Friday, July 23, 2010

Kepada Faiz yang Meminta Adik..

Sebuah repost
Tagore berkata, "setiap anak tiba dengan pesan, bahwa Tuhan belum jera dengan manusia". Ia hembuskan nyawa-nyawa suci itu ke dunia, meski dunia makin penuh sesak.
Bahkan seorang anak yang lahir dari sebuah perzinahan pun tetaplah bayi suci. Ia tak tahu menahu, atas dosa yang dibuat kedua orangtuanya. Dan hingga kelak besar nanti, dia tahu mengapa ia dipanggil "si anak haram".

Ya, entah berapa jumlah anak manusia di negeri tirai bambu atau di tanah kita, Indonesia. Populasi yang makin bertambah, menambah pula deret masalah baru. Krisis ekonomi berkepanjangan justru makin melebar masalah ke segala sisi kehidupan. Pendidikan mahal, apalagi kesehatan, harga susu naik dan tak juga mau turun.


Adik bayiku disusui air tajin dicampur gula karena air susu ibu kering kerontang. Kau tahu, itu karena ibuku jarang makan, jatahnya ikhlas diberikan untuk kami, lima anaknya. Bukan pula keterpaksaan, karena aku bersedia hidup terlunta-lunta di jalanan demi tetap bertahan hidup, menggendong adikku yang belum genap setahun dan mengemis. Iriku mungkin juga sudah habis untuk mereka, kawanku yang menyandang tas ke sekolah dan belajar berhitung sampai bosan. Dan tidak sakit adalah berkah luar biasa, meski kami kurang gizi, dan sering kedinginan karena tidur di emperan toko, hanya beralas dan berselimut koran.

Lalu, masihkah ibu ingin menghadirkan satu lagi adik kecil untukku?..Ibu seperti tak jera, bapak apalagi.

Ya, sebuah persoalan hidup teramat pelik tergambar jelas dari dulu, dan hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Ya, pekerjaan negara untuk mengurus anak-anak terlantar yang tak pernah selesai dituntaskan. Produsen anak pun diminta membatasi produksinya, anak cukup dua saja. Atau Cina yang lebih keras dengan "kebijakan satu anak" nya, alias ketahuan punya anak lebih dari satu, berarti wajib bayar denda kepada pemerintah.


Anak adalah anugerah, dan setiap anak miliki rejekinya masing-masing. Sesederhana itu memang jika mau diterapkan, bahwa Tuhan sudah menyediakan porsi rejeki itu untuk masing-masing anak yang terlahir. Namun saat dipraktekkan, memang bisa begitu rumit, sulit, dan njelimet. Hingga suatu hari saya pernah bosan ditanya, "kapan Faiz punya adik lagi?"

Karena aku tahu praktek tak pernah semudah teorinya. Karena saat memandangnya yang tengah terpejam, terlelap dalam tidur dan mimpi indahnya, sesungguhnya ada kecemasan yang berkecamuk di dalam benak. "Apa yang direncanakan Tuhan untukmu, sayang?" Telah Ia titipkan sang jagoan, Faiz, padaku. Ada kebahagian yang menyentak dan membuncah di dada, bahkan sang ayah terlalu bahagia, hingga ia jadi cemas sendiri. Ada takut saat menggendongmu, katanya. Tangan besarnya akan meremukkan tubuh rapuhmu.

Dan aku tahu, kau begitu kesepian, Faiz. Kau ingin adik, kan? Begitulah saat kau mengelus perut mama dan berucap, "adikk..". Ahh, aku memang ingin memberimu seorang adik, satu lagi. Perempuan atau laki-laki tak masalah, yang penting dia terlahir sehat dan sempurna.

Tapi saat melihat pengamen wanita bernyanyi lagu sendu sambil menggendong anak laki-lakinya yang tertidur, aku dilanda cemas. Bagaimana ia begitu kuat menantang teriknya mentari, bersedia melawan egonya, karena jika mau saja ia bisa kabur bersama pria lain. Ya, karena memang tak ada pilihan bagus untuknya, kecuali ia harus kuat, demi sang anak yang telah dititipkan Ia padanya.

Mama tak ingin merusak ingin dan mimpimu untuk punya adik, sayang. Mama hanya cemas, karena dunia semakin penuh sesak, penuh orang lapar. Mereka yang kenyang semakin bertambah, tapi tak mengurangi mereka yang lapar. Ada banyak kesempatan bagi yang beruntung menjadi kaya, tetapi semakin sempit kesempatan bagi yang menderita.

Ya, mungkin masih beruntung seorang Faiz dibanding anak laki-laki dalam gendongan ibunya yang pengamen. Faiz menyusu hampir tiap hari, tiap saat. Tidur lelap di kasur empuk nan hangat. Belajar berhitung bersama mama, bukan pada kenek bis yang menghitung receh. Bernyanyi lagu anak [yang sudah dihapalnya di luar kepala], sedang si anak bermain nada dengan 'rebana tutup botol' milik ibunya, dan bernyanyi lagu dewasa, yang ia sendiri tak pernah tahu maknanya.

Ah, ini hanya kecemasan mama, nak, yang mencoba berempati pada hidup orang lain. Dan mungkin cemas ini tak beralasan, karena sejatinya mama tak pernah tahu apa yang direncanakan Tuhan untukmu, untuk anak laki-laki itu, dan anak-anak lain di luar sana..

Salam!


No comments:

Post a Comment