Wednesday, February 18, 2015

sampah berkah, sampah serapah

pernahkah kamu merasa jadi orang yang tidak sehat? menumpuk pakaian, contohnya. hanya karena terlalu gila setiap ada apdet fashion terbaru, kebiasaan mematut diri di depan almari kerap kambuh. membuat kita lantas terlihat tua, karena selalu lama memilih mana baju yang masih bisa dipakai, dan mana yang sebenarnya sudah tak lagi muat di badan tapi masih juga disimpan. betapa sampah ada di mana-mana, tetapi kita sering menganggapnya sebagai barang yang berguna.

sedari awal soal "sampah", kita memang seharusnya tegas, setegas Jendral berkata "tidak!". jangan tiru bagaimana pemerintah yang tak juga pintar menyelesaikan masalah sampah di negeri ini. sampah hanya jadi berkah bagi tukang sampah dan tukang loak. dan kampanye go green seperti percuma, sekedar slogan, tak juga bisa meredam tingginya sampah. kecintaan pada lingkungan malah bergeser dengan menciptakan sampah-sampah masalah warga yang mendiami bumi ini. go green jadi go blind.

tahu kan ya, hidup ini berjalan juga dilandasi nasihat ekonomis. "dahulukan kebutuhan daripada kepentingan". senada dengan pesan, "mau hidup selamat, pintar-pintarlah berhemat". atau "mau hidup berkah, ya jangan cari masalah." seperti halnya tak hanya perkara sampah baju, pilihan hati bisa pula berpotensi menjadi sampah.
coba hidupkan lagi memori daun pisang, bagaimana dulu kita pernah begitu butuh pada pasangan. tapi saat hati mendadak disiram sejuknya tatapan mata 'sang menawan' di seberang sana, kebutuhan hati lantas bergeser tempat. yang dulu penting menjadi tak lagi penting. yang bukan apa-apa jadi 'sesuatu banget'. dan hati bersiap mengalami perputarannya di recycle bin.
saat jaman berganti, saat hangat berganti basi, saat semua tak lagi sama, saat mulut manisnya kini kerap mengeluarkan sampah serapah, di matanya kamu tak lebih dari sampah. hatimu dan hatinya lalu hanya dipenuhi sampah kebencian yang menggunung penuh sesak, dan hampir meledak. sampah yang baunya dulu kamu tutupi dengan ragam kepura-puraan di depan pasangan. sampah yang sebenarnya tetap sampah tapi kamu salah kira menganggapnya bisa didaur ulang.
ya, karena selalu ada banyak ingin. tapi ingin pun sekedar ingin jika kita hanya ingin menyentuh langit. padahal ada kebutuhan penting lainnya menunggu dipenuhi. sama halnya dengan Siti yang sudah dinikahi Bejo lima tahun, sementara Bejo masih terobsesi Olla Ramlan, tetangga seberang rumah. padahal Siti jelas nyata ada bersamanya, sementara Olla hanya bayangan maya, yang hanya sesekali mampir di imaji saat sesi onani. Bejo tak sadar, dirinya sudah memelihara sampah batin. yang berpotensi merusak hidupnya sendiri, menggerogoti tubuhnya sampai ke sumsum tulang.
sekali lagi, hati mana yang mau dijadikan tempat buangan 'sampah' berbau? atau sudah siapkah merasai hidup tidak sehat karena kerap 'menyampah'?

nb: senang bisa 'menyampah', tanpa perlu pakai sumpah serapah, ahahahaha

Wednesday, February 11, 2015

teras rumah

derik jangkrik, kodok mengorok memecah sunyi, sementara entah berapa kali hujan dan senja begitu teramat syahdu ketika dinikmati dari kursi teras rumah. ditemani sepiring rondo royal, dan teh hangat, pembicaraan mengalir, sambung menyambung. kalau tak ada suguhan pun tak apa. ada kamu, aku dan kita adalah indah.
sapa, salam dan senyum pada tetangga yang lewat di depan rumah pun adalah berkah. rasa nyaman bahwa kita masih bisa berbagi pahala meski itu hanya seulas senyum atau sapa hangat dengan tetangga. kalau berkenan, ajak juga tetangga menikmati buah lebat mangga meranum yang tumbuh di teras rumah. "nanti kalau sudah berbuah, saya bagi." ini janji. bukan basa-basi.
teras rumah inilah area penyambutan. bisa kulihat cemas, gemas, saat suami yang pamit pulang awal, ternyata hingga Maghrib tak juga pulang. "aku sudah menunggumu dari tadi. kamu tahu kan, aku sangat cemas," dan pada akhirnya cukup lega mendapatinya baik-baik saja. ya, teras rumah adalah saksi atas kecemasan. atas suka cita itu.

yang ditunggu pun akan merasa sangat bersalah dan berjanji, "maaf ya, bikin kamu cemas. aku pastikan tidak ada lain kali."
jika ruang keluarga tak lagi membawa kehangatan, jangan dulu saling menyalahkan antara suami dan istri, anak dengan ayah dan ibunya. barangkali perlu ditelisik, suguhan di layar kaca bisa jadi tak lagi menarik. sinetron kejar tayang sarat manipulasi, dan konspirasi. duh, gosip-gosip yang dibawakan pembawa acara bernada pedas itu pun lebih banyak mengadu domba dan hanya menelanjangi aib orang. belum lagi berita yang isinya bisa ditebak. kenaikan sembako, demo buruh, korupsi, apalagi? semuanya hanya berakhir pada kalimat menenangkan: pemerintah berjanji.
kenapa lantas mencari hangat dan nyaman di luar, jika teras rumah bisa memberikan semua itu?

ada banyak rumah bagus dibangun, tapi toh hanya jadi sekedar rumah, tanpa makna. semakin terlihat dingin, karena terasnya kosong. tak ada kursi, apalagi sekedar bangku. lampu teras selalu menyala meski itu siang hari. si empunya rumah sepertinya memang sangat sibuk. jarang pulang mungkin, atau tak pernah terima tamu.

dan aku masih selalu membayangkan di teras rumah itu anak-anak berlarian kecil di taman, ditemani ayah dan ibu duduk di kursi teras sembari ngobrol dan baca koran sore. lagi-lagi, aku merasa ada banyak cinta yang bisa dibangun. dan semuanya bisa dimulai dari teras rumah.
aku pantas malu, karena akrab dan hangat justru jamak begitu kentara di gubug-gubug papan di sepanjang bantaran sungai di pinggir kota. tak ada batas antara mereka. satu rasa, satu asa, satu cita-cita. bertahan di tengah kerasnya ibu kota. masih bagus, mereka masih punya waktu bercengkerama dengan tetangga, dan keluarga.
karena hanya ada rumah sepetak, maka teraspun boleh berbagi. yang penting tetep asik. emak-emak gerah yang berkutang duduk santai di depan rumah, saling bantu cari kutu rambut sembari berkeluh kesah soal harga cabai yang makin sombong. meninggi tak juga mau turun.

lalu, apalagi yang lebih indah dari sebuah teras rumah?

Monday, February 02, 2015

cemburu

perempuan dan laki-laki setengah baya yang duduk di seberang meja kafe itu saling tatap. laki-laki itu sengaja mengajak perempuannya ke sana. katanya, ada es krim favorit berdua yang bisa mereka habiskan sama-sama sambil bercanda.

tatapan mata perempuan itu seakan merajuk, ketika laki-lakinya menggoda, urung menyuapkan sendok ketiga banana split yang meleleh di atas piring mereka.

ya, ya, si perempuan berbaju terusan polkadot itu memang punya senyum yang menggemaskan.

"aku tak memiliki senyum semanis itu, pantas Hans selalu kangen dengan senyum perempuannya ini," Mita membatin.

masih Mita memperhatikan keduanya dari balik jendela butik yang berhadapan dengan kafe itu. tiga tahun sudah perempuan itu hadir di antara mereka. laki-laki itu suamiku. Hans selalu tahu bagaimana membuat perempuannya itu nyaman dan merasa tenang. dan baru ini Mita melihat senyum Hans begitu sumringah. lepas, natural.

"aku rela perempuan itu mencuri hari-hari suamiku. aku rela suamiku lebih memilih tidur bersamanya. aku relakan juga bahu suamiku kelak akan menjadi sandarannya. saat perempuan itu mulai mengerti cinta, dan dia punya suamiku yang menguatkannya."

"aku cemburu, tapi rasanya ini membahagiakan. suatu saat ketika cinta ini aku lepaskan, mereka pasti akan bisa saling menjaga." Mita tersenyum, berjalan tenang menghampiri keduanya.

"sudah makan es krimnya?, yuk kita pulang," ajak Mita.

Kenes memegang tangan Hans, dan memberi kode agar Hans menggandeng Mita.

"i'm so tired, i wanna go home, mommy..." Kenes manja pada Mita.

ketiganya berlalu meninggalkan kafe, meninggalkan senja. menyisakan harap Mita pada sepiring banana split, dan waktu yang bersedia memberi Hans dan Kenes ruang untuk kembali bercanda.

"karena aku tak akan pernah selamanya ada di antara kalian..."