, tak berbekas.
Seperti juga melahap pedasnya sambal rujak yang bikin kamu ketagihan dan bilang "kapok lombok!", jangan pernah pula mencoba kapok menjalani hidup, karena hidup adalah tentang menaklukkan segala tantangan dan rasa kehidupan.
Jadi, bukan perkara siap atau tidak siap, suka atau tidak suka, silahkan menikmati sepiring "rujak" kehidupan yang ada di depanmu.

Salam



1 comment: