Thursday, December 12, 2013

Ketika Emansipasi Tak Seindah Cita-cita Kartini

Oleh Er Maya

SIAPAPUN tak pernah ingin menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), tak terkecuali wanita. Namun kasus KDRT yang terjadi masih saja menempatkan wanita sebagai korbannya.

Emansipasi memang masih terus didengungkan, ketika wanita harus bisa berdiri sejajar dengan pria dalam segala bidang kehidupan. Namun gemanya ternyata tak seindah cita-cita Kartini, dimana pria masih tetap menunjukkan ego dan kekuatannya dalam hal kekerasan terhadap perempuan.

Seperti yang dilansir CyberNews dari Legal Resources Center - Keadilan Jender dan HAM (LRC-KJHAM) diperoleh data, jumlah kasus KDRT dari bulan November 2009 hingga Oktober 2010 memiliki modus yang tidak jauh berbeda, namun dengan tingkat intensitas kejahatan yang jauh lebih tinggi. Hal ini terlihat dari beragamnya alat kejahatan yang digunakan pelaku dalam melukai korbannya.

KDRT, Dominasi Wanita?

Lantas, bagaimana dengan kasus tiga orang suami warga Kabupaten Malang, Jawa Timur, yang melaporkan istrinya masing-masing ke Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Pemkab setempat, karena merasa mengalami siksaan psikis?

Suami yang melaporkan istrinya dalam kasus KDRT memanglah hal yang langka. Karena sejak diresmikan Januari 2001, belum ada satupun laporan KDRT yang berasal dari pihak suami. Hal tersebut diungkapkan Dra Kamti Astuti, Kepala KPPPA Kabupaten Malang kepada CyberNews.

Jumlahnya yang hanya sedikit dari sekian banyak kasus KDRT adalah sebuah realita, wanita tak melulu dianggap sebagai makhluk lemah namun bisa juga menunjukkan kekuatannya dengan mendominasi.

Permasalahan ekonomi ditengarai muncul sebagai penyebabnya. Perbedaan penghasilan antara suami dan istri, dimana istri memiliki pendapatan jauh lebih tinggi akhirnya menimbulkan ketimpangan yang terjadi dalam rumah tangga. Istri dengan segala kekuatannya menganggap suaminya lemah, dan suami yang tak lagi betah merasa diinjak-injak harga dirinya akhirnya pilih melapor.

Dalam keadaan seperti itu, sebetulnya suami belum tentu dinilai mengalami KDRT, dalam arti kekerasan fisik. Harga dirinya yang merasa diinjak-injak oleh istrinya yang lebhi mandiri, tentu membuatnya sakit secara psikis, bukan fisik.

"Jadi, kasus di Malang itu sebetulnya KDRT secara psikis," jelas Psikolog pernikahan Fenny Listiana SPsi Msi. KDRT psikis tidak bisa dilihat dengan kasat mata. Sedangkan KDRT fisik bisa terlihat, misalnya adanya bekas pemukulan oleh suami atau istri.

Fenny justru menilai, munculnya laporan KDRT oleh suami sebagai suatu perkembangan yang bagus. Ini mencerminkan mulai adanya kesimbangan antara laki-laki dan perempuan dalam mencari keadilan terkait KDRT.

Pembelaan diri

Namun, ditengah dominasi wanita mengendalikan pria, kasus KDRT yang melibatkan wanita sebagai korbannya masih tetap besar, seperti diungkap Irene dari staf Pusat Informasi dan Dokumentasi dari LRC-KJHAM. Ia mencontohkan wanita yang dilaporkan menjadi pelaku KDRT, biasanya sebelumnya juga pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suaminya.

"Ya, seperti bentuk pembelaan diri, ketika ada kesempatan menjadi besar dan kuat, mereka lalu berusaha melawan, demi melindungi diri," tambahnya.

Lalu kemana para korban KDRT lari dari masalah ini? Karena memang bukanlah hal mudah, ketika nyawa sudah mulai terancam tak ada tempat yang aman untuk berlindung. Terbitnya UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), diharapkan bisa melindungi wanita dari segala tindak kekerasan yang dialaminya.

Dari laporan LRC-KJHAM, kebanyakan "mitra" (sebutan untuk para korban KDRT) datang sendiri untuk melaporkan kekerasan yang dihadapi, namun ada juga mitra yang dibawa keluarga atau atas rujukan dari layanan masyarakat lain. "Harapan kami, kehadiran kami ini bisa memberikan rasa nyaman untuk mereka", ujar Irene.

Merangkul "mitra"

Pengadaan shelter (rumah aman) tentunya bisa memberikan tempat yang netral bagi para mitra agar bisa menetramkan batin dan memulihkan kondisi mental yang pastinya berguncang hebat. Selain itu, shelter ini juga akan menjadi tempat berkumpulnya para mitra, untuk saling berbagi dan menguatkan.

"Awalnya pengadaan shelter dilakukan secara independen oleh kami, namun kemudian mendapat kucuran dari Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan KB, dan sekarang setiap ada mitra yang datang kepada kami, langsung kami bawa ke shelter yang sengaja kami rahasiakan alamatnya," ungkapnya.

Pengadaan shelter ini berfungsi untuk mencegah adanya pengaruh dari luar sehingga mengganggu stabilitas kejiwaan sang mitra yang sedang dalam kondisi tertekan. Biasanya mitra akan ditempatkan di shelter, maksimal selama 6 bulan.

Tak hanya menyediakan shelter, pendampingan juga dilakukan dengan menyediakan divisi bantuan hukum secara gratis. Tugas pendamping ini tentunya mendampingi mitra saat menjalani persidangan terkait kasus yang dialaminya.

Namun Irene menegaskan, divisi bantuan hukum ini tetap menggunakan asas pemberdayaan korban. "Artinya, korban jangan sampai tergantung kepada kami, karena tugas lembaga ini sekedar mendampingi", jelasnya.

Setiap mitra yang datang 'mengadu' secara otomatis telah masuk ke dalam support group. Ada agenda rutin yang dilakukan setiap bulannya, "para mitra akan bertemu untuk melakukan konseling, pengenalan karakter, latihan ketrampilan hingga mengkritisi apapun yang berdampak pada perempuan," jelas Irene.

"Pada dasarnya, kami membantu menyuarakan aspirasi mereka", tambahnya. Karenanya ada latihan untuk pengembangan diri sehingga mereka tampil berani, menyuarakan keluhan dan aspirasi mereka saat orasi dan aksi-aksi yang dilakukan terkait aksi aktivis perempuan.

Full-Timer

Tak hanya sekedar sembuh dari tekanan mental yang mendera, para mitra yang berhasil atau berdaya, artinya mereka sudah keluar dari ketergantungan dalam hal ekonomi, psikologi dan sudah terbebas dari masalah hukum terkait kasus KDRT yang menimpanya, bisa ditunjuk sebagai full-timer.

Irene menjelaskan, saat ini sudah ada tiga full-timer yang dikirim ke Pusat Pelayanan Terpadu yang tersebar di tiga kecamatan yaitu Pedurungan, Semarang Barat dan Banyumanik. Mereka diperbantukan untuk memberi dukungan penuh kepada para mitra, korban KDRT.

Lalu, adakah jaminan mereka tidak akan kembali 'down' ketika mendampingi mitra saat menghadiri kasus di pengadilan? Ya,  sebuah luka pasti bisa saja kembali terbuka, ketika ada hal-hal yang ingin dilupakan justru kembali terlintas dalam pikiran dan memaksa mereka mengingat kekerasan yang pernah mereka alami, bukan?

Kuncinya, adalah menciptakan rasa saling menguatkan dan saling mendukung. Hal ini obat mujarab yang membantu full-timer dan mitranya bersama-sama bisa menghadapi mimpi buruk akibat KDRT dan kembali tegar menjalani hidup.

* sebuah repost

No comments:

Post a Comment