derik jangkrik, kodok mengorok memecah sunyi, sementara entah berapa kali hujan dan senja begitu teramat syahdu ketika dinikmati dari kursi teras rumah. ditemani sepiring rondo royal, dan teh hangat, pembicaraan mengalir, sambung menyambung. kalau tak ada suguhan pun tak apa. ada kamu, aku dan kita adalah indah.
sapa, salam dan senyum pada tetangga yang lewat di depan rumah pun adalah berkah. rasa nyaman bahwa kita masih bisa berbagi pahala meski itu hanya seulas senyum atau sapa hangat dengan tetangga. kalau berkenan, ajak juga tetangga menikmati buah lebat mangga meranum yang tumbuh di teras rumah. "nanti kalau sudah berbuah, saya bagi." ini janji. bukan basa-basi.
teras rumah inilah area penyambutan. bisa kulihat cemas, gemas, saat suami yang pamit pulang awal, ternyata hingga Maghrib tak juga pulang. "aku sudah menunggumu dari tadi. kamu tahu kan, aku sangat cemas," dan pada akhirnya cukup lega mendapatinya baik-baik saja. ya, teras rumah adalah saksi atas kecemasan. atas suka cita itu.
yang ditunggu pun akan merasa sangat bersalah dan berjanji, "maaf ya, bikin kamu cemas. aku pastikan tidak ada lain kali."
jika ruang keluarga tak lagi membawa kehangatan, jangan dulu saling menyalahkan antara suami dan istri, anak dengan ayah dan ibunya. barangkali perlu ditelisik, suguhan di layar kaca bisa jadi tak lagi menarik. sinetron kejar tayang sarat manipulasi, dan konspirasi. duh, gosip-gosip yang dibawakan pembawa acara bernada pedas itu pun lebih banyak mengadu domba dan hanya menelanjangi aib orang. belum lagi berita yang isinya bisa ditebak. kenaikan sembako, demo buruh, korupsi, apalagi? semuanya hanya berakhir pada kalimat menenangkan: pemerintah berjanji.
kenapa lantas mencari hangat dan nyaman di luar, jika teras rumah bisa memberikan semua itu?
ada banyak rumah bagus dibangun, tapi toh hanya jadi sekedar rumah, tanpa makna. semakin terlihat dingin, karena terasnya kosong. tak ada kursi, apalagi sekedar bangku. lampu teras selalu menyala meski itu siang hari. si empunya rumah sepertinya memang sangat sibuk. jarang pulang mungkin, atau tak pernah terima tamu.
dan aku masih selalu membayangkan di teras rumah itu anak-anak berlarian kecil di taman, ditemani ayah dan ibu duduk di kursi teras sembari ngobrol dan baca koran sore. lagi-lagi, aku merasa ada banyak cinta yang bisa dibangun. dan semuanya bisa dimulai dari teras rumah.
aku pantas malu, karena akrab dan hangat justru jamak begitu kentara di gubug-gubug papan di sepanjang bantaran sungai di pinggir kota. tak ada batas antara mereka. satu rasa, satu asa, satu cita-cita. bertahan di tengah kerasnya ibu kota. masih bagus, mereka masih punya waktu bercengkerama dengan tetangga, dan keluarga.
karena hanya ada rumah sepetak, maka teraspun boleh berbagi. yang penting tetep asik. emak-emak gerah yang berkutang duduk santai di depan rumah, saling bantu cari kutu rambut sembari berkeluh kesah soal harga cabai yang makin sombong. meninggi tak juga mau turun.
lalu, apalagi yang lebih indah dari sebuah teras rumah?
No comments:
Post a Comment