Tuesday, July 20, 2010

Identitas Itu..

Sebuah repost

Gambar diri terpajang di sudut kiri setiap halaman Facebook yang dipunyai hampir sebagian besar penghuni bumi atau kartu nama, lengkap dengan nama, gelar, jabatan dan kedudukan, begitu mewakili identitas seseorang. Si A berpose dengan latar belakang bangunan asing di negeri orang, bagai sebuah penunjukan terang-terangan, bahwa identitasnya [dulu atau sekarang] adalah seorang perantau. Ya, dua alat ini memang layaknya media terbaik yang sanggup menunjukkan siapa "aku, kamu atau kita"

Lalu, benarkah pada dua media ini, jati diri sejatinya telah terungkap? Hmm, mungkin benar apa kata guru saya, Gunawan Muhammad. Dalam catatan pinggirnya, beliau mengatakan,
"orang sebenarnya tak tahu bahwa "diri" yang (se)-jati mustahil didapat". Karena jati diri memang tak kasat mata.
Bocah polos yang menginjak usia akhil baligh malah lebih memilih bertanya pada cermin. Bertanya dia, siapa aku?. Ia dapatkan jawabannya di depan cermin, puas dan kumat narsisnya, kala menemukan bayangan dirinya utuh dan stabil di sana.

Ya, si bocah ternyata tak menyadari ada yang tak menggenapi ke-aku-annya. Ia, sebuah unsur yang tak kasat mata, dan berada begitu dalam di balik jiwa. Dialah mimpi, nafsu dan [mungkin juga] trauma. Hadirnya hanya bisa dirasakan begitu kuat membelenggu hati, menyeruak ke dalam otak. Bayang raga di balik cermin tak akan sanggup menghadirkannya, karena cermin telah mengeliminasi unsur-unsur tak kasat mata.

Ya, cermin mungkin telah bohong. Tak ia katakan yang sesungguhnya. Seperti kisah penyihir buruk rupa yang jatuh hati pada pangeran tampan dari negeri antah berantah. Bertanya penyihir buruk rupa pada cermin, "Wahai cermin di dinding, siapakah yang paling cantik?", Cermin seakan takut menunjukkan kenyataannya, ia lantas berbohong, "tentu saja kamu, wahai putri cantik jelita". Krisis identitas telah menyerang penyihir buruk rupa, hingga ia bertanya pada cermin.

Dalam buku Amin Maalouf,
In The Name of Identitiy, identitas justru dimaknai dengan parameter yang lebih luas, meliputi inklusifitas dan eksklusifitas. Saya ambil contoh sederhana, seorang pelajar yang masuk kalangan minoritas karena dianggap lebih bodoh dari sekian banyak kawan di kelasnya. Ia justru termasuk pelajar yang ternyata paling kritis karena selalu banyak bertanya, hingga dia dianggap bodoh [nanya mulu, soalnya].

Dan dari berbagai mata lewat sudut manapun, bisa terlihat, bagaimana aku, kamu, kita memandang kedudukan masing-masing orang. Pelajar kritis tadi justru merasa dirinya yang terunik, karena tidak ada yang bisa sekritis dia bertanya. Dan si pintar tetap saja menganggap dirinya paling bisa, paling kritis.

Namun saat ditelisik lebih dalam, ke-aku-an ternyata juga memiliki unsur eksklusif, terlepas dari dia bodoh atau pintar. Sederhana saja, pelajar bodoh tadi ternyata memiliki kesamaan dengan pelajar yang pintar. Mereka sama-sama makan nasi, penggemar sepak bola dan suka menulis [mungkin]. See, meski beda, nyata-nyata ada kesamaan yang tak bisa dipungkiri melekat dalam diri, dan tak bisa terlepas. Ya, sekuat apapun kamu bilang kita berbeda, tapi kita sama, kawan.

Perumpamaan di atas secara gamblang menunjukkan fleksibelnya sebuah identitas itu. Dalam skala luas, adanya kita mau tidak mau bersentuhan dengan begitu banyak manusia dari latar yang berbeda-beda dan tidak terbatas oleh demarkasi lokasi ataupun bangsa. Ironisnya, secara individu kita terkadang menolak dikelompokkan dalam satu kelompok karena merasa berbeda dari yang lain.

Ya, identitas memang tak pernah datang sendiri, ia membawa serta pembanding-pembandingnya. Ke-aku-an atas nama suku, ras, dan agama, inilah yang lalu menjadi sekat dan tembok yang memang sengaja dibangun tegak berdiri dalam masyarakat. Akibat peng-kotak-an, maka identitas pun lalu jadi semakin nyata berbeda satu dengan yang lain. Ya, dan perbandingan memang selamanya akan menjadi mata rantai yang tak pernah bisa diputus.

Bicara identitas, mengingatkan lalu pada sebuah pertanyaan yang pernah mampir pada saya, dulu. "kamu Jawa ya?..". Heran saja saya dengan pertanyaan seorang kawan. Kalau wajah saya sedikit oriental, mata sedikit sipit, kulit sedikit pucat dan gaya bicara mirip pedagang di pasar Gang Baru? Sebuah kesalahan ya jika saya bilang bukan dari etnis itu tapi dari etnis ini?

Ya, benar memang kata James Baldwin, pengarang dari New York, yang hitam, yang gay, dan yang melarat, yang memilih meninggalkan Amerika dan hidup selama 10 tahun di Eropa.
"Identitas ditanya hanya ketika ia terancam, atau ketika si orang asing datang memasuki gerbang." ;)
-260610-

Salam!

1 comment:

  1. bagus tulisannya mbak..
    pada akhirnya juga identitas ini menjadi sebuah patokan untuk menilai.
    *mboh ngomong opo* :D

    ReplyDelete