Tuesday, September 18, 2012

ideal itu...


"jangan cari ideal, karena ia selalu sembunyi dibalik punggung kesempurnaan..."
Ideal, dalam kamus besar bahasa indonesia diartikan sesuai dengan yang dicita-citakan, diangan-angankan atau dikehendaki. Sesuatu itu jelas mendekati sempurna. Namun sempurna yang seperti apa, jika yang sudah dipilih meski terlihat bagus, ternyata memiliki cacat (kekurangan).
Pernah suatu kali saya ditanya seorang teman, "kenapa sih milih rumah yang setiap berangkat pulang beraktivitas selalu harus ketemu macet?". Teman saya itu punya pendapat, harusnya lebih ideal mencari rumah yang tidak membuat kita jadi ribet, mesti bangun lebih pagi, masih harus dibarengi susah menghalau macet untuk sampai ke tempat beraktivitas, belum lagi pulangnya masih disuguhi macet serupa. "akumulasi stres di jalan tiap harinya itu apa ga jadi imbas masalah di rumah?," telisiknya.
Saya jelas kaget dengan pemikirannya, jika bukan karena teman baik, saya ngga bakal bersedia memberikan penjelasan panjang lebar. "Idealnya sih nyari rumah yang mau kemanapun dekat. Saya milih rumah di situ juga awalnya nggak mikir jauh dan macet yang kudu dihadapi tiap harinya. Tapi konsekuensi atas sesuatu yang sudah kita pilih adalah bertanggungjawab atas pilihan tersebut. Risiko jelas ada, tinggal bagaimana kita mensiasatinya, kok. Rumah yang saya pilih pada akhirnya tidak ideal, tapi membuat apa yang sudah dipilih itu nyaman dan aman, itu yang harus dipikirkan solusinya."
Tak perlu disebutkan panjang lebar bagaimana siasat jitunya, sampai sekarang pun kami masih terus belajar, menggali dan mencari solusi terbaik, kami nikmati saja apa yang sudah menjadi pilihan kami. Asal semuanya dibangun di atas kesepakatan bersama, saya pikir tak jadi masalah. Toh, tidak ada yang merasa dikalahkan atau dimenangkan. Sejatinya, kami hanya ingin membangun rumah tangga yang jelas, terarah, terencana di atas sistem yang benar. 
Perkara ideal atau tidak bahkan bisa merambah ke ranah lain, mulai dari pencarian sekolah ideal, menentukan berat tubuh ideal, hingga jumlah anak yang ideal, yang tentu saja di versi saya jelas berbeda di versi orang lain. Sama halnya dalam mencari pasangan hidup, acap kita dihadapkan pada pertanyaan "pasangan yang ideal itu seperti apa sih?"

Ideal sebenarnya tak pernah benar-benar ada. Setiap orang boleh memiliki keinginan, sesuatu yang ideal menurut versinya, tapi ideal yang mereka mau tentu akan bersentuhan dengan beberapa kendala. Kurang ini, kurang itu. Lantas, apakah ini masih bisa disebut ideal?

Ideal selalu mengikuti sempurna. Dan, kebanyakan orang lebih memilih terjebak pada tampilan yang ingin dibentuk "sempurna". Sesuatu tersebut jelas harus bersyarat, "harus begini, harus begitu...tidak boleh begitu, tidak boleh begini". But, nobody is perfect. Bahkan seseorang yang luar biasa pun tak pernah benar-benar luar biasa. Ia tetap pribadi yang biasa saja.

Pilihan baik atau buruk ada di tangan kita. Sama halnya dalam memilih pasangan. Jangan terlalu mudah berkompromi pada penilaian orang dan jangan cepat-cepat pula menurunkan standar. Jangan pula terlalu fokus pada kuantitas kelemahannya, tetapi pertimbangkan juga kualitas kekuatan yang dimilikinya.

Saat menemukan keburukannya, bertanyalah pada diri, "Seberapa buruknyakah dia?. Masihkah saya bisa bertoleransi pada sikap buruknya?. Asal jangan sampai keburukannya itu merusak aspek positif yang dimilikinya. Agar pepatah lama, "Karena nila setitik rusak susu sebelanga", tak pernah terjadi.

1 comment:

  1. hai maya....!!!klo boleh b'comment, pada prinsip klo menurut saya ideal adalah bagaimana kita bisa mensyukuri nikmat sembari berucap alhamdulillah,karena kalo kita mau telaah lagi masih banyak orang yang menderita dari kita

    kemudian bagaimana kita bisa menerima lalu mencari solusi dari masalah yang sedang kita hadapi, karena langkah atau keputusan yang kita ambil pasti ada konsekuensi yang harus kita hadapi, oleh sebab itu orang yang bijak adalah orang yang bisa memetakan masalah apa saja yang akan timbul dari keputusan yang ia ambil kemudian ia mampu menyelesaikannya dan kalo ia tidak mampu maka ia akan mencari langkah atau keputusan yang lain

    jadi menurut saya tolak ukur ideal jika kita bisa mencapai titik ketenangan hati

    ReplyDelete