Saturday, November 03, 2012

Seni Lukis Bak Truk, Antara Sindiran dan Teguran


"Putus cinta sudah biasa, putus rokok merana, putus rem...matilah kita"

Tulisan ini sudah mirip rambu-rambu berjalan, mengingatkan kita untuk selalu hati-hati berkendara. Inilah seni yang ingin dipertunjukkan pelukis bak truk, sebuah perwujudan ekspresi diri secara bebas di ruang publik. Di jalanan.

Ya, ekspresi diri tak hanya terbatas dituangkan ke dalam bentuk karya musik, tulisan atau lukisan di media kanvas. Di tembok, dan di belakang bak truk pun seni lukis itu terlihat.
Budaya masyarakat pedesaan yang tinggal di kota dan menghadapi problematika kehidupan kota yang kejam ditengarai sebagai penyebab munculnya peradaban seni urban.
Seni itu melebur, menjelma ke dalam wujud street art (murral, grafitti) di sudut-sudut kota. Dan, satu yang menarik adalah seni lukis yang kerap terlihat di bagian belakang bak truk, di sepanjang jalan Pantura.

Seperti kita tahu, lukisan di belakang bak truk sedikit banyak dipengaruhi sikap dan gaya hidup para sopir dan kernet truk yang terbiasa menjalani hari-harinya di jalanan. 

Potret kehidupan itu digambarkan mereka begitu jujur. Bahwa kehidupan mereka keras, hanya berbekal pendidikan rendah, pasrah terhimpit beban ekonomi, dan perempuan sebagai objek seksual adalah makanan sehari-hari.

Lukisan di bak truk sejatinya menampilkan pula tema keseharian masyarakat perkotaan dalam menghadapi permasalahan hidup, pun memuat isu-isu seputar ekonomi, budaya, sosial dan politik.

Photo by archav.blogspot.com

Salah satunya tema poligami yang masih jadi topik menyenangkan untuk dibahas. Jamak, mencerca keputusan memadu namun bersedia melakoni diam-diam. Pun, mengulik kehidupan janda yang masih dipersepsikan negatif oleh masyarakat.
Pesan disampaikan dengan kalimat bernada lucu, santai, menggelitik namun langsung tepat sasaran. Tanpa tedeng aling-aling. Tak jarang, pelukis bak truk menyelipkan pula filosofi dan motivasi diri. "ada uang abang disayang, tak ada uang abang kena tendang", atau "roda macet ora ngliwet" .
Siapapun yang membaca boleh tersenyum, tersinggung dalam hati karena tersindir, atau tertawa lepas dan cukup menjadikan pesan berjalan itu sebagai pengingatan ke diri sendiri.

Perempuan dalam Lukisan Bak Truk

Lukisan bak truk tak bisa dilepaskan begitu saja dengan sosok perempuan. Di saat wanita Indonesia di jaman ini tengah memperjuangkan emansipasi, lukisan bak truk justru menjadikan perempuan sebagai makhluk kelas dua setelah laki-laki.

Bahkan, tak jarang lukisan bak truk menampilkan wanita yang terbagi dalam kasta. Wanita "baik-baik" dan wanita penggoda. Wanita penggoda di sini diklasifikasikan ke dalam dua kategori, janda dan Pekerja Seks Komersil (PSK).
Perilaku seks bebas tak dipungkiri kerap terjadi di kalangan supir truk. Kehidupan jalanan yang keras, jauh dari istri, sementara keinginan seksual yang begitu besar membuat mereka kerap melakukan rendezvous dengan Pekerja Seks Komersil (PSK) yang mereka jumpai di warung remang-remang di sepanjang jalan yang dilewati.
Tak perlu bingung, toh ada ruang sempit di belakang kemudi, atau di dalam bak truk - tempat yang bagi mereka adalah surga sesaat melepas hasrat untuk mendapat nikmat. Perilaku inilah yang lalu mereka ekspresikan ke dalam bentuk lukisan perempuan seksi.

Wujud sosok wanita setengah telanjang dengan pose menantang, serta pesan bertuliskan huruf kapital  di atasnya "Kutunggu jandamu" dalam seni lukis bak truk inipula yang secara tidak langsung sebenarnya telah menghakimi wanita berstatus istri orang lain, yang gemar menggoda pria, sebagai wanita yang perlu diwaspadai. Hanya pantas menjadi sekedar keset. Cukup ditinggalkan di luar, karena kotor yang terbawa dari luar tak boleh di bawa masuk ke dalam rumah.

Ya, wanita "tidak baik-baik" memang tak selalu mendapat tempat di hati masyarakat, bahkan sosoknya harus puas, cukup jadi pajangan di belakang bak truk. Imbas dari stigma yang telanjur melekat di benak masyarakat. Menjadi sebuah pemakluman dan pembenaran saat dituangkan dalam bentuk seni yang bisa dinikmati siapapun. Dari kelas kasta tertinggi hingga terendah sekalipun.
Inilah seni, bisa begitu kejam. Mengingat apresiasi masyarakat terhadap sebuah karya tak bisa diganggu gugat. Penikmat seni sah-sah saja menjadi bagian dari tim juri. Mengkritisi, bahkan menyetujui apa yang telah mewujud menjadi karya. Pun, jika seni itu serupa lukisan di bak truk.

No comments:

Post a Comment