Sunday, November 30, 2014

mari mengantri

entah bumbu apa yang dimasukkan ke dalam wajan besar itu hingga banyak pembeli rela antri demi mencicip hangatnya sepiring nasi goreng "pak Karmin" di hawa dingin di tengah derasnya hujan, sore itu.

aku salah satu dari para pengantri itu. ada banyak pesanan nasi goreng dari setiap meja di warung itu. itu berarti pak Karmin harus hapal pesanan disetiap meja. sementara itu, aku memilih memesan nasi goreng telur, dengan rasa pedas yang cukupan.

pak Karmin hebat, batinku. ia tak perlu bersekolah tinggi-tinggi untuk bisa melayani pesanan cepat saji yang mengantri di warungnya setiap hari. wajah pelanggan lama barangkali sudah melekat di memori. barangkali ia masih hapal bapak yang itu biasa beli nasi goreng babat tanpa iso, sementara ibu yang ini lebih suka nasi gorengnya super pedas. 'chaos' dalam antrian pembeli di warung pak Karmin pun tak pernah terjadi. penjualnya cerdas, pelanggannya puas.

pak Karmin mungkin tak tahu bahwasanya ia tengah mengaplikasikan ilmu FIFO (First In First Out). sebuah formula paten. siapapun yang datang pertama, dia yang dilayani terlebih dulu. dan siapapun yang terakhir datang siap-siap diuji kesabarannya. sabar akan rasa lapar, sabar akan rasa terdesak berbagai kepentingan. sabar akan masalah yang datang. 
ya, siapapun ingin jadi yang pertama dilayani, tapi mungkin dibenaknya ada rasa malas mengantri. karena sistem yang telanjur buruk dan borok tak juga sembuh di hampir semua pelayanan publik. rakyat gerah, terbakar amarah. menggebrak meja karena masalah birokrasi rumit, berbelit. yang terkapar tak tertolong, yang punya kuasa melenggang senang.


lantas, adakah rasa nyamanmu diserobot si rakus yang malas mengantri? berharap jadi yang pertama, tapi menghalalkan berbagai cara untuk sampai di barisan paling depan. pemandangan yang jamak terlihat dalam antrian bantuan bagi warga miskin. nomor antrian entah sengaja atau tidak, ditiadakan. menyisakan tatapan memohon warga tua renta tak berdaya yang terhimpit di tengah desakan tubuh-tubuh yang semuanya menaruh harap dari selembar kartu BLSM.

belum lagi disuguhi masalah tak berkesudahan. di hampir setiap ruas jalan di ibu kota, yang terlihat hanya antrian kendaraan mengular panjang dalam drama kemacetan yang setiap hari terjadi. mesin berjalan terus menderu, dan asapnya menyisakan emisi CO2 memenuhi udara di semesta yang makin pengap ini. antrian macet yang tak kunjung menemukan solusi.

selalu ada sebaiknya, tapi jarang aku menemukan solusi pastinya. jalanan diperlebar, atau haruskah pajak kendaraan ditinggikan supaya orang pikir-pikir membeli kendaraan. bagaimana dengan ide mobil murah di negara yang katanya miskin ini? aku tak sanggup membayangkan setiap hari orang harus rajin mengantri.

tapi ini realitanya. mengantri memang harus terjadi. sama halnya mimpi-mimpi yang antri minta diwujudkan. "waktu tak akan pernah kembali, jadi lakukan apa yang bisa kamu lakukan hari ini. menunda apa yang bisa dikerjakan sekarang, sama saja menumpuk masalah, dan itu berarti akan ada beban antrian di kepalamu. siap-siap saja meledak," pesan si bijak.

ya, masalah - antrian wajib diselesaikan yang memenuhi pikiran setiap orang. dan yang masalahnya tak kunjung habis lalu pantas berteriak "bosan hidup. capek aku!". sepertinya ada yang perlu membisikinya, "kalau mau hidup, ya kamu harus mau terima masalah, tapi kalau pengen masalahmu selesai, ya mati saja."

penggalan pesan "i'm number one, so why try harder," yang mengudara dan memenuhi ruang kepalaku pagi ini memang sungguh naif, tapi bisa jadi benar. "jadi nomor satu, itu berarti tak perlu repot mengantri. ingin jadi nomor satu? belajar disiplin waktu, kelak membantu(mu) mengatasi masalah lebih dini"

jadi, sudahkah kamu belajar mengantri hari ini?

No comments:

Post a Comment