Monday, October 01, 2012

menyentuh langitmu, senja

"kamu tahu, Nja...bahkan tanpa sadar kita telah melewati sebuah masalah dengan sangat cantik, sangat artistik," Dra mengetik pesan. keduanya memilih diam di ruang masing-masing. setelah jeda yang begitu panjang. bukan untuk menghindar tapi mencari dan memilah apa yang salah dan lalu membenarkannya.

Nja membaca pesan Dra, tersenyum, mengingat kembali betapa kuatnya Nja bertahan sampai saat ini, "Dra, aku tahu kamu mengabaikanku. bukan salahmu, jika kamu ingin punya ruang dan suara sendiri saat kita beda. membungkammu memang tak pernah ada gunanya. seharusnya aku sadar lebih dulu saat itu, kamu keras. dan melembutkan jiwamu adalah tugasku, bukan menghantam kepalamu dengan batu."

"masalah apa ya, Dra?" Nja membalas pesan Dra seakan tak tahu menahu. sikap Nja yang selalu membuat Dra gemas..."hm, masih juga bertanya, kamu seperti memaksaku memasang tanda tanya besar di atas kepalaku, Nja. kamu tahu, tapi pura-pura." batin Dra. "hahaha, masalah umum, tak hanya milik kita, kok," Dra lantas membelokkan topik.

"hanya inilah caraku menutupi gusar, marah dan cemburuku agar kamu tak pernah tahu, Dra..." diam milik Nja dan riwil bertanya milik Dra, hanya Nja dan Dra yang mampu mengisinya dengan baik.

sekali lagi Nja benci bertanya lebih dulu, "kapan kita akan bertemu kembali". bagi Nja seharusnya bukan kalimat itu yang muncul..."diam, Nja. lihat seberapa kuat kamu memendam rasa itu padanya," padahal kepalanya sudah penuh sesak, hatinya dipenuhi bilur-bilur kangen. ada banyak kisah yang ingin dibaginya bersama Dra.

"Hmm...sabtu?," terketik pesan di ujung sana dari Dra. "aku menunggu kamu mencariku, tapi aku tak bisa selamanya kejam padamu, Nja. aku lelah diam," batin Dra

"boleh," terbalas pesan untuk Dra seiring senyum simpul terlukis manis di wajah Nja. lega. "tak perlu bertanya, dia ternyata punya kangen yang sama untukku," dan ia merelakan dirinya diculik Dra, dibawa lari dan berharap tak pernah kembali.

keduanya berjalan, beriringan, tak lepas genggam erat jemari mereka melekat. lalu sama-sama menertawai pertemuan rahasia mereka. sepasang manusia ranah bawah yang mencinta. tak peduli dunia tak pernah mau tahu kisah mereka. keduanya juga tidak berniat mempublikasikannya.

jangan pernah kisahkan Romeo Juliet, karena mereka punya kisah sendiri. Nja dan Dra yang segera lupa mereka bukan sepasang kekasih  saat dipertemukan, tapi begitu berjarak, kangen mereka bisa setebal tumpukan buku-buku usang di dalam gudang. yang kembali dibaca saat keduanya dibelenggu kangen.

"just one kiss, Dra dan semuanya kembali indah. mari lupakan kebekuan dalam diam kita. satu ciuman dan aku ingin mencair bersamamu," Nja larut dalam pagut lembut bibir Dra.

"gairah ini sedahsyat gulungan gelombangmu, sedalam laut yang kau tinggali, Dra," Nja mengecup lembut bibir itu, dan berakhir di dagu berbelah milik Dra. sepuasnya Nja melepas kangen itu di sana...di seluruh raga telanjang milik Dra. rasanya masih sama, selalu manis, seperti madu beradu es batu, lalu mencair, dan menyisakan hangat seperti di tengah senja, menembus jantung, menyisakan degup getar di bilik hati Nja.

Dra memeluk tubuh Nja yang telanjang terbungkus selimut. erat. sejenak batas antara laut dan langit terasa saru. melebur mereka jadi satu.

gelombang samudra merengkuh langit senja melukis momen magis nan manis. bersama degub, kecup, desir, dan sentuh yang terbawa, senja pasrah pada kuasa samudra. masih dalam momen intim mereka, Dra hanyut larut dalam khayalnya, "ah, nikmat rasanya menjadi bantal, tempatmu menyandarkan lelah. selalu tanganmu berada di bawah sana, seperti hendak menggapai mimpi dini hari yang berlari dan sembunyi di bawah bantalmu. sesekali, ijinkan aku mencuri mimpi itu, dan mewujudkannya, Nja. boleh ya?" Dra menyamakan nafasnya dengan nafas Nja yang teratur, satu-satu.

"aku benci gulingmu, kau tahu Nja. dia pasti bangga bisa kau peluk erat setiap saat, meski baunya tak sewangi aroma tubuhku," Dra barangkali sudah gila membandingkan dirinya dengan benda-benda mati di sekeliling Nja, sementara dia hidup seperti mati kaku memandang Nja. dekat atau jauh sama saja. tak bisa leluasa menyentuh. seperti juga laut dan langit, hanya bisa saling memandang.

Dra mendekatkan kepalanya, setengah berbisik di telinga Nja,"hanya kapan-kapan seperti ini, milik kita, Nja...maaf". dikecup lembut rambut itu, lalu menyibak helainya yang jatuh di wajah Nja. wajah yang tadi meliar, dan kini setenang laut. begitu lembut. Dra makin erat merapat, mencari hangat, pada tubuh telanjang Nja.

"apa rasanya pula menjadi selimut. sehangat apa dia hingga tubuh polosmu senang tenggelam di dalam sana. hanya samudraku yang luas tempatmu bebas telanjang dan kamu sanggup berenang di kedalamannya, Nja," Dra membebaskan khayalnya berkelana tentang ia yang tak pernah bisa memiliki Nja.

baginya hanya itu yang membuat Dra kuat bertahan, meski terluka. Dra kembali bicara dengan hatinya sendiri, "aku memilikinya hari ini, entah esok. kesempatanku untuk mencintainya, sama besar dengan keikhlasan untuk bisa melepasnya sekarang, entah kapan. maaf, kisah kita memang tak pernah jadi abadi, Nja"

Dra merelakan lengannya direbahi Nja yang masih tertidur. napas Nja berhembus menyentuh kulit pipinya, dekat, begitu hangat. sekuatnya Dra membungkus momen itu, menyimpannya erat di hati, sebelum ia lupa dan berlalu. dihirupnya aroma tubuh Nja yang telanjang, sekali lagi, berkali-kali, "sebebas inilah rasanya terbang di atas hamparan luasnya langitmu, Nja. terimakasih kau mengajakku terbang ke sana."

1 comment:

  1. Memang cinta tak harus memiliki,namun berbahagia mereka yang bisa mencintai sekaligus memilikinya....

    ...inilah dunia selalu penuh dengan warna....

    ReplyDelete