Friday, July 16, 2010

Harap dan Cinta untuk Tari

Sebuah repost

SAYA, kamu, dia, pun Cut Tari adalah pribadi dalam dua sisi, hitam dan putih. Kami pernah berbuat baik [meski mungkin jarang sekali diingat], dan lebih sering menjadi tempat alpa, khilaf dan salah.

Itu karena kami berjalan di atas jalan kehidupan yang tak selalu mulus. Adakalanya kami tersandung batu atau tertusuk duri hingga kaki ini terluka. Kami lantas menangis, dan menyesali memilih rute yang salah. Dalam kelukaan, kami mengadu pada Tuhan, sang navigator kehidupan. Dan Dia hanya tersenyum, "dari jalan yang salah ini, sesungguhnya aku sedang 'memperkaya' dirimu"

Ya, ini memang seperti refleksi dari kisah Tari. Bahwa luka, tangis dan sesalnya bisa menjadi cermin bagi kita. Bahwa kita mungkin pernah menjadi Tari, yang khilaf dan lalu menyesal. Bahwa sebuah kesalahan sanggup mengubah total keseluruhan diri, menjadi pribadi yang baru.

Kasus video intim itu adalah aibnya, dosa dari masa lalu Tari. Jika saja bisa, jika saja mampu, inginnya menutupi borok itu. Namun Tari sadar, ia milik publik, dan pada publiklah Tari diminta bertanggung jawab, dan meminta maaf.

Ya, Tari yang dulu kenes, manja dan sensual itu memang sudah menghilang. Yang terlihat sekarang, hanyalah Tari yang malu, bingung dan cemas.

Tari bagai dipaksa meloncat ke lorong waktu, kembali ke masa itu, saat desah manjanya pada Ariel terekam jelas di ingatannya, pun belaian lembut tangan kekar Ariel yang menelusuri setiap lekuk tubuhnya itu masih terasa menyentuh kulit raganya. Raga yang seharusnya hanya milik Jusuf Subrata.

Dan kini di hadapan puluhan kilatan
blitz kamera yang 'menelanjanginya', Tari terbata-bata memohon maaf, pada petinggi negeri, pada masyarakat, pada suami yang mematung tegang di sampingnya. Ya, sekuatnya Tari mencoba tegar meski maaf itu mungkin saja belum cukup. Bahwa setelah permintaan maaf ini, Tari masih tak tahu bagaimana kehidupannya kelak di masa depan. Bagaimana dengan Jusuf Subrata - suaminya, Sydney - gadis kecilnya, ibu, dan keluarga besarnya.

Ia bahkan belum tahu jawaban apa yang harus diberikan pada Sydney saat dia bertanya, "kenapa mama menangis?, kenapa orang-orang itu membenci mama?" Ah ya, langkah Tari tertatih bagai dibebani berton-ton rasa bersalah yang memberat dipundaknya, dan dosa itu dirasa tak akan tertebus di sisa umurnya.

Jerat pasal pornografi pun siap mengantar Tari menghabiskan harinya di hotel prodeo, dan hukuman masyarakat bagai cambuk, sudah terlebih dulu menghantam keras punggungnya hingga berdarah-darah.

Namun, Tari sejatinya masih lebih beruntung. Pengakuannya, kata maafnya bagi seorang Jusuf, sudahlah lebih dari cukup. Bahwa keberadaannya disamping Tari adalah bukti, cintanya masih belum habis untuk Tari. Dan bolehlah kita semua berharap, tak terkecuali Tari dan Jusuf, bahwa harapan seiring waktu, cinta itu pasti akan bertambah dan semakin menguat.

Kejujuran [yang meski menyakitkan] itulah kelegaan Jusuf, pun kebanggaannya. Bukan menyoal bagaimana kasus ini sudah merebak menjadi isu nasional yang menyebar ke seantero negeri, bukan juga kebanggaan Jusuf, tubuh istrinya dinikmati beribu-ribu pengunggah dan pengunduh video intimnya. Adalah kelegaan dan kebanggaan Jusuf, istrinya yang dulu khilaf telah berani berbesar hati untuk mengakui dan meminta maaf, pun bertanggung jawab atas benih yang ia tuai.

Saya tak mau berprasangka buruk, bahwa Tari hanya sedang mencari simpati atau tengah berakting, seperti juga kita tahu, dia adalah pelakon dalam frame layar kaca. Lukanya, dukanya, tangisnya, sanggahnya bukan kamuflase, karena dia, Tari memang tengah melakoni skenario Tuhan. Menjadi yang dulu dipuja dan kini dihina.

Betul kiranya sebuah ungkapan lama, yesteday is history, tomorrow is future (maybe it will never come) and today is present. Kasus yang menimpa Tari saat ini adalah sejarah yang tak akan pernah dilupakannya. Meski menyakitkan, namun sanggup menamparnya keras, membuatnya tersadar dan belajar, bahwa Tuhan sedang membantunya berproses, "memperkaya" dirinya menjadi pribadi yang lebih baik.

Ya benar, bahwa kisah masa lalu memang sanggup "memperkaya" kita di masa depan..dan ibarat buku, masa lalu adalah referensi terbaik, karena disanalah segala pengalaman ditemukan.

Dari buku klasik nan jadul dan usang itulah kita sebenarnya diharapkan belajar. Bahwa sebuah kesalahan dimasa lalu cukup menjadi catatan saja disana, bukan menjadi beban. Dan lepaskan beban itu dan tinggalkan saja di masa lalu, karena setiap hari akan selalu ada pintu yang terbuka untuk kita, karena selalu ada orang lain yang bersedia membuka pintu itu. Pintu maaf dan pintu pengharapan bagi saya, kamu, dia, pun Cut Tari.

Dan Jusuf adalah harapan Tari, bahwa pintu Jusuf masih terbuka untuknya, dan cinta itu memang belum habis untuk Tari.

Salam!


No comments:

Post a Comment