Friday, June 08, 2012

semoga, kekasih..

mendekapmu terlalu erat, berharap tak ada perpisahan, rasanya terlalu egois jika aku melakukan itu semua. sedang jauh disana, seseorang tengah menantimu, meski dia pernah menyakiti perasaanmu.

"aku terluka saat itu," Adit nanar menatap laut, lukisan semesta yang kerap ia kunjungi bersama Gita, sekedar menikmati magic hour, sebuah keindahan senja di tengah samudra.

"dan kamu mengganggapku bisa menyembuhkan lukamu?" Gita bukan sedang tengah membangun rasa percaya dirinya, ada ragu menyelip, mengusik kenangannya dulu bersama Aditya Wiguna, kawan karibnya, saat berada dalam satu tim project kantor.

keakraban antara ia dan Adit semakin membuka jalan keduanya saling menangkap sinyal dan getar debar yang semakin kuat mereka rasakan. namun, waktu memang tak pernah bisa dibeli apalagi dimengerti. hari ini indah, tapi belum tentu esok. ada perih, pedih yang juga dikecapnya. luka itu selalu kembali menganga, manakala membaca takdir, dan nyata-nyata keduanya tak bisa melawan takdir itu.

"entahlah, aku bahagia bersamamu, itu saja," Gita tak menyukai jawaban Adit. bahagia yang seperti apa jika sadarnya adalah menyakiti hati dua perempuan sekaligus. ia dan Dara, istri Adit.

"sepertinya kamu hanya akan menambah luka baru, Dit," sayu mata Gita, memancar lelah yang mendera. seonggok duri di tengah perjalanan, kerap mereka temui. "aku menyukai ketabahanmu dulu yang bersedia menunggu" Adit menyentuh rambut Gita yang menutupi wajah ayunya. "oh, seandainya saja..waktuku saat itu lebih cepat untuk menemukanmu lebih dulu.." Adit menghela napas, ruang dadanya terasa begitu sesak.

apa lagi yang bisa mereka berikan satu sama lain selain penghiburan. cinta mereka begitu sederhana, meski bisa jadi begitu rumit. tak hanya butuh emosi yang stabil, Gita dan Adit juga tak bisa abai begitu saja pada logika. meski rasa itu begitu kuat membelenggu jiwa, kenyataanlah yang tak bisa membawa mereka kemana-mana. sadar mereka, kisah yang terjalin ini bisa saja berakhir menyedihkan. atau bisakah berakhir membahagiakan? entahlah!

hingga tiba di satu titik terendah, seperti menaiki rollercoaster dan tiba pada turunan. Gita mulai merasa nyalinya menciut.

"aku lelah, Dit," saat ini kebahagiaan itu terasa tak lagi penting bagi Gita. ia merasa hanya berputar-putar, timpang, bimbang dan merasa pusing saat kakinya menjejak di semesta milik Adit.

apa perlu umbar kata cinta, kecuali kenyaatan pahit yang begitu manis itu ingin mereka perlihatkan pada dunia. dan akhirnya menjadi mafia adalah jalan yang mereka pilih. menyembunyikan cinta mereka di ranah bawah tanah, dan entah kapan punya masa untuk merambati permukaan yang cukup terjal. butuh usaha berpeluh keluh mencapai puncaknya.

pertemuan keduanya pun harus tersusun begitu rapi. "maklumi aku ya. ada dia yang ingin kuabaikan tapi aku tak bisa, sayang." atas nama tanggungjawab menjaga tautan pernikahannya, Gita rela melihat Adit dan istrinya bahagia. ya, mengalah, meski ia tahu tak akan pernah menang.

"aku kan hanya tukang antar jemput paket, Git," status yang lebih hebat untuk seorang Adit, daripada seorang suami yang punya harga diri, namun sama sekali tak pernah dianggap oleh wanita yang ia pilih menjadi istri itu.

cukup saling bertukar sinyal, begitulah dua makhluk yang saling mencinta itu mulai mirip alien. punya tentakel diatas kepala yang akan menyala terang jika keduanya akan bertemu. selintas lalu Gita mengingat pesan Adit yang membuatnya tiba-tiba getir.

"simpan semuanya dengan rapi, atau cinta ini akan terkikis habis seiring dunia tahu dan mengecam kita, sayang,"

hingga suatu kali Gita harus menerima keluhan, saat sinyal Adit salah ditangkap dengan baik. "bagaimana bisa aku bahagia, Dit, kalau dengusanmu itu semakin banyak padaku. kamu seperti meminta yang tak bisa aku berikan. maaf, aku memang bukan pembaca pesan yang baik, jadi tolonglah harap mengerti" Gita ingat betul, saat itu ia harus mengikuti skenario Adit, mengajak bertemu untuk sekedar merapat bersama.

istilah merapat yang lalu menjadi kode mereka akan beruang bersama, sekedar mengais waktu yang tersisa untuk mereka nikmati sama-sama. membagi kangen, membagi mimpi, cerita bahkan pemikiran mereka tentang banyak hal. brainstorming di tengah siang, sembari memadu cinta, mengentaskan gairah.

Gita tak bisa membaca rencana Adit, ia terus bertanya. Adit merasa Gita pura-pura tidak tahu tapi mencecarnya dengan banyak pertanyaan. "berhentilah bertanya, sayang. duduk dan nikmati saja skenario kita keluar dari sarang persembunyian ini."

pemikiran-pemikiran Gita yang dulu membuat Adit terpukau menguap entah kemana. kini ia tak lebih seperti kerbau bodoh yang harus menuruti perintah tuannya. "inikah yang kamu inginkan, memenjaraku dengan ego dan membungkam cinta yang ingin aku teriakkan lantang ke udara bahwa aku mencintaimu, Dit" Gita diam, terpekur membeku. "..dan semakin lama, aku tak lagi merasakan bahagia itu. cintamu tak lagi sederhana, kau tahu?" suara Gita terdengar lirih, hampir tak terdengar.

pengakuan Gita serasa bagai bom waktu yang telah disimpan lama, dan kini pemicunya telah ditarik dengan sempurna. meledak tepat mengenai hati Adit, menghamburkan berjuta partikel yang siap merajam, membekap jantungnya hingga terasa napasnya tersengal, berat. dan wanita di hadapannya itu kini memilih menghindar dari tatapan sedih Adit.

"maafkan aku, sayang, aku telah kasar dan melukai perasaanmu" Adit tak kuasa melawan takdirnya. sadar ia dan Gita terikat erat dengan norma, status dan lingkungan sosial yang memagari keduanya, hingga tak bisa leluasa saling menyentuh. cinta yang mereka redam semakin lama merajam hati, dan kini melukai Gita  dengan sempurna.

Gita tak pernah tahu, atau mungkin Gita tak pernah peka pada perasaan Adit. sejujurnya, Adit merasakan yang sama. ada cemburu yang membelenggu, namun Adit rela disiksa rasa itu. "kabar baik tentang dia yang masih begitu perhatian padamu adalah obat. meski begitu pahit aku menelannya. tapi senyatanya aku perlu turut bahagia untukmu, sayang," Adit tetap mencari sepasang mata itu yang terus menghindar dari tatapannya.

"aku mungkin tak akan pernah bisa memilikimu, Gita. namun jika kau tanyakan sebesar apakah hatiku padamu, maka jawabnya adalah sebesar cinta itu sendiri. ialah yang mampu menampung segala rasa yang aku miliki padamu," Gita seperti tengah mendengar suara hati kekasihnya, begitu nyata terbaca telinga. wajahnya mendongak, menatap dalam mata hitam Adit, dan menemukan ketulusan itu disana.

"aku tahu kamu telah lelah dengan semua ini, maafkan aku.." Adit membelai rambut coklat Gita, menyunggingkan seulas senyum.

"lalu, apa yang bisa membuat kita bisa bertahan dengan semua ini, Dit?"

"bebaskan cinta kita, sebebas-bebasnya..pada saatnya nanti ia akan kembali memenuhi jiwa kita dengan semangat dan asa yang dibawanya serta. tahan kangen itu, dan suatu saat biarkan kangen itu menguasai hati kita. believe me, dear, kangen yang kutahan padamu inilah yang selalu sanggup membuatku terikat, tertaut hati padamu."

"ya, padamu Gita Karisma, istriku..semoga, suatu saat nanti, sayang..." kini Adit mendengar sendiri suara hatinya berkata.

Gita masih menatap Adit yang memandangnya penuh arti, mencari kekuatan pada sepasang mata itu "entah kapan cinta ini akan berlabuh pada dermaga yang kita tuju, sayang..semoga ketabahan ini tetap kita miliki hingga saatnya kita menciptakan takdir kita sendiri..semoga.." begitu lirih suara hatinya, namun menyelipkan jutaan asa



kilau langit senja di tengah gelombang samudra ditingkahi suara camar melintasi lautan, jadi saksi pertautan cinta mereka. entah sampai kapan.

*just my imagination


No comments:

Post a Comment