Wednesday, July 14, 2010

Kaum Terpinggirkan Mencari Cinta

Sebuah repost

Bertepatan hari ibu, setahun yang lalu, momen bahagia menghampiri seorang Doyo, begitulah ia biasa dipanggil saat masih terjebak di dunia laki-laki. Ia melonjak girang kala keputusannya untuk berganti kelamin dikabulkan Pengadilan Negeri Batang, Jawa Tengah.


Terlahir sebagai Agus Wardoyo, membuatnya merasa tak nyaman. Ada geliat penolakan dalam dirinya, terlebih feminitas mulai nampak jelas saat Doyo duduk di bangku SMP. Doyo berubah lembut, dan gemulai melenggang. Doyo mengucap syukur karena Bambang Sugianto dan Witem, orang tuanya, sangat begitu bijak. Atas restu mereka, jalan terbuka bagi Doyo demi menemukan jati diri yang sesungguhnya. Aktivis LSM Omah Perempuan itu menjalani operasi ganti kelamin di Rumah Sakit Dr Sutomo, Surabaya, pada tahun 2005. Itulah momentum penting, yang pastinya akan diingat Doyo hingga ia tiada. Doyo yang dulu telah berganti rupa menjadi pribadi yang baru, sebagai manusia baru, sebagai perempuan sejati. Sebagai Nadia Ilmira Arkadea.

Doyo yang dulu telah bertransformasi dengan sangat apik layaknya kepompong berubah wujud kupu-kupu cantik. Ia, kini, adalah Dea. Seorang Dea yang cantik, yang merasa lega sekaligus bangga, kelelahannya sebagai pribadi yang salah, telah berhasil ditepisnya. "aku lelah menjadi lelaki, dan kini aku bangga sebagai perempuan seutuhnya.." Inilah buah kejujuran terdalam seorang pelaku transgender yang telah dibayar mahal.

Tapi, begitu sajakah akhir penantian Dea, lega berubah wujud dan lalu semuanya selesai, tuntas? Dea kini harus bersiap menghadapi publik yang mencibir keputusan maha dahsyatnya. Namun Dorce, sang entertainer serba bisa itu berjalan di belakang, menemani langkahnya. Mendukung keputusan Dea, membela Dea meski dari jauh. Ya, sebelum Dea memutuskan, Dorce memang telah lebih dulu melakukannya.

Adalah siksaan saat itu, bagi Dorce, menjadi lelaki, dan kelegaan sekaligus kebanggaanlah bagi dirinya berubah wujud menjadi perempuan. Perempuan yang lalu sangat bangga dipanggil Bunda. Panggilan yang layaknya sebuah terapi, menyejukkan batinnya yang merindui sosok ibu yang hadir dalam hidupnya. Ahh..lalu salahkah dia rindu bunda, ingin menjadi perempuan, dan mendamba cinta?

Namun keberpihakan cinta ternyata bukan pada dirinya, meski Dorce pernah mengecap nikmatnya sebuah cinta dan pernikahan. Dorce dipaksa menerima buah atas keputusannya. "Maaf, cinta belum hadir saat ini untukmu." Ataukah, memang tak akan pernah ada cinta bagi kaum transgender?

Dorce lantas berlari, mengadu pada Tuhan. Harapnya mungkin, Tuhan bersedia memberi pengampunan bagi dirinya, yang telah memilih jalan ini. Dan hanya Tuhanlah jawaban atas keputusasaan Dorce, saat itu dan kini. Karena mencintai dan memiliki Tuhan tak akan pernah menyakitkan bagi jiwanya. CintaNya selalu abadi.

Tak apa. Begitu mungkin kata batin Dea dan Dorce, memutuskan berdamai dengan diri sendiri. Biarkan Tuhan bekerja dan memutuskan yang terbaik. Tuhan memang sudahlah adil kan?

Toh, jagad batin seorang transeksual seperti mereka memang tak bisa dengan mudah dipahami. Tak guna mulut berbuih-buih membela diri, pilihannya lebih baik menutup rapat saja masa lalu. Meski ini bukan dalam rangka mengingkari kenyataan yang sudah terjadi.

Memang terasa tak adil, saat kita memperjuangkan kebahagiaan, tapi nyata-nyata banyak hal dan banyak pihak tak mengingini itu teraih. Dea, atau Dorce mungkin masih bernasib baik, meski tekanan mental akibat penolakan orang-orang disekitarnya begitu kentara, tapi, setidaknya mereka bukan bagian dari obyek kekerasan fisik.

Brandon Teena, mungkin lebih parah dari sekian banyak kaum transgender. Kisah tragisnya diangkat ke layar lebar, perjalanan hidupnya begitu jelas tergambar lewat alur yang mengalir di 'Boys Don't Cry'. Tangisan Teena yang menolak menjadi perempuan pun lantas menuai empati dan simpati hingga sukses memenangi Academy Award di tahun 1999.

Tragis, ternyata hingga akhir hayatnya, Teena bahkan tetap saja tak diakui sebagai laki-laki. Batu nisannya yang tegak tertancap di Lincoln Memorial Cemetary adalah saksi atas keinginan Teena yang tertolak. Tertulis disana, "anak perempuan, saudara perempuan, dan teman".

Dunia transgender adalah dunia kaum terpinggirkan, dunia para jiwa yang terperangkap pada raga yang salah. Tak hanya menyoal penolakan cinta dan eksistensi mereka di ruang publik, jejaring birokrasi negara pun kadang sulit tertembus. Adalah Alterina Hofman, seorang perempuan yang mengubah wujudnya menjadi lelaki. Cintanya pada Jane Deviyanti Hadipoespito – putri salah satu pendiri Universitas Bina Nusantara, harus membuatnya terpenjara. Cintanya tertolak keluarga Jane. Pun, bagai jatuh tertimpa tangga, Alter harus pula menghadapi birokrasi negeri ini yang tegas mematikan.

Rahasia masa lalu yang ingin ditutup Alter rapat-rapat malah harus terbuka di muka publik. Lapas Cipinang nyata-nyata menolaknya. Derita yang terlengkapi, bahkan penjara yang dianggap tempat buangan pun tak mau 'menerima' seorang Alter.

Namun Alter barangkali lebih beruntung dari Dorce. Cinta Jane tak surut meski apapun keadaan Alter. Bagi Jane, hanya Alter yang mampu memahami dirinya yang tuna rungu, dan itu sudah lebih dari cukup. Terbaca oleh saya tangisan Jane di Kick Andy beberapa waktu lalu. Tangisannya tertahan, meski sulit baginya bicara, namun deras kalimat terucap juga dari bibirnya yang bergetar. Jane memohon restu itu.."tolong persatukan kami.."

Dea, Dorce, Alter dan siapapun mereka ingin terlahir sempurna. Memiliki dua kromosom seks, tidak berharap diberi lebih. Menjadi bukan sebagai setengah perempuan atau setengah lelaki. Namun, hanya Tuhan-lah sang kuasa yang sanggup menghadirkan umat-Nya begitu unik satu dengan lainnya. Lalu, ada apa di balik rencana Tuhan mencipta mereka, ingin membuat dunia penuh warna, begitu berbeda?

Kami pasti menemukan jalan, cinta, dan jati diri kami jika kalian bersedia membukakan pintu. Karena hanya dengan menerima kami di tengah-tengah kalian, kemesraaan hidup berdampingan bersama di bumi ini akan tercipta.

Dan biarkan kami unik dan istimewa dengan cara kami sendiri, namun jangan sesekali perlakukan kami beda yang 'keblabasan'.

Salam!


No comments:

Post a Comment