Saturday, January 02, 2010

pecandu film biru

sebuah repost..

Berada di dalam sarang penyamun bersama sekumpulan pria saat itu, membuat saya dihadapkan pada kondisi tak nyaman. Saya harus berbagi ruangan dengan pria-pria haus gairah. Dan dahaga di tengah siang yang dingin di dalam ruangan bersuhu 16 derajat itu mereka dapatkan pada sebuah tayangan sepasang manusia tengah telanjang.

Erangan menuju nikmat ke puncak orgasme menyesaki telinga. Terlihat meski sekelebat, pria-pria yang saya akrabi dalam keseharian di tim kerja tengah duduk tak nyaman. Geser sebentar ke kanan lalu ke kiri, mengangkat pantat, mencari posisi yang pas. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal, yang tiba-tiba menyesak melesak membuat sesak celananya.

Mata memang menatap monitor, tapi otak saya rupanya sedang tak ingin sinkron dengan mata. Konsentrasi terpecah. Penasaran menggelitik hati, apa yang tengah mereka nikmati itu?, ingin mengintip, tapi rasa malu saya menahannya. Tampilan visual nan sensual sepasang manusia tengah intim rupanya berhasil memicu gairah mereka meledak-ledak.

Seorang perempuan dari kaum saya telanjang dalam film itu dan lantas menjadi objek pembangun hasrat. Gambar-gambar erotis nan dramatis sukses dihadirkan dalam otak mereka sebagai perangsang yang membangkitkan simpul syaraf hingga organ vital sang pria bergerak.

Ketidaknyamanan pada situasi itu rupanya perlahan membawa saya belajar, memahami mereka. Bersentuhan dengan dunia pria membawa saya tahu apa yang pria-pria itu suka, mau dan ingin. Ya, layaknya anak kecil girang dengan balon dan permen di tangannya, pria pun sama, selalu akan senang dan riang jika disuguhi sesuatu serupa seks. Sang pemuja seks sejati, saya sematkan di dada pria-pria itu. Bahkan pada pria saya, sekalipun.

Dan ternyata tak hanya nafsu dan seks yang mengelilingi otak pria, bahkan mereka bersedia pula bermain ego demi memenangkan sebuah hadiah berwujud cinta, wanita, harta dan kuasa. Inilah yang lalu membuat pria selalu tampil begitu hebat dan wibawa.
Pria-pria di tengah atmosfer kerja saya sudahlah begitu. Biar! Toh saya telah menjadi kebal dengan banyak perilaku yang mereka munculkan. Menonton film porno bersama pria-pria itu kini tak lagi membuat saya merasa tak nyaman. Menjadi seperti biasa saja, tak lagi jengah, resah jika pria-pria itu lalu menelanjangi saya dalam pikiran mereka. Tak bisa dicegah, kendali otak, juga rasa hanya pria-pria itulah yang bisa menguasainya.

Wajar yang normal, saya nilai seperti itu. Film biru sampai kapanpun akan selalu menjadi dunia yang diakrabi pria yang teramat asik untuk disinggahi, karena disana diletakkan kesenangan. Peduli setan dengan dosa dan neraka, Tuhan lebih berhak memutuskannya.

Surga yang kekal abadi mungkin tak akan menerima pria-pria pecandu film biru, tapi setidaknya pria-pria itu telah menemukan sebuah surga dunia meski sementara saja. Ya, pada film biru, sarana relaksasi mengendorkan syaraf otak yang tegang dan mengalihkan ketegangan itu pada syaraf yang lain ;)

1 comment:

  1. hai jeng,
    risih ya kalau sudah begitu. berasa salah tempat.
    tapi, lama-lama jadi maklum saja.

    ReplyDelete