Monday, November 26, 2012

dilema "konco wingking"

pagi itu berbeda dari pagi-pagi lalu. pekerja-pekerja pabrik kebanyakan wanita dan perempuan muda memenuhi angkot yang membawaku ke tujuan, tempat beraktivitas. berwajah layu, tubuh lesu, kesuh, mereka pulang selepas piket malam, sementara, berkebalikan denganku yang tampil segar dan wangi, diantar pagi siap menghadapi hari.
duduk bersama mereka di angkot yang sama, aku hanyut dalam curhat-curhat mereka tentang keseharian. cerita dan keluh kesah mereka mengalir bagai air, ditimpali deru mesin angkot yang bising, penghiburanku pagi itu. ironis, baru saja kudengar kabar protes serikat buruh terkait kenaikan UMR memenuhi headline berita televisi, sajian sarapan pagiku ditemani nasi goreng.

"habis ini mau ke pasar dulu, beli sarapan, pulangnya langsung tidur sebentar. jam sepuluh aku harus antar anak ke sekolah," beberapa kalimat yang terlontar di bibir mereka, lebih mirip seperti sebuah rutinitas keseharian. mungkin berat dan bosan dijalani, tapi harus.

merekalah yang bertahan menatap masa depan membawa semangat emansipasi Kartini. tuntutan ekonomi yang kian tinggi, aktualisasi diri, hingga membantu suami, adalah realita,  perjuangan tiada akhir. "saya pengen mandiri, ga tergantung sama suami dan keluarga. itulah kenapa saya rela bekerja di jam yang tidak ideal seperti ini," ujar Susiana, salah satu teman kerja, saat cakap-cakap santai dengannya beberapa hari lalu.

piket malam sebelumnya pernah dijalani Susi. dan bekerja di ruang redaksi - sebuah atmosfer pekerjaan yang tak pernah mengenal waktu, menjadi hal yang tak lagi mengagetkan baginya. Susi tak sendiri. ada aku, kamu, kita. tersebutlah kami yang ingin berdikari, mandiri secara ekonomi dan memilih bekerja di jam dan hari yang tak ideal. bekerja di hari libur, belum lagi jika panggilan tugas mendadak di tengah malam.

sementara, jiwa sudah menggedor-gedor diijinkan untuk tetap tinggal demi mengurus rumah, anak serta suami, namun apa daya kontribusi ditunggu di ladang tempat bekerja. berat memang menjadi mereka yang ingin tetap bekerja meski dirinya harus menerima dan menjalani takdirnya, sebagai istri, dan ibu bagi anak-anaknya.

"saya harus merelakan anak-anak tak mendapat pelukan saya saat tengah malam, menemani mereka mengerjakan PR atau sekedar bermain dengan mereka. saya benar-benar merasa jadi ibu yang jahat, tapi saya harus menjalani ini. bekerja melawan kantuk yang berat, di udara malam yang dingin demi masa depan mereka. juga membantu suami mengepulkan asap dapur kami," ungkap Ella, tetangga seberang perumahan, yang seorang bidan di sebuah rumah sakit bersalin di kota Semarang.

I love everything about my job, except being away from the kids. ungkap Dave Grohl - frontman Foo Fighters. bahkan, seorang ayah benci jika ia jauh dari anak-anaknya. terlebih ibu, yang menanti hadirnya sang buah hati ke dunia lalu harus ikhlas melepas kembali bekerja sementara air susunya belum kering. lantas ia terkaget-kaget sendiri saat si anak mulai berjalan, bicara dan protes keras saat mamanya tak bisa hadir menemaninya bermain karena harus bekerja di hari libur.

bekerja adalah passion, sesuatu yang menyenangkan. sebuah aktualisasi diri. namun saat dibenturkan dengan norma yang memagari dan takdir yang harus dijalani, kebencian akan diri sendiri karena tidak bisa sepenuhnya bisa hadir untuk keluarga, terlebih untuk anak adalah siksaan.

menjadi ibu dan istri adalah kodrat dan takdir wanita. sementara menjadi pekerja adalah pilihan mereka selanjutnya. "jalani jika memang masih ingin, meski itu berarti sepaket dengan risiko dan konsekuensi yang harus kamu terima," pesan mama padaku.

lantas, berapa yang harus diganti untuk membayar yang telah hilang bersama waktu dan pengabdian pada dunia yang telah memberi banyak kesempatan untuk belajar dan bekerja di luar sana?
"bangun lebih pagi, memasak untuk keluarga, menyuapi dan memandikan si kecil, merapikan rumah lalu mengantar si sulung berangkat ke sekolah, dilanjut sore menemani si sulung mengerjakan PR, menyetrika di malam hari dan menidurkan si kecil..." hanya sebagian kecil saja dari yang bisa kulakukan untuk mengganti hadirku saat mereka membutuhkan aku. namun jauh di dasar hati, aku ada untuk mereka.  "suatu saat nanti, nak...ada banyak hari untuk kita bersama..." bisikku.
ya, pada akhirnya memang tak pernah ada yang sempurna, sebuah pilihan indahpun mendatangkan konsekuensinya. seorang perempuan hanya menjalankan kodratnya sebagaimana titah alam. terlahir ke dunia, menjelma menjadi wanita dewasa, menikah lalu memiliki anak. bekerja sebagai keinginannya agar ia tak selamanya menjadi "konco wingking" suami adalah cita-cita dan pilihan.


No comments:

Post a Comment