Thursday, December 12, 2013

Kekuasaan Versus Seksualitas

Oleh Er Maya

Pelecehan seksual (sexual harassment) memang belum lama populer di kalangan masyarakat Indonesia, meski istilah tersebut sebenarnya telah ada sejak pertengahan tahun 70-an.

Munculnya istilah ini barulah marak seiring dengan kesadaran kaum wanita akan hak dan derajatnya. Hal ini karena masalah pelecehan seksual tidak dapat dipisahkan dari masalah diskriminasi gender.

Kini, kasus pelecehan seksual melanda berbagai tempat. Tak lagi sekedar terjadi di ruang publik seperti di bus kota, mal, pasar, dan sekolah namun telah merambah juga hingga ke ranah kantor.

Mita (nama samaran), wanita usia 30 tahun itu adalah salah satu korban pelecehan seksual yang dilakukan rekan sekerjanya di kantor. "saat rehat di ruang kubikal salah satu teman, tiba-tiba salah satu rekan kerja saya memancing pembicaraan ke arah tema seksual, dan tanpa alasan yang jelas pula, dia menyindir saya dengan sebutan "si maniak seks"

Bukan perlakuan "colek pantat" atau "remas dada", seperti kebanyakan pelecehan seksual terjadi pada kaum wanita, namun bagi Mita, perkataan rekan kerjanya itu sudah begitu menyakitkan, "masih susah lupa jika mengingat perkataannya, mbak" ungkap Mitha kepada CyberNews.

Meski hanya sebatas sebuah guyon maton asal kumpul antar rekan seprofesi, namun sebuah sindiran dan kata-kata serta sikap yang bersifat seksual bisa berdampak pada rasa tidak nyaman yang tercipta di lingkungan kantor.

Tipe pelecehan ini lebih dikenal dengan sebutan "lingkungan tak ramah", dimana tak hanya sekedar melibatkan interaksi atasan dan bawahan tetapi juga antar rekan kerja.

Kekuasaan versus seksualitas

Ya, ketika seseorang dengan segala kekuatan dan kekuasaannya sanggup berbuat apa saja, maka ia bisa "menekan" orang lain sesuka hati, termasuk dalam hal ini terkait seks. Tak heran jika 'penekanan' atas dasar kekuasaan inilah yang lalu merangsang terjadinya banyak kasus pelecehan seksual.

Sayang, meski spirit emansipasi terus disebarkan ke seluruh negeri, namun ternyata belum mampu menghapuskan ketimpangan yang begitu kentara antara kaum pria dan wanita.

Ketidaksetaraan ekonomi serta pandangan seksis yang meluas di masyarakat memicu pembenaran kaum pria sebagai kaum penuh kuasa untuk bisa berbuat apa saja terhadap wanita. Pandangan umum inilah yang lalu ditafsirkan salah oleh mereka, bahwa tubuh perempuan adalah objek yang memuaskan, dipandang boleh, disentuhpun oke.

Jarang terungkap

Meski ada juga kaum pria yang mengalami kasus pelecehan seksual, namun tak sebanyak yang terjadi pada kaum wanita. Hal ini terungkap pada penelitian Gutek dalam Unger dan Crawford tahun 1992, menyimpulkan bahwa wanita lebih banyak (53%) mengalami pelecehan seksual daripada lelaki (35%).

Namun, kebanyakan kasus pelecehan seksual yang terjadi jarang terungkap. Sebagian korban lebih memilih pasrah dan bersikap diam (ignore or did nothing, lima reaksi Pelecehan Seksual oleh Johnson, 1982). Masih adanya ketergantungan ekonomi di tempat bekerja, membuat korban lebih memilih diam sebagai konsekuensi demi mempertahankan pekerjaan yang dimilikinya saat ini.

Tentu jika hanya dengan diam saja, ini tak akan memberi efek jera bagi pelakunya. Perlu adanya investigasi secara menyeluruh terhadap kasus pelecehan seksual dan investigasi harus bersifat rahasia untuk mencegah karyawan mengetahui seluruh cerita yang berkembang. Ini dilakukan untuk menjaga privasi pelaku dan korbannya.

Merambah seluruh negeri

Kasus pelecehan seksual memang telah memasuki tingkat berbahaya di lingkungan kerja. Dari hasil jajak pendapat antara Reuters dengan Ipsos, didapat angka mengejutkan. Satu dari sepuluh karyawati pernah mengalami pelecehan seksual baik sesama rekan kerja atau majikannya.

Tak hanya di Indonesia, sebanyak 12 ribu responden di 24 negara juga ikut disurvei. Diperoleh laporan lebih dari 26 persen karyawati di India pernah mengalami sexual harassment. Peringkat kedua ditempati Cina dengan 18 persen, Arab Saydi 16 persen, Meksiko 13 persen dan Afrika Selatan 10 persen.

Amerika Serikat sendiri mendata sebanyak 8 persen pekerjanya terdorong melaporkan pelecehan seksual yang dilakukan seniornya. Yang cukup mengagetkan, beberapa kasus pelecehan seksual melibatkan beberapa profil-profil figur publik. Hm, sebuah pembuktian bahwa kuasa tak selamanya bisa menekan orang lain di banyak sisi, tak hanya menyoal harga diri korban namun juga harga diri pelakunya.

Sebagai contoh, CEO Hewlett-Packard, Mark Hurd, akhirnya pilih mengundurkan diri pekan lalu di tengah penyelidikan mengenai berbagai klaim pelecehan seksual yang ditujukan kepadanya, sedang Mark McInnes, mantan CEO kelas atas pengecer Australia David Jones, berhenti pada bulan Juni setelah mengakui perilaku tidak pantas pada anggota staf perempuan.

* sebuah repost

1 comment:

  1. may, banyak karya tulismu di luar blog ini...sukses selalu

    ReplyDelete