Wednesday, December 04, 2013

Sepanjang Jalan Kampung Kenangan

sejak harus berpindah-pindah kantor, menjalani adaptasi bukan lagi hal baru bagiku. bukankah hidup memang akan selalu mengalami perputarannya, dan aku mencoba nyaman berada dalam pusaran itu.

mengeluh pun tak ada guna, aku menjalani saja apa yang ada. seperti pulang bekerja dengan menempuh jarak yang sedikit agak jauh untuk mencapai shelter BRT, aku menikmatinya. kubayangkan saja rasa itu sama seperti 20 tahun lalu.

saat masih berseragam putih biru, berjalan pulang sekolah di sepanjang jalan Gajahmada dan lalu menyetop angkot yang membawaku pulang ke rumah. sekarangpun sama, melewati jalan Pierre Tendean dan memotong jalan masuk kampung kecil yang menjadi jalan pintas Pierre Tendean menuju Pemuda. sendirian saja, tak apa. sudah biasa.

bisa jadi mungkin akulah orang yang paling rutin terlihat melewati gang kecil itu di tengah sepi dan suramnya kampung yang seakan tak berpenghuni ini.

aku memang takut Tuhan, dan siap mati. tapi jika ada tombol option saat malaikat pencabut nyawa datang padaku, aku tak mau mati dalam kondisi dibunuh. seseram itu aku membayangkan seseorang tak dikenal di ujung gang sepi menghadangku dan mengeluarkan senjata tajam. ia mungkin saja akan melakukan tindakan penganiyaaan karena memanfaatkan sepinya keadaan.

namun, tak sekedar suram, kampung yang diapit antara Hotel Novotel dengan gedung bioskop tua, "Semarang Theater" itu menyimpan kenangan indah seorang teman bersama kekasihnya. "sepanjang jalan kampung kenangan", bolehlah diberi judul seperti itu.

cintanya masih meranum waktu itu, dan di gang sepi inilah sang kekasih pernah membuatnya kaget bercampur senang karena dicium diam-diam. "wajahku sudah mirip kepiting rebus saking merahnya," katanya. maklumi saja, cinta keduanya memang tak biasa, jadi waktu yang sempit dan kondisi yang serba terbatas pun selayaknya tiket menuju bahagia.

namun, tak seperti namanya, Basahan, kampung ini nyatanya telihat kering. tak ada geliat kehidupan yang kentara di sana. sejak tergerus kapitalisme, penduduk asli kampung Basahan memilih tergusur keluar kampung. kalaupun ada aktivitas, kini hanya sliwar-sliwer pengendara sepeda motor yang mencari jalan pintas, atau tukang becak dan gelandangan yang mandi dan beristirahat

memang, di kampung yang terletak di kelurahan Sekayu, Semarang Tengah atau jalan Bojong (sekarang Jalan Pemuda) ini memiliki juga sebuah sumur tua yang tampak di depan rumah salah seorang warga. konon, sumur tua itu sering digunakan beberapa pemulung untuk sekedar membersihkan diri.

ya, sebuah realita, di antara himpitan gedung-gedung yang makin angkuh menjangkau langit, kampung kecil dengan panjang 75 meter dan lebar 1.5 meter itu menyisakan kisah dan sejarahnya sendiri. bagi penduduk aslinya, bagi aku, temanku dan siapapun yang memanfaatkan jalan pintas itu.

yang terserak dari kenangan gang ini adalah ia ada meski hadirnya sekedar penggembira. di tengah hingar bingar kota, di tengah kejamnya kapitalisme, onggokan sejarah nyatanya tak akan bisa dilawan. kampung ini akan tetap ada meski seluruh warganya hilang ditelan jaman.

dan dengan senang hati aku ingin tetap setia menjadi penikmat sejarah kampung kecil itu. karena hanya dengan melewatinya, aku masih akan terus mengenang hadirnya. seperti ungkapan bijak seorang teman, "ingatlah masa lalu, maka kamu berhak akan masa depan". dan, meski hanya serupa jalan pintas, kampung Basahan adalah jalan kenangan menuju masa depan.


 *sebuah renote from mukabuku, January 21, 2013 at 2:55pm






No comments:

Post a Comment