Monday, July 26, 2010

Upin & Ipin : Perangkul Kawan dan Lawan

Beberapa tahun mendatang, Upin dan Ipin mungkin akan melegenda selayaknya Unyil. Ya, Unyil, anak laki-laki berpeci dan bersarung dari desa "Sukamaju", sang drummer cilik dari band "Dekil", yang rajin tampil di minggu pagi, di tahun 80an silam itu. Saya pernah mengidolakannya.

Kini, Upin dan Ipin, duo kembar dari tanah Melayu itu mencoba menggeser posisi Unyil. Teriakan Unyil "ayo kita kemon!" makin tak terdengar gaungnya, dikalahkan suara nyaring "betul, betul, betul", khas upin dan ipin. Dengarlah, jargon upin ipin itu hampir dikenal di setiap percakapan santai, di rumah, di kantor, pun di Facebook.

Jika saya boleh mengidolakan Unyil yang penuh suri tauladan, jagoan cilik saya, Faiz, pasti pun tak mau kalah. Ia memilih mengidolakan ipin-ipin [begitu kiranya Faiz menyebut tokoh "upin dan ipin"]. Dan sepuluh hingga dua puluh tahun dari sekarang, saya yakin Faiz masih akan menyisakan kenangan upin & ipin dalam ruang memorinya.

Lebih-lebih di weekend lalu, Faiz berkesempatan menghadiri Meet and Greet bersama dubber Upin & Ipin dan Kak Ros di Ciputra Mall. Senang bukan kepalang dia ketika ada kesempatan berfoto dan bersalaman dengan idolanya. Untung, kak Ros tak galak pada Faiz. Diangsurkan tangannya, dan menyapa Faiz ramah, "Hai..". Batinnya mungkin, "aiiih, comelnya" :))

Ya, yang nampak di panggung siang itu hanyalah sosok bersahaja milik Ida Shaheera dan Aysila Putri. Judesnya kak Ros hanya boleh nyata terbaca di belakang layar. Di luarnya, seorang Ida tetaplah kakak, yang barangkali saja memang tidak galak atau judes. Pun Aysila, dia tetaplah gadis cilik umur 10 tahun. Meski di belakang layar, Aysila yang polos itu tetap membawa kepolosan dan keriangannya sebagai pribadi kembar, upin & ipin.

Dalam kisahnya, Upin & Ipin adalah pemersatu, perangkul semua kawan. Tak peduli Jarjit yang suka berpantun itu dari India, Ihsan itu kaya dan sedikit sombong, Fizi - sepupu Ihzan itu senang kebersihan, Mail suka uang, atau Mei mei itu pintar, dan Susanti si gadis cilik itu anak baru pindahan dari Jakarta. Semua kawan. Dan Upin & Ipin dengan segala kepolosannya, tak pernah mengganggap mereka sebagai lawan.

Seperti Upin & Ipin, bocah-bocah yang hadir di siang itupun polos memesona. Dalam syairnya bertajuk Gitanyali, Tagore menangkap makna,
"saat bocah-bocah itu berkumpul, mereka sebenarnya tengah bermain dan sebenarnya mencipta".
Ya, mencipta sebuah perdamaian, tepatnya. Tak peduli perbedaan yang melekat dalam diri, mereka hanya ingin bebas. Bebas dari segala label agama, ras, ataupun suku dan bersatu untuk sebuah kata damai.


Betul, betul, betul, Upin & Ipin dan kumpul bocah di siang itu sanggup melenyapkan segala perbedaan, pun melenyapkan sejenak panasnya perseteruan Indonesia dan Malaysia. Sekedar menengok ke belakang - kepulauan Sipadan-Ligitan, lagu Rasa Sayange, Reog Ponorogo hingga Batik pernah diakui sebagai milik mereka. Benci dan gemas lantas meradang di hati. Namun saat Upin & Ipin muncul, mendadak amnesia menyerang. Entah lupa sejenak atau pura-pura lupa, kita sulit ingat betapa panasnya konflik dengan tetangga sebelah pulau saat itu.

Ya, dan betul, betul, betul, Upin & Ipin telah menghembuskan angin segar yang menyejukkan. Pernyataan wakil Menteri Perdagangan Antarbangsa dan Industri, Dato Mukhriz Mahathir kepada sejumlah media, menyambut gembira apresiasi masyarakat dan sambutannya yang luar biasa terhadap serial Upin dan Ipin di Indonesia.

Hmm..Kebencian itu reda seketika. Bahwa Upin & Ipin yang kanak-kanak itu datang dengan segala kebaikannya, menjembatani perdamaian bagi dua negara tetangga yang pernah berseteru. Saya, dan para orang tua kanak-kanak itu lantas lega, menikmati damainya siang itu dalam kumpul bocah bersama Upin & Ipin.

Kita memang tak bisa ingkar, mereka datang dari negara yang dulu pernah menjadi musuh atau lawan, dan kita [saya saja, kali!] hanya bisa berandai-andai. Andai Upin & Ipin milik kita, dan andai kita bisa melakukan yang lebih baik, tentu saja karya anak bangsa semacam Petualangan Kabayan pun bisa membanggakan negeri, bukan? Tak hanya menjadi milik kita, pun menjadi milik dunia selayaknya Upin & Ipin.

Namun barangkali kita memang perlu bercermin dan bertanya pada diri sendiri, mengapa yang kita miliki bisa begitu mudah terlepas dan diakui orang lain sebagai milik mereka? Mungkin benar kiranya bahwa ego dan kesombongan telah begitu kuat mengakar hingga kebanggaan dan kecintaan pada negeri ini tak lagi ada. Kita lebih memilih hanyut dalam buaian sajian budaya hedonisme yang memabukkan, hingga kita lupa menjaga, merawat dan mengembangkan aset yang kita miliki.

Ya, ya, ya, agaknya nasionalisme dan kesetiaan terhadap negeri ini memang patut dipertanyakan.

Dan biar saja Faiz mengagumi idolanya dari seberang pulau itu. Toh saya yakin, nasionalisme Faiz tak seketika luntur. Upin dan Ipin telah mengajarnya kebaikan. Dan kelak akan saya kisahkan juga padanya tentang Unyil, Bolang dan Kabayan yang mengajarkan hal yang sama. Tentang indahnya perbedaaan, hangatnya perdamaian, dan lebih seronok [baca:asyik] mencari kawan bukannya mencipta lawan. Dan sebobrok dan seburuk apapun negeri ini, Faiz akan tetap mencintai Indonesia. Karena Faiz anak negeri, yang cinta damai dan sayang semua kawannya. Tak peduli Eki yang ambon, Bagas yang jawa atau Nisya yang sunda.


Betul, betul, betul?

di publish juga disini

Salam!


No comments:

Post a Comment