Friday, July 06, 2012

surat

kapan terakhir kamu berkirim surat? saya sendiri hampir lupa. tapi, memori segera melesat ke tahun 90-an, manakala ingat pernah begitu senangnya menerima sepucuk surat cinta, bertuliskan besar di bagian pembuka amplopnya : Ti Bandung Euy! (dari Bandung Euy). siapa lagi kalau bukan dikirim seseorang yang lebih tepat sekarang disebut mantan. pacar LDR yang manisnya se-kecamatan. hahaha.
memandang amplopnya saja sudah berdebar jantung ini sukar diredam, apalagi saat membuka sampul amplopnya dengan penuh hati-hati. seperti takut merobek isi di dalamnya. ibarat takut melukai isi hati si pengirimnya. membuka lipatan suratnya, pun makin tak keruan saja hati ini.
ehem!, diawali sapaan manis, "dear", hati langsung loncat-loncat gila. mata lalu tekun membaca runut pesan yang terangkai. "tulisannya hm," saya tersenyum dikulum. "berapa kali ya dia harus bolak-balik nulis surat ini, tulisannya rapi jali, tanpa cacat."

bayangkan, untuk menyampaikan rindu, dia perlu mempersiapkan semuanya dengan baik. pasti dia melarang si bad mood mengacaukan acaranya berkirim kabar via surat. dia perlu tinta warna hitam, bukan biru apalagi merah. karena hati yang cerah tak selamanya diwakili warna merah, bukan? dan pasti dia akan sangat dendam jika pak pos gagal menyampaikan suratnya kepada saya. "lha pakai sepeda, kapan nyampainya?"

rindunya tercetak rapi dalam baris per baris kalimat menjuntai bernada rayuan pulau kelapa. pantaslah, remaja belasan umur kala itu membuat cinta saya masih belum rasional ke dia. dikirimi surat saja berasa sudah jadi pasangan paling bahagia sedunia. padahal, setelahnya, bingung, kacau banget tanpa dia. hollow.
akhirnya, membaca surat cinta itu berkali-kali bagai mengisi udara buat hati yang sesak karena rindu. suratnya yang terus didekap erat, manakala rindu itu susah sekali dilawan. namun, surat-surat cinta itu harus berakhir dalam kotak berlapis yang kuncinya lalu entah nyelip kemana. melebur bersama berakhirnya hubungan kami selama 4 tahun.
pun, saya pernah merasai sensasi itu. membaca, menulis dan lalu mengirim surat kemudian harap-harap cemas apakah surat saya tiba di alamat yang benar, bagaimana perasaannya membaca surat saya? seperti itu juga mungkin perasaan seorang public figure (baca: artis) yang tenar di era 90-an. jaman dimana berkirim surat masih begitu asiknya.

bayangkan, ia membalas ribuan surat yang dikirim oleh penggemar-penggemarnya di seluruh penjuru negeri. tak ada yang lebih hebat dari sebuah cara klasik berkirim surat, saat itu. saya sendiri tak bisa membayangkan seandainya itu saya, tak akan sanggup. tangan saya hanya dua, dan terlalu sedikit waktu yang bisa saya curahkan untuk membalas pesan mereka satu-satu.

kapan terakhir kamu berkirim surat? pertanyaan itu nampaknya sudah tidak lagi relevan jika ditanyakan pada masa sekarang. bis surat dan pak pos seakan menjadi saksi bisu dari kejamnya perkembangan teknologi informasi. meski bis surat berwarna oranye itu masih gagah berdiri di perempatan jalan, atau pak pos tak lagi "ngonthel jengki", mereka semua mendadak ciut di hadapan si hebat teknologi.
di jaman yang semua serba mudah, kini cukup sekali sentuh tombol "SEND", sebait pesan singkat sukses terkirim. tak perlu effort tinggi, karena memang begitulah kejamnya teknologi.tak lagi ada perasaan harap-harap cemas menunggu di depan kotak surat, hanya untuk sekedar melongok, "sudahkah suratnya datang?"

perasaan saling memiliki pun semakin terkikis, seiring budaya malas tumbuh subur sebagai akibat peran teknologi yang mendominasi jaman. bayangkan, menulis surat butuh waktu dan pemikiran yang melibatkan perasaan saat menuangkan tulisan itu ke dalam selembar kertas. sementara, perasaan yang disampaikan lewat sebait pesan yang terbaca di layar ponsel atau monitor bisa begitu saja menguap, semudah menekan tombol "DELETE".
tak ada yang lebih indah, ketika tumbuh perasaan sabar menjalani sebuah proses kehidupan. seperti ketika mengirim surat. ada sebuah kerelaan mengikatkan diri ke dalam sebuah keintiman. menuliskannya, dan berharap dia membaca tak hanya dengan mata, tapi juga dengan mata hatinya. larut ke dalam perasaan haru biru si pengirim pesan.

lalu, saat menunggu surat itu tiba pada yang dituju, cukup pasrah dan ikhlaskan pada titah pak pos sebagai penyampai pesan. soal apakah akan tiba pada alamat yang dituju, dan bagaimana reaksi si penerima surat, ikhlaskan saja. toh, telah ada usaha untuk sampai pada titik itu.
seperti juga menjalani hidup, yang dibutuhkan hanya usaha dan doa. lalu bonus atas perasaan sabar menunggu adalah menerima berkah yang luar biasa. seluar biasa menerima surat cinta darimu, dear...

1 comment:

  1. Tulisan yang sangat menyentuh, mohon ijin sharing :)

    ReplyDelete