Friday, April 27, 2012

Semenjana

"Aku hanya punya sederhana yang bisa kubagi denganmu, Dra. Maaf, karena kamu pemilik sempurna, sepertinya bukan aku yang sedang kamu cari.." Nja berlalu. Ada sesak mendera dada, Dra membekap erat, sakit, namun ketabahannya mengalahkan sakit itu.

"Dan aku menyukai situasi sederhana, Nja. Sederhana yang penuh cinta. Di kenyataan aku tidak setiap saat menerimanya, membaginya. Hanya hati yang bisa menyimpan semua yang tidak bisa muncul ke permukaan. Hatiku nyatanya memang memujamu, dan tidak bisa menahan untuk juga memujimu, Nja, apalagi dengan penerimaanmu atas aku, pemikiranku, hatiku. Terima Kasih, Nja." Dra membatin, meyakinkan diri, ia memang tak pernah salah membiarkan hatinya menuju pada Nja yang sederhana.

Mahal bagi Dra hanyalah sekedar label, "aku hanya berusaha menghargai lingkungan yang menerima kehadiranku, Nja. Tampil bersih, segar, meski dengan label "mahal" yang melekat, itu berarti aku telah bertanggung jawab atas raga yang menopang jiwaku. Lagipula, jangan pernah sandingkan label mahal itu dengan betapa senangnya aku mendapati pemikiran, rasa dan sikap sederhanamu, Nja.." Gusar Nja atas sikap Dra selama ini lantas memunculkan riwil lewat jawaban panjang lebar Dra.

Ada serupa bahagia mengaliri bilik hati Nja, begitu tiba-tiba dan Nja tak kuasa membendungnya. Jika ruang kubikal, di pojokan, tempat favorit Nja menulis itu gelap gulita, mungkin saat ini wajah Nja yang terang benderang, cerah, bagai mentari sudah cukup menerangi gelap ruang kubikalnya, "Bincang kita ini menyadarkan aku, selama ini aku telah salah menilaimu, Dra."

Dra tak pernah gentar, masih dengan tabahnya ingin menghabiskan waktu meski hanya sebentar untuk bertemu Nja. Ia mensejajari langkah kecil Nja yang setengah terburu segera menuju senja, tempatnya kembali pulang pada semesta dan takdirnya. "Aku antar pulang ya," Dra menggenggam tangan Nja erat menuju shelter di seberang jalan.

Sontak kaget Nja tak bisa ditutupi, langkahnya yang sempat memburu perlahan meringan. Ia merelakan diri, Dra membawanya pulang menuju senja. Ada hangat yang mengalir lembut, merasuk ke dalam jiwanya, serupa bahagia. "Kamu yakin mau ikut pulang bersamaku, Dra?", rupanya Nja masih perlu meyakinkan dirinya sekali lagi, ini bukan sekedar taktik Dra memanipulasi hatinya.

"Aku harus memastikan dirimu baik-baik saja, Nja." Bis yang mengantar Nja dan Dra perlahan merambati jalanan. "Sebelum jeda kembali bertemu pagi, bertemu kamu, inilah yang bisa kulakukan, Nja. Meminjam sedikit waktu dari yang aku punya, menatapmu meski sebentar, sebelum kelam malam menjemputmu pulang menuju takdirmu," Dra memandang lekat mata coklat Nja. Tak lagi ia hiraukan pandangan orang-orang di dalam bis itu yang seperti sedang menonton drama romantis.

Nja jengah, namun ia tak kuasa menolak tatapan itu. Sesekali Nja berusaha membuang pandangan keluar jendela, sambil bergumam, membaca baliho-baliho besar dan plang yang berjajar di sepanjang jalan. Memanjakan kebiasaan yang sudah dilakukannya sejak kecil. Lewat sudut matanya, Nja menangkap Dra tengah menikmatinya. Namun, magnet mata Dra seperti menariknya untuk kembali menatap mata coklat itu, mata yang sama seperti miliknya.

Hingga tetiba di shelter, saat tangan mereka saling berjabat dan janji yang terucap, "Esok kita bertemu lagi ya, selamat istirahat, Nja," Dra mengenggam tangan Nja, hangat. Pada perpisahan itu, Dra leluasa mengamati punggung Nja setelah mereka sama-sama menuruni tangga yang berlawanan di shleter terakhir itu.

"Inilah diam yang menyiksaku, memandangi punggungmu hingga tak lagi nampak di pelupuk mata, berjalan menjauh hingga akhirnya menghilang dari pandanganku, Nja. Ya, shelter terakhir itulah saksi perpisahan kita." Batin Dra. Dan, Nja rupanya sadar dirinya diperhatikan dari jauh, "Aku tahu kamu tengah mengamatiku saat aku mulai perlahan menjauh pergi menuju senjaku. Punggungku punya mata, Dra."

Karena sederhana, Dra bertahan pada Nja. Menyimak kisah, semangat, pemikiran Nja tentang sekelilingnya. Dra merasa warna sederhana Nja akan semakin indah jika mereka bisa saling berbagi. "Dan jangan tanya soal kesabaran, aku memulainya tidak kemarin ini, aku sendiri tidak ingat kapan, Nja" Dra terpekur di sudut kursinya menunggu Nja membagi kembali kisah sederhana padanya.

"Apa pemikiran sederhana lainnya yang ingin kamu bagi bersamaku, Nja. Bagilah, aku ingin meresapinya sampai tuntas, tak berbekas." Dra girang, menemukan kembali Nja yang siap membagi telinga, lidah dan pemikiran, dan menceritakan hal-hal sederhana itu di kotak simulakrum.

No comments:

Post a Comment